Warisan Terbaik Habibie Bukan Kisah Cintanya, Melainkan Sikapnya Saat Diuji Kekuasaan
Presiden ke-3 RI B.J Habibie saat menghadiri sidang MPR pada 19 Oktober 1999. Foto oleh Reuters.
Mengenang B.J Habibie

Warisan Terbaik Habibie Bukan Kisah Cintanya, Melainkan Sikapnya Saat Diuji Kekuasaan

B.J Habibie melepas karir sebagai insinyur pesawat gemilang, terjun ke politik, lantas berani mengizinkan Timor Leste merdeka. Dia menanggung beban sejarah untuk memuluskan demokratisasi Indonesia.

Di Jerman ia sudah punya segalanya. Pekerjaan sangat bagus dan lingkungan yang mendukung kepakarannya. Mengapa ia kemudian masuk ke politik? Apa yang mendorongnya pulang ke Indonesia? Jawabannya: Ia didesak pulang oleh pemerintah Indonesia karena popularitasnya sebagai ahli teknologi pesawat terbang di Jerman.

Bacharuddin Jusuf Habibie, yang berpulang pada 11 September 2019, adalah manusia biasa. Bagi generasi muda Indonesia, Presiden ke-3 Republik Indonesia itu lebih sering dikenang sebagai ikon lelaki yang setia dan romantis, berkat percintaannya yang mengharubiru dengan sang mendiang istri Ainun. Perkara kesetiaan, sejujurnya yang punya tentu saja bukan cuma Habibie seorang.

Iklan

Kisah hidupnya menjadi luar biasa, karena Habibie berulangkali mengedepankan empati dan rasionalitas saat diuji dengan kekuasaan.

Pada 1965, Habibie mendapat gelar doktor teknik dari kampus Rheinisch Westfählische Technische Hochschule (RWTH) di Achen, Jerman Barat. Ia menempuh S-1 sampai S-3 di kampus ini dalam durasi 10 tahun. Setelah lulus doktoral, Habibie menolak tawaran mengajar di alma maternya dan tawaran bekerja di pabrikan pesawat Boeing. Ia memilih bekerja di pabrikan pesawat Jerman bernama Hamburger Flugzeug Bau (HFB) Hamburg yang kala itu sedang mengembangkan pesawat Fokker F28 dan Hansajet 320.

Setahun kemudian, pada 1966, Habibie bertemu tiga petinggi Indonesia, yakni Panglima AU Roesmin Nuryadin, Dirjen Perguruan Tinggi Mashuri Saleh, dan Menteri Luar Negeri Adam Malik. Roesmin dan Mashuri meminta Habibie pulang ke Indonesia untuk merintis industri dirgantara dalam negeri.

Tujuh tahun kemudian, pada 1973, giliran Direktur Pertamina Ibnu Sutowo yang minta bertemu Habibie. Permintaannya masih sama, agar Habibie pulang. Menurut Habibie, saat itu Ibnu berkata, "Mengapa saudara masih berada di rantau sementara saudara-saudaramu membanting tulang untuk membangun bangsanya. Saudara ikut membangun bangsa lain. Saudara harus malu dan segera ikut bergabung dengan saudara-saudaramu menempa masa depan yang lebih baik bagi Indonesia yang kita cintai!!!"

Di tahun yang sama, Habibie juga sempat ditawari Presiden Filipina Ferdinand Marcos untuk membangun industri pesawat terbang di Filipina, tapi ia tolak.

Iklan

Obrolan dengan Ibnu berlanjut dengan kedatangan Habibie ke Jakarta untuk bertemu Ibnu dan Soeharto. Ia terbang ke Indonesia 10 hari setelah huru-hara Malari. Di kedatangan ini, Habibie sekaligus diangkat sebagai penasihat pemerintah Indonesia di bidang teknologi dirgantara dan teknologi terapan serta sebagai penasihat utama Ibnu Sutowo di Pertamina.

Saat menerima jabatan itu, Habibie masih menjabat sebagai wakil presiden direktur di HFB. Selama 1974 sampai 1978, tahun pengangkatan Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi, ia terus bolak-balik Indonesia-Jerman.

Di masa ia bolak-balik itu perusahaan Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) didirikan. PT IPTN diresmikan Presiden Soeharto pada 1976 dan menjadi industri pesawat terbang pertama di Asia Tenggara. IPTN membuat pesawat pertamanya, pesawat berkapasitas 35 orang bernama N-250 Gatotkoco, pada 1983. Sedangkan pesawat kedua yang lebih besar, berkapasitas 70 orang, dikerjakan oleh 16 ribu orang, dan dinamai N-250 Gatotkoco, pertama kali terbang di langit Indonesia pada 1995, tahun peringatan ulang tahun Indonesia ke-50. Hari terbang perdana pesawat itu, 10 Agustus 1995, kemudian didaulat sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.

