FYI.

This story is over 5 years old.

Papua

Seperti Konflik Papua Lain, Penyekapan Dua Desa Dekat Freeport Dipicu Masalah Ekonomi

Insiden di Kimbely dan Banti, Mimika, berakar pada ketimpangan kesejahteraan. Bukan aksi separatis atau operasi kelompok bersenjata seperti disebut aparat.
Warga mengolah tailing Freeport untuk mendulang emas di Sungai dekat Kwanki Lama, Timika, Papua. Foto oleh Muhammad Yamin/Reuters.

Mimika, Papua, sering dijuluki sebagai 'Negeri di Atas Sungai', karena memiliki 94 daerah aliran sungai. Kali Kalbur, salah satunya, adalah sungai membentang di bawah Tambang Erstberg dan Grasberg, yang ditaksir memiliki cadangan emas terbesar sedunia. Di dua desa dekat aliran sungai tersebut, sepekan terakhir sedang terjadi drama 'penyanderaan' warga oleh kelompok bersenjata. Setidaknya begitulah penjelasan polisi dan militer Indonesia kepada media massa.

Iklan

Aparat hukum menyebut kelompok kriminal bersenjata ‘menyekap’ 1.300 warga di desa Kimbely dan Banti di Kabupaten Mimika, sejak awal pekan ini. Ribuan orang dilarang berpergian ke luar desa oleh kelompok tadi. Di kabupaten itu berdiri raksasa tambang Freeport-McMoran sejak 1973, pemilik hak eksploitasi Grasberg. Pemakaian istilah 'kelompok kriminal bersenjata' mengesankan adanya elemen politik dalam insiden tersebut. Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang masih mengalami gejolak separatisme bertahun-tahun, tanpa ada solusi memuaskan bagi semua pihak.

Tentara Nasional Pembebasan Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) segera membantah adanya ‘penyekapan’ melibatkan anggotanya di Mimika. Juru bicara TPN-OPM, Seby Sambom, dikutip media lokal, mengatakan insiden Desa Kimbely dan Banti hendak dipakai menjadi dalih bagi aparat masuk ke kampung-kampung, memakai alasan mengamankan basis kelompok bersenjata.

Nyaris semua sumber informasi tentang kondisi di kedua desa tersebut selama tiga hari satu arah dari aparat. Jika merujuk keterangan polisi, tidak ada sama sekali kekerasan dialami oleh 1.300 warga sipil, penduduk asli maupun pendatang, yang tertahan di desanya. Mereka bisa beraktivitas normal hanya tidak diperkenankan keluar dari Kimbely maupun Banti. "Mereka melokalisir warga tidak boleh ke mana-ke mana, di bawah kontrol mereka," kata Kapolda Papua, Irjen Polisi Boy Rafli Amar saat dikonfirmasi media.

Iklan

TNI memberi pernyataan lebih lanjut, menuding kelompok bersenjatakan 30 senapan dan pistol itu sudah bercokol sejak lama, karena posisi dua desa tadi dekat dengan tambang Freeport. Keterangan militer mengesankan sebagian pelaku sebetulnya warga setempat juga. "Kedua kampung itu menjadi daerah operasi mereka," kata Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Kolonel Inf M Aidi saat jumpa pers. "Mereka juga kerap berbaur dengan masyarakat setempat untuk mengelabui petugas."

Belakangan keterangan polisi berubah-ubah. Kapolres Mimika, AKBP Victor Dean Mackbon, membantah 1.300 warga disekap. Sementara atasannya, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, malah menyebut konflik seperti di Kimbely dan Banti sudah sering terjadi. Terutama antara pendulang liar dan warga setempat.

Dari konfirmasi lebih lanjut, konflik di Kimbely dan Banti makin terang dilatari motif ekonomi. Banyak pendatang menetap di sana, nyaris satu dekade terakhir menjadi pendulang emas dari limbah olahan PT Freeport bekerja sama dengan penduduk asli. Mereka yang berprofesi sebagai pendulang emas dari limbah (tailing), mencapai 8 ribu orang sepanjang Kali Kalbur. Rombongan yang belum lama ini mengepung dua desa, dipicu rasa tidak puas atas skema bagi hasil. "Mereka datang intimidasi dan meminta jatah atau bagian," kata Komisaris Besar Polisi Ahmad Musthofa Kamal kepada CNN Indonesia.

Tokoh Keagamaan Papua, Pastor Socrates Yoman, menyesalkan pembelokan narasi konflik sosial di Mimika itu oleh media massa dari Jakarta, memakai keterangan aparat, sehingga ada kesan keamanan Papua darurat. Menurut Yoman, pengepungan di Kimbely dan Banti sepenuhnya masalah perebutan kue ekonomi dari pendulangan emas ilegal.

Iklan

"Aparat terus saja mereproduksi mitos kelompok bersenjata," ujarnya saat dihubungi VICE Indonesia. "Ini akibat isu kesejahteraan, lagu lama yang usang."

Istilah Kelompok Kriminal Bersenjata versi TNI, menurut Yoman, mengandaikan warga yang mengepung dua desa bertindak secara sistematis. Apalagi ada embel-embel kata 'daerah operasi', mengesankan mereka hendak melakukan rencana lebih jauh dari pengepungan tersebut. Yoman percaya OPM sungguhan sudah meninggalkan jalan kekerasan karena kontraproduktif. "Diplomasi dan negosiasi saat ini lebih masuk akal untuk ditempuh," ujarnya.

Kekerasan dan konflik sosial di Papua terus mencuat sejak Bumi Cenderawasih itu bergabung dengan Indonesia pada 1969. Provinsi dengan 28 persen warganya hidup di bawah garis kemiskinan tersebut rutin mengalami militerisasi dan pengamanan berlipat, jauh lebih ketat dibanding wilayah lainnya. Tahun lalu saja, 1.500 warga ditangkap dalam sebuah aksi damai karena dinilai tidak memiliki izin. Sedangkan di Mimika, penembakan nyaris terjadi saban tahun.

Dari September hingga Oktober 2017, terjadi empat kali penembakan di sekitar wilayah penambangan Freeport. Belum jelas siapa pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. Aparat selalu cepat menyalahkan kelompok bersenjata, salah satunya TPN-OPM.

Pengamat isu Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth, mengingatkan aparat agar tidak terus menyalahkan warga. Pemerintah juga tidak bisa menekan aspirasi kemerdekaan warga Papua hanya dengan pendekatan keamanan. Sebab, akar masalah munculnya konflik-konflik tadi adalah kesenjangan ekonomi. Freeport meraup keuntungan besar, sementara warga di sepanjang Kali Kalbur dan Aikwa, misalnya, hanya bisa meraup sisa-sisa tailing demi segepok emas yang nilainya recehan. "Mereka merasa sebagai bagian dari orang Indonesia, tidak merasa memiliki martabat yang sama. Ada pengakuan, identitas, itu yang mereka minta," ujarnya saat dihubungi media.

Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengatakan berubah-ubahnya detail insiden di Mimika merupakan dampak tak terbukanya aparat hukum terhadap peliputan media. Munculnya satu konflik sosial jadi terkesan kembali menggambarkan Papua sebagai wilayah tak aman.

Andreas melanjutkan, sulitnya akses informasi di Papua membuat upaya memverifikasi kejadian secara independen agak mustahil. Sumber informasi yang ada terkait konflik biasanya muncul langsung dari kepolisian atau militer, tanpa ada dukungan dari pihak lain sehingga rentan simpang siur.

“Keterbukaan informasi terhadap jurnalisme independen juga penting,” kata Andreas. “Karena permasalahan di Papua tidak bisa selesai dalam sehari semalam.”