FYI.

This story is over 5 years old.

Kultur Kekerasan

Pengakuan Mantan Tukang Tawuran yang Meneror Jakarta Satu Dekade Lalu

Sambil menyusuri jalan Mahakam-Bulungan, seorang seniman alumni SMA di kawasan itu menceritakan masa-masa gelap ketika ia rutin tawuran setiap Jumat; budaya brutal yang membuat banyak pelajar mati sia-sia.
Rizki Ramadan
seperti diceritakan pada Rizki Ramadan
Ilustrasi oleh Adam Noor Iman.

Banyak cowok barangkali menganggap cerita Dilan 1990 yang lagi populer sekadar roman picisan, penuh gombalan yang lucu, tapi terlalu manis. Cuma, saya yakin cowok yang semasa muda mengalami tawuran pasti merasa dekat dengan Dilan dan kelakuan geng motornya

Saat saya menonton filmnya, ketika sekolah Dilan tiba-tiba diserang oleh geng motor sekolah rival, saya teringat pengalaman sendiri di hari ketiga masa orientasi siswa baru saat SMA dulu, selama kurun 2004-2007, di pusat pertempuran pelajar Jakarta Selatan. Gerombolan murid SMA Melawai, datang dari perempatan Blok M. Mereka melempar batu dan botol ke arah sekolah. Kami yang junior digiring masuk, sementara para senior keluar menerjang. Bentrok pun pecah di depan hotel Losari hingga akhirnya mereka berhasil dipukul mundur sampai simpang Mahakam.

Iklan

Sepulang sekolah hari itu, saya menuruti ajakan senior mampir dulu di taman, tanda bahwa saya siap ditatar agar masuk ke dalam organisasi informal sekolah. Ya, sebutlah geng. Dari situ saya memulai kebiasaan ikut tawuran. Kalau ditanya kenapa harus berantem, pasti tidak ada yang bisa menjawab. Tawuran ya sudah dari sononya… Tawuran itu ya jati diri sebagian anak sekolahan di Jabodetabek.

Kalau dirunut, saya pertama kali terlibat tawuran itu sejak SMP. Saya sekolah di SMP Jalan Bumi, salah satu unggulan Jakarta Selatan. Saat itu saya kelas tiga. Saya dan teman-teman meladeni gerombolan SMP Melawai. Tawuran berlangsung biasa-biasa saja, tapi justru klimaks terjadi setelahnya. Saya memisahkan diri dari rombongan dan berjalan kaki dari TKP menuju Visi, tempat bimbingan belajar. Di sebuah gang kisaran Taman Sambas, saya diadang sekelompok anak, entah dari SMP mana, yang nongkrong di situ.

Saya bersiasat. Saat diinterogasi, saya mengaku sebagai siswa SMP Melawai. Saya merasa berhasil membuat mereka segan, hingga salah satu dari mereka melihat sepatu yang saya pakai.

“Anak Melawai mana mungkin pake Puma. Semua pake sepatu Warrior,” katanya. Bangsat. Saya mengumpat dalam hati.

Hari itu, saya les dengan kondisi penuh lebam. Sebenarnya bisa saja saya pulang, tapi saat itu Metromini dan gang-gang yang mesti saya lewati untuk pulang nggak akan seaman tempat les.

Kejadian itu bikin saya semakin mantap untuk memilih SMA Mahakam kemudian. SMA Bulungan memang unggulan, tapi dari cerita yang saya dapat dari kakak, SMA itu senioritasnya keras. Antar angkatan saja bisa tawuran di dalam sekolah.

Iklan

Sementara di SMA Mahakam, hubungan senior-juniornya akur. Setiap angkatan saja nggak membuat nama angkatannya sendiri, beda dengan SMA Bulungan yang tiap angakatannya berbeda. Kami hanya menyebut angkatan berdasarkan tahun masuk. Angkatan saya disebut 2k4 karena kami mulai kelas 1 di tahun 2004.

Rasanya, berada di kelompok yang egaliter akan lebih seru ketimbang kelompok yang diam-diam heirarkis. Benar saja. Setelah masuk SMA Mahakam, senior tak rikuh mengajak kami nongkrong bareng, walau memang setelahnya, kami disambut "upacara penerimaan."

“Dari pada lo ngedokem (berdiam) di sini, mending lo keliling, deh. Cari ribut ke Limau,” kata salah satu senior saya dulu di taman sore hari.

Limau adalah nama jalan tempat salah satu sekolah rival kami berada. Di antara musuh SMA kami—yaitu SMA Melawai, SMA Panglima Polim, dan sudah pasti SMA Bulungan—SMA Limau adalah yang paling kami anggap enteng. Saya dan tiga orang teman menjawab tantangan senior saya itu dengan langsung mengenakan jaket dan menyambar motor. Cara memancing yang kami lakukan adalah yang paling cupu: nongkrong di warung dekat sekolah sasaran, menarik perhatian mereka, dan langsung tubir di tempat.

Menang atau kalah saat memancing, pasti berbuntut skala tawuran yang lebih besar. Kalau menang, sekolah mereka balik menyerang. Kalau kalah, kami ke taman, melapor, lalu ditemani para senior bakal balikin (menyerang balik) sekolah mereka.

Iklan

Inisiasi awal tadi sangat menentukan. Kehidupan SMA kalian ditentukan sejak itu: suka tawuran atau tidak. Saya termasuk yang akhirnya terserap budaya tawuran. Ada saja alasan yang bisa kami bikin untuk memulainya, apalagi sama SMA Bulungan. Cara-cara memancing pun ada beragam cara. Kalau mau ribut sama anak SMA Bulungan, kami cukup nongkrong di Warsam, enggak jauh dari GOR Bulungan, teritori mereka.

Cara lain biasa kami pakai adalah mengajak ribut di website angkatan sekolah lain. Di tahun 2005, hype internet kian meledak. Tongkrongan sekolah bergeser ke Warnet. Saya dan teman-teman sering nongkrong di Gaia Net jalan Lamandau atau Q-net di atas restoran Ayam Bulungan. Saat itu, muncul tren membuat situs almamater sekolah. Niat awalnya adalah sebagai forum pengumpul angkatan. Karena dibuka untuk umum, alhasil anak sekolah lain suka ikut mengunjungi web itu. Kami saling ejek dan adu bacot di kolom chat serta di guest book. Kalau pancingan dimakan, siap-siap ribut deh.

Pernah juga, saya dan teman-teman diserang tiba-tiba oleh anak-anak SMA Panglima Polim. Saat itu kami lagi santai makan di Gultik. Tiba-tiba mereka menyerang dengan BR (sebutan khas anak muda buat barang/senjata tawuran) masing-masing. Seorang teman saya kepalanya dihantam dengan botol beling.

Dalam menghadapi serangan mendadak seperti itu, yang biasa dilakukan adalah lari dulu sejauh-jauhnya. Kami lari ke arah Aquarius, berbelok ke gang untuk bisa balik dulu ke taman depan sekolah dan menghampiri gerobak minuman milik Ujang, tempat kami menitip BR: celurit, SM alias samurai, golok, dan yang saya gunakan, gear motor yang diikat sabuk ban karate.

Iklan

Foto ilustrasi tawuran pelajar di dekat kantor Golkar, Jakarta, pada awal 2000-an. Foto oleh Dadang Tri/Reuters.

Dari sekian banyak tawuran yang pernah saya ikuti, yang paling saya ingat adalah di masa kelas 3. Saya lupa saat itu hari apa, yang jelas bukan Jumat, hari biasa kami tawuran. Enggak ada niat tawuran sebenarnya. Entah siapa yang memulai, saya dan empat orang teman iseng nongkrong di warsam. Anak-anak Bulungan melihatnya. Tak kurang dari tiga menit sejak sinyal diberikan, tawuran pecah.

Yang salah dari serangan siang itu adalah kami cuma berlima, kurang koordinasi dan anak-anak di taman enggak ada yang tahu. Saya bersama teman saya beranjak dari warung, maju menyerang.

Kami kalah jumlah. Mereka maju bersepuluh. Teman-teman saya yang maju belakangan pun hanya bergelut seadanya sebelum berbalik arah dan ngibrit ke arah KFC. Saya menyerang tanpa lihat belakang. Hingga saya sadar putaran-putaran gear saya nggak akan membuat mereka meredakan serangan, saya baru berbalik arah dan mendapati tak ada siapa-siapa lagi. Saya satu-satunya sasaran mereka.

Tergopoh-gopoh saya lari menebak arah yang dituju teman-teman saya. Sempat sempoyongan dan akhirnya jatuh. Tiga dari mereka mengencangkan lari dan menyergap saya. Untungnya, belum sempat saya disayurin, teman-teman saya yang meninggalkan saya tadi datang.

Walau anak-anak dari taman sudah datang membantu, tawuran tanpa persiapan tak akan kami menangkan. Kami dikandangin sama SMA Bulungan. Sialan.

Pada akhirnya, polisi, sekolah, dan pemprov DKI tidak bisa lagi menoleransi kekerasan pelajar yang makan korban jiwa. Setelah saya lulus tawuran makin menjadi-jadi. Sepanjang periode paling buruk kurun 2011-2013, nyaris seratus siswa SMA-SMP mati sia-sia akibat tawuran.

Iklan

Geng-geng sekolah akhirnya diberangus pada 2014, Disdik dapat perintah tegas dari Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Kurang lebih 15 geng paling terkenal, yang kesohor karena selalu berantem, dibubarkan paksa oleh pemprov. Kelompok macam Boeodoet, Texas46, sampai Psycho60 tinggal nama, atau setidaknya tiarap.

Dampak kebijakan itu, kultur tawuran bener-bener susut. Pasti masih ada ajalah yang berantem, sampai mati dibacok, tapi enggak separah momen 2011, pas saya udah kuliah.

Oh ya, saya ingat lagi adegan di film Dilan. Di kamar Dilan, ada poster kutipan dari Ronald Reagan, “Barang Siapa Ingin Damai, Maka Bersiaplah untuk Perang.”

Kutipan yang provokatif. Barangkali itu relevan dengan zaman Orba yang represif dulu. Saya yakin banyak cowok jago tawuran yang menyukainya. Tapi, jujur, saya dan teman-teman sekolah tawuran bukan perkara pengin perang atau melawan kemapanan yang mungkin jadi alasan pelajar era Soeharto berantem sampai ngajak ribut aparat. Selama SMP-SMA dulu, buat saya dan teman-teman, tawuran hanyalah bagian dari senang-senang. Mungkin semacam mengisi waktu luang di masa muda: ajang memacu adrenalin dan meningkatkan solidaritas serta kebanggaan geng sekolah.

Namun jujur saja, tawuran memang bisa menjadi benar-benar brutal. Dampaknya saya akui mengerikan. Saya menyaksikan teman teriris kupingnya hingga nyaris putus. Teman sebangku saya dropout karena kesukaannya tubir tak bisa diobati sekolah. Dia dipindahkan orangtuanya ke Bandung mencoba sekolah lagi, namun tetap gagal hingga lulus lewat ujian Paket C.

Mungkin buat orang lain pandangan saya bermasalah. Tapi di hati kecil, jika sekadar dilandasi solidaritas anak muda, saya masih percaya tawuran tidak perlu jadi sebrutal itu. Asalkan tak ada niat membunuh dan menyiksa, seperti yang akhirnya makin sering terjadi setelah saya lulus.