Persoalan Moral Turut Membentuk Akhlak Hantu Perempuan Indonesia
ilustrasi oleh Diedra Cavina

FYI.

This story is over 5 years old.

Halloween

Persoalan Moral Turut Membentuk Akhlak Hantu Perempuan Indonesia

Rata-rata perempuan-perempuan jadi hantu di negar akita karena semasa hidupnya mereka memberontak pada nilai-nilai dominan masyarakat.

"Ini pertanda bahwa kau harus kugendong!" ucap Hendarto pada istrinya, Alisa. Kalimat yang membuatku tertawa tergelitik ini dilontarkan Hendarto sesaat sebelum mereka masuk ke rumah untuk merayakan resepsi pernikahan. Alisa tiba-tiba terjatuh lantas membuat Hendarto membopongnya ke dalam rumah. Hendarto merupakan seorang nahkoda kapal, tampan, kaya raya yang digambarkan sebagai sosok agung yang berhasil 'mengangkat derajat' Alisa yang sebelumnya seorang pekerja seks. Alisa kerap menyebut suaminya "dewa penolong."

Iklan

Tidak lama setelah pernikahan mereka berlangsung, Hendarto ditugaskan harus berlayar jauh meninggalkan Alisa dalam waktu lama. Alisa pun rela, dan bersumpah tidak akan mengkhianati cinta Hendarto. Selama Hendarto pergi, Alisa mulai berkarir, sejak diajak bekerjasama dengan seorang desainer lokal. Karir itulah yang mempertemukan Alisa dengan dua tokoh jahat yang diperankan Ruth Pelapessy dan Rudy Salam yang membuatnya diperkosa massal, hamil, mencoba aborsi, hingga mati karena bunuh diri.

Adegan tersebut merupakan fragmen dari film Sundel Bolong (1981) yang diperankan Barry Prima (Hendarto) dan Suzzanna (Alisa) yang setidaknya menjadi representasi umum bagaimana perempuan, atau secara spesifik hantu perempuan dicitrakan di film-film era Orde Baru.

Dalam rezim Orde Baru perempuan dikonstruksi ditata dan diatur agar memenuhi nilai dan norma sebagai perempuan "baik-baik". Perempuan dianggap bernilai jika akhlaknya sesuai dengan norma-norma tertentu, yang pembentukannya banyak diintervensi oleh negara. Kondisi inilah yang disebut aktivis sekaligus akademisi perempuan Julia Suryakusuma sebagai "Ibuisme Negara". Julia membuat satu buku dan menggunakan frasa itu sebagai judul.

Film tersebut seakan berusaha membuat penontonnya berpikir bahwa, Alisa lah yang bersalah karena ia malah mencoba bekerja dan berkarir; Alisa lah yang bersalah Alisa karena ia bekas pekerja seks; Kalau dulu dia tidak seperti itu, mungkin ia hidup bahagia selamanya, menjadi istri dan Ibu yang baik. Epitom perempuan 'seutuhnya!'

Iklan

Gelombang pertama horor Indonesia melesat pada tahun 1971, yakni pada saat Beranak Dalam Kubur karya Awaludin dan Ali Shahab muncul melejitkan nama Suzzanna. Film tersebut membuka jalan bagi segambreng film horor lainnya yang dirilis di era Orde Baru.

Di bawah rezim Soeharto, Indonesia mengalami liberalisasi ekonomi, dan menempatkan militer sebagai pengontrol masyarakat. Dalam iklim seperti inilah film horor Indonesia mulai menonjolkan seksualitas perempuan yang terepresi, sehingga mati gentayangan dan membalas dendam pada orang-orang yang bertanggung jawab atas kematiannya. Sesekali diselingi humor khas lanskap masyarakat pedesaan sebagai bentuk eskapisme kondisi sosial dan politik.

Terlepas dari kesuksesan Orde baru dalam melanggengkan citra hantu perempuan, sebetulnya bagaimana sih gambaran mitologi hantu (the unseen world) Nusantara tentang hantu perempuan itu sendiri? Apakah narasi Orde Baru sukses mengubah atau bahkan merusak mitologi hantu (perempuan) Nusantara?

Aku menemui Risa Permana Deli. Sudah lima tahun terakhir Direktur di Pusat Kajian Representasi Sosial ini meneliti soal hantu sebagai kontrol sosial, dan bagaimana kepercayaan terhadap hantu mempengaruhi kepercayaan terhadap hal lain termasuk agama. Ia mengatakan industri film dan televisi bertanggung jawab terhadap narasi baru hantu perempuan, yang menurutnya melenceng dari platform mitologi lokal.

"Cerita hantu Itu bagian dari tradisi oral. Kita dulu hanya tahu bahwa Sundel Bolong itu perempuan saja. Cerita dia diperkosa, kemudian bunuh diri itu sudah bentuk narasi yang baru," kata Risa yang aku temui di Kantor Pusat Kajian Representasi Sosial, Jakarta Selatan.

Iklan

Risa menjelaskan bahwa gambaran hantu dalam berbagai film horor melambangkan ekspektasi terhadap siklus kehidupan perempuan yang dianggap tidak selesai. Perempuan dianggap mesti menikah, punya anak, menjadi ibu rumah tangga, membesarkan anak, tua, menjadi nenek, dan kemudian mati dengan tenang. Lantas jika siklus tersebut 'terputus' di tengah jalan karena keguguran, aborsi, atau meninggal dalam proses melahirkan, siklus kehidupan 'ideal' yang tertanam di masyarakat tidak terpenuhi. Tanpa empati, mereka dituduh menjadi hantu dan bergentayangan karena kematian 'tidak sempurna'.

Sutradara Pengabdi Setan (2017) Joko Anwar, ketika diwawancarai media, menganggap bahwa sensibilitas film tahun 1970-1980-an terhadap perempuan masih begitu rendah. Menempatkan perempuan hanya soal tubuh semata.

Menurut Risa, hantu-hantu perempuan dalam mitologi lokal erat kaitannya dengan hubungan ibu dan anak, tetapi dalam konsep ibu sebagai pemberi kehidupan, pemberi kasih sayang. Sebagai contoh, Risa menyebutkan dua hantu perempuan paling ikonik dalam mitologi hantu Nusantara, yakni Wewe Gombel dan Nina Pokpok dalam masyarakat Sulawesi.

Wewe Gombel memang digambarkan sebagai sosok perempuan yang menculik anak di malam hari. Sementara itu, Nina Pokpok diceritakan sebagai hantu perempuan yang suka mengelus rambut anak kecil untuk mengambil sehelai rambutnya. Konon setelah rambutnya dicabut si anak akan mati pada malam hari. Namun, menurut Risa, kedua tokoh hantu tersebut murni melambangkan sisi kerinduan seorang Ibu terhadap anaknya untuk memberi kasih sayang dan kehidupan, bukan malah dianggap punya unsur setan.

Iklan

Lebih lanjut, Risa berpendapat bahwa representasi perempuan yang dianut industri film dan televisi horor mengacu pada perspektif Barat berdasarkan pengertian mitologi agama [monoteis] tentang Adam dan Hawa. Perempuan digambarkan sebagai makhluk penggoda yang membuat Adam memakan buah terlarang sehingga mereka harus terusir dari surga dan tinggal di dunia yang fana. Tidak heran selama berabad-abad interpretasi agama monoteis menganggap perempuan mesti dikontrol. Intinya, industri abai meneliti mitologi hantu lokal Nusantara dan semata menjadikan hantu perempuan sebagai alat kontrol perempuan itu sendiri.

"Jadi, perempuan dalam pandangan pengetahuan barat yang berasal dari mitologi agama, akan selalu dianggap sebagai makhluk diabolik," kata Risa. "Ada unsur satanik dalam perempuan. Celakanya, unsur tersebut adalah tubuhnya."

Berkat perbincangan tersebut aku menyadari penuh bahwa konsep mitologi hantu (the unseen world) lokal berbeda dari yang digambarkan dalam industri film horor Indonesia era Orde Baru maupun dalam film dan reality show yang populer sejak awal dekade 2000-an.

Mitologi lokal menempatkan sosok makhluk halus perempuan sebagai figur sakral yang melindungi alam semesta, sekaligus sebagai pemberi kehidupan. Konsep ini tentu saja menjadi paradoksikal, di mana dