FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Orang Yang Tidak Pernah Minta Maaf Kemungkinan Benci Dirinya Sendiri

Berteman dengan orang yang merasa selalu benar memang sulit. Rupanya sudah ada ilmuwan meneliti manusia macam itu.
Foto ilustrasi oleh Dong Wenjie/Getty Images.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Menjalin pertemanan dengan orang yang tidak pernah meminta maaf kadang membuat kita merasa bingung dan sering sakit hati. Berteman dengan orang yang merasa selalu benar memang sulit.

Bagi kalian semua yang punya teman seperti ini, baru-baru ini ada penelitian yang menyimpulkan bahwa orang yang jarang meminta maaf cenderung tidak menyukai dirinya sendiri. Mereka bukannya merasa sempurna sampai sulit untuk meminta maaf, tetapi biasanya mereka malu dengan kesalahannya sehingga mereka menghindar dari masalah tersebut.

Iklan

“Bahkan pada saat mereka benar-benar harus meminta maaf, mereka masih tidak mau untuk melakukannya. Penelitian ini sangat menarik karena bisa membantu kita mengetahui faktor-faktor yang dapat mempermudah kita untuk meminta maaf,” kata Anna Vazeou-Nieuweinhuis, seorang mahasiswa pascasarjana jurusan psikologi di University of Pittsburgh dan peneliti utama di studi yang akan dipublikasikan dalam jurnal Personality and Individual Differences pada bulan April mendatang.

Mereka bukannya tidak punya perasaan malu terhadap kesalahannya, meskipun mereka cenderung tidak pernah menunjukkan rasa malu. Orang yang percaya diri pasti akan merasa malu dan tidak menghindar dari masalah.

Rasa percaya diri melibatkan tiga hal inti. Kemampuan tetap bersikap baik saat mengalami masalah, memahami bahwa manusia pasti pernah melakukan kesalahan, dan kemampuan untuk menyadari saat ada masalah dan mengamati pikiran dan perasaan tanpa menghakimi.

Orang dengan tingkat percaya diri yang lebih tinggi dapat menjauhi sikap negatif yang dapat menciptakan masalah dan kegagalan, mereka dapat mengatasi masalah tersebut tanpa perlu menarik diri. Sedangkan mereka yang kurang percaya diri cenderung lebih sering memikirkan hal-hal dan perasaan yang memalukan dan akhirnya menjadikan cerminan dirinya sendiri.

Selain mengonfirmasikan bahwa orang-orang yang percaya diri cenderung lebih sering meminta maaf dari mereka yang tidak, temuan ini juga memberi gambaran proses psikologis dibalik perilaku yang bisa menciptakan atau menghancurkan hubungan.

Iklan

“Ada beberapa faktor yang membuat orang tidak pernah meminta maaf, dan memiliki rasa percaya diri dapat menghentikan itu,” Vazeou-Nieuwenhuis menjelaskan.

Semakin banyak penelitian yang mendorong orang yang kurang percaya diri untuk bermeditasi sebagai cara meningkatkan rasa percaya diri. Jika percaya diri memang ada kaitannya dengan sikap meminta maaf, temuan ini menunjukkan meditasi adalah pilihan yang tepat untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dan menciptakan hubungan yang baik. Orang yang tidak pernah bertanggung jawab atas kesalahannya, misalnya, dapat melakukan praktik yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan membuat mereka mau meminta maaf saat melakukan kesalahan.

Memang sih, orang yang meminta maaf tidak selamanya tulus melakukannya. Ada juga yang masih mau meminta maaf, tetapi tidak benar-benar dari hati. Temuan ini memunculkan pertanyaan apakah perasaan percaya diri memang ada hubungannya dengan kemauan untuk meminta maaf.

“Ketika orang merasa sangat defensif, mereka seringkali meminta maaf secara asal-asalan,” ujar Vazeou-Nieuwenhuis. “Di penelitian selanjutnya, kami harap bisa lebih meneliti apakah memang memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi dapat membuat seseorang lebih serius saat meminta maaf.”

Permintaan maaf yang sungguh-sungguh meningkatkan kerukunan, yang berdampak positif terhadap hubungan pertemanan. Namun, rasa percaya diri juga bisa berdampak buruk. Orang yang terlalu percaya diri juga bisa malas meminta maaf, karena merasa setiap orang pernah melakukan kesalahan. Sikap tidak mau menerima kesalahan pribadi berpotensi menjadi bumerang karena bisa membuat mereka malas untuk meminta maaf.

(Perbaikan pada 2/2/18: Artikel ini awalnya menyatakan bahwa penulis studi, Anna Vazeou-Nieuwenhuis, adalah seorang dosen jurusan psikologi. Dia sebenarnya adalah seorang mahasiswa pascasarjana.)