Artikel ini pertama kali tayang di VICE SwitzerlandDi 2002, pemerintah Israel mulai membangun tembok pembatas di sepanjang West Bank. Bagi beberapa orang, tembok selebar 708 kilometer itu merupakan pembatas yang efektif untuk melindungi Israel. Bagi orang lain, tembok tersebut melambangkan segregasi rasial di wilayah tersebut—checkpoint memalukan yang harus dilalui warga Palestina setiap harinya. Entah apapun pendirian anda, tembok ini telah berkembang menjadi semacam simbol dari konflik yang terus terjadi.
Iklan
Di awal tahun ini, saya menyambangi West Bank dan Israel karena saya ingin berbicara dengan mereka-mereka yang tinggal dekat dengan tembok dan mencari tahu apa efek dari tembok ini ke kehidupan mereka. Dari banyak orang yang saya temui, kebanyakan terlalu takut atau tidak nyaman untuk berbicara soal topik ini—tapi untungnya 10 orang bersedia berbagi tentang tantangan yang mereka harus lalui selama 15 tahun ini."Adik laki-laki saya terbunuh di 2003. Mereka datang menggunakan tank di tengah malam—awalnya anda hanya mendengar bunyi siren dan teriakan, kemudian mereka mulai menembak dan menyebar gas air mata. Kami berlari ke sebuah gang untuk bersembunyi. Saya berteriak, 'Murad, bego, cepet nunduk!' Ketika dia berdiri hanya untuk sesaat, dia tertembak di tenggorokan. Murad mulai megap-megap dan batuk-batuk seiring cahaya dimatanya mulai hilang. Darahnya dimana-mana."Berikutnya saya ingat terbangun di dalam penjara. Saya ditahan selama 18 bulan. Ketika akhirnya pulang, kami melempar pesta perayaan selama 2 hari. Saya tidak pernah bercerita tentang seperti apa rasanya disiksa—percaya deh, itu bukan pengalaman yang anda ingin dengar."Kadang saya merasa tembok ini telah membungkam kami semua dan kami harus lebih sering membuka mulut tentang pengalaman kami—harapan dan ketakutan kami—tapi gimana caranya? Pernah waktu itu di Hebron, seorang lelaki tua berbicara dengan saya dalam bahasa Yahudi. Biarpun dia tersenyum dan ramah, tubuh saya mulai gemetaran. Istri saya, Dana, berusaha menenangkan saya tapi mulut saya membeku—saya hanya bisa berlari kabur seperti anak kecil."
Noor, 39, akuntan, hidup di kamp pengungsi Tepi Barat
Iklan
Micha, 34, salesman sekaligus mantan tentara Israel, Yerusalem Barat
Fatima, 58, petani, Nablus, Tepi Barat
Iklan
Ehud, 32, Insiyur, Tel Aviv
Saed, 34, Pekerja Sosial di Kamp Pengungsi Al-Far'a, Tepi Barat
Iklan
Rahel, 31, pemasaran dan mantan tentara, Tel Aviv
Iklan
Bassam, 24, desainer grafis, Hebron
Benjamin, 38, bankir dan penembak unit tank, Chadera
Iklan
"Sekarang saya tinggal di Chadera, dan digaji cukup untuk bisa pergi liburan dan berpesta dengan teman-teman. Kadang-kadang saya memikirkan seperti apa hidup di Nablus. Saya hanya pernah kesitu satu kali, dalam tank itu.""Saya sedang bertugas ketika pemberontakan kedua Palestina terjadi. Gak bisa disebut perang juga sih karena mereka tidak memiliki tentara. Mereka cuman punya bocah-bocah bersenjatakan batu, cocktail Molotov dan ban mobil yang dibakar—sementar penduduk dewasa memiliki senjata rusak, granat dan bom tua. Kami memiliki ribuan personil dengan tank dan helikopter, bersenjatakan senapan terbaik dunia, rompi anti peluru, kacamata penglihatan malam dan alat komunikasi. Kami memiliki akses ke peralatan manapun yang kami mau."Ini bukan berarti kami menjadi pahlawan atau penduduk Palestina adalah martir. Menurut pandangan saya—kami sama-sama saling menyerang. Ini seperti sebuah permainan yang menewaskan orang. Saya benci konflik ini dan gak mau membahas ini lebih jauh."