Pesawat Tetuko membuat Habibie diganjar Von Karman Award for International Cooperation in Aeronautics oleh International Council of the Aeronautical Sciences pada tahun 1992. Dua tahun kemudian, Habibie mendapat Edward Warner Award dari International Civil Aviation Organization.

Iklan

N-250 adalah pesawat jenis subsonic speed yang pertama kali menggunakan teknologi fly by wire. Dengan teknologi ini, gerakan pesawat dikendalikan secara terkomputerisasi. Di tahun itu, selain N-250, hanya ada dua pesawat yang menggunakan teknologi fly by wire, yaitu Airbus A-340 dan Boeing 767, keduanya pesawat jet komersial.

Ketika N-250 berhasil mengudara, Habibie melontarkan perkiraan bahwa antara tahun 2000 dan 2020, N-250 mestinya sudah mampu menjadi pesawat komersil. Namun, proyek pengembangan pesawat ini terhenti karena International Monetary Fund (IMF), donor yang membiayai proyek tersebut, menyetop pembiayaannya.

Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi selama 20 tahun, sepanjang 1978-1998. Karier itu terhenti ketika ia diangkat sebagai wakil presiden Indonesia ketujuh mendampingi Soeharto. Tujuh puluh hari setelah dilantik, situasi dalam negeri semakin memanas dan membuatnya, mungkin tanpa pernah Habibie duga, menjadi presiden Indonesia ketiga.

Habibie dan Timor Timur

Selepas membacakan sumpah jabatannya sebagai presiden, Habibie segera menyadari bahwa ia mewarisi institusi presiden sebagai pusat kekuasaan dan pusat perhatian masyarakat dalam sistem yang feodal. Hal itu menyebabkannya, mengutip kalimat Habibie di memoarnya Detik-detik yang Menentukan, “menjadi manusia ‘paling kesepian’ dan ‘paling sendirian’ di dalam lingkungan yang serba sibuk menghadapi multikompleks permasalahan”.

Di malam ketika ia dilantik, ia membacakan pidato yang disiarkan TVRI, berisi pernyataan bahwa kabinet baru akan segera dibentuk untuk menyelesaikan tiga tugas persiapan reformasi. Pidato itu disambut media dengan nada pesimistis. Ada yang meramalkan Habibie hanya akan bertahan selama 100 hari atau malah 100 jam saja.

Iklan

Di saat yang sama, Habibie merangkap jabatan sebagai wakil presiden dan Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar (KBG). KBG terdiri dari gabungan tiga jalur, yakni jalur ABRI yang dikoordinasikan oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, jalur Birokrasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri, dan jalur Golkar yang dikoordinasikan oleh Ketua Umum Golkar.

Kekuasaannya menjadi sangat besar karena KBG menguasai 80 persen kursi di DPR dan 83 persen kursi di MPR. Menurutnya, hal ini tidak sehat dan jelas tidak menguntungkan objektivitas pimpinan nasional dan kualitas reformasi. “Pertanggungjawaban harus diberikan kepada rakyat, tidak kepada Keluarga Besar Golkar,” demikian Habibie menuliskannya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk segera melakukan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar untuk mereformasi Golkar.

Habibie juga dibayangi masalah lain: Timor Timur. Kelak, ia dikenang dengan dua cara, dipuja karena bersikap bijak tidak menahan kemerdekaan Timor Timur, juga dikutuk karena dianggap penguasa lemah yang melepaskan wilayah Indonesia.

Sejak berintegrasi dengan Indonesia pada 17 Juli 1976, status provinsi ke-27 ini telah dipersoalkan oleh Dewan Keamanan PBB yang menyebut Indonesia menganeksasi Timor Timur. Sidang Umum PBB 19 November 1976 menyatakan menolak aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur.

Pada 24 Juni 1998 Habibie mengundang Uskup Dili Carlos Filipe Ximenes Belo ke kantor kerja presiden di Bina Graha. Ini kali pertama sang uskup diterima presiden. Di pertemuan itu Habibie bertanya, "Apa yang dapat saya laksanakan untuk memenuhi keinginan rakyat Timtim?"

Iklan

Uskup Belo lalu membacakan dua helai kertas berisi catatan tentang Timor Timur. Sembilan puluh persen dari keinginan Uskup Belo akan dipenuhi Habibie. Setelah pertemuan tersebut, Habibie menyimpulkan masalah Timor Timur harus segera diselesaikan sebelum presiden ke-4 terpilih dan tidak boleh membebani reformasi.

Sejak bertahun-tahun sebelumnya, usulan penyelesaian lewat referendum sudah diusulkan berabgai pihak dalam forum internasional, termasuk oleh tokoh Timor Timur, seperti Xanana Gusmao, Uskup Belo, dan Jose Ramos Horta. Alasan mendasarnya, karena setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri, seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Dalam perundingan Tripartit, PBB dan Portugal turut mendesak Indonesia untuk mengadakan referendum di Timor Timur.

Dalam Sidang Kabinet Bidang Politik dan Keamanan pada 27 Januari 1998, dinyatakan bahwa jika tawaran otonomi-yang-diperluas ditolak rakyat Timor Timur, MPR akan mempertimbangkan kemungkinan melepaskan Timor Timur. Pilihan ini disebut “opsi kedua”.

Beberapa hari setelah SI MPR 1998, Habibie menerima surat dari Perdana Menteri Australia John Howard. Howard mengusulkan agar penyelesaian Timor Timur dilakukan seperti penyelesaian bekas koloni Prancis. Kaledonia Baru dipersiapkan selama lima sampai sepuluh tahun oleh negara penjajahnya, Prancis, untuk memperoleh kemerdekaannya melalui suatu Referendum. Saran ini diabaikan Habibie karena menurutnya, Timor Timur bukan koloni Indonesia.

Iklan

Juga bukan referendum yang akan dilakukan di Timor Timur. Sebab, presiden tidak berwenang untuk menentukan pelaksanaan referendum, melainkan MPR. Yang akan dilaksanakan di Timor Timur adalah jajak pendapat, yang pelaksanaannya tidak membutuhkan ketetapan MPR, tetapi MPR dapat menolak hasilnya.

Dalam Perjanjian Tripartit yang disahkan pada 5 Mei 1999 di New York; Indonesia, PBB, dan Portugal sepakat untuk menyelenggarakan jajak pendapat. Dengan jajak pendapat, warga Timor Timur akan menentukan pilihan mereka, tetap bersatu dan menerima otonomi luas atau berpisah dari Indonesia. Hasil jajak pendapat kemudian akan dibahas oleh MPR untuk disetujui atau ditolak.

Sebagai tindak lanjut, United Nations Mission in East Timor (Unamet) dibentuk pada 11 Juni 1999. Habibie dan Sekjen PBB Kofi Annan bersepakat untuk merahasiakan hasil jajak pendapat hingga 72 jam setelah hasilnya diketahui.

Jajak pendapat diselenggarakan pada 30 Agustus 1999. Hasilnya, 78,5 persen menolak otonomi luas, dan 21,4 persen menerima. Habibie menerima kabar hasil jajak pendapat lewat telepon dari Sekjen PBB Kofi Annan pada 4 September 1999. Ia menyampaikan bahwa Sekjen PBB akan segera mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan hasil jajak pendapat Timor Timur. Dalam memoarnya, Habibie menyebut tindakan Sekjen PBB tersebut melanggar kesepakatan. Kerusuhan pun terjadi di Timor Timur.

Pada tanggal 6 September 1999, mulai pukul 00.000, Timor Timur diumumkan dalam Keadaan Darurat Militer. Dalam Sidang Umum MPR, 19 Oktober 1999, hasil jajak pendapat tersebut diterima. Hal tersebut diatur dalam TAP MPR No. V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Dengan demikian, Timor Timur resmi berpisah dari Indonesia.

Kelompok ultranasionalis kala itu banyak yang menghujat keputusan Habibie. Kemerdekaan Timor Timur juga yang mendorong MPR menolak pertanggungjawaban Habibie sebagai presiden. Tapi, seperti disampaikan Made Supriatma—peneliti tamu di ISEAS Yusof Ishak Institute—keputusan Habibie soal Timor Timor sudah tepat setelah diuji sejarah. Dalam opininya untuk Tirto.id, Made menegaskan bahwa referendum, ditambah lahirnya sekian UU progresif selama 18 bulan Habibie memerintah, menjadi peletak dasar demokrasi di Indonesia pascareformasi.

"B.J Habibie adalah rahmat untuk bangsa ini. Dia secara radikal memperkenalkan Indonesia yang lain. Dia membebaskan Timor Leste dan meniadakan beban kolonialisme oleh Indonesia," tulis Made. "Habibie mampu melakukan transformasi yang radikal itu justru karena dia bukan seorang politisi. Dia hanyalah seorang teknokrat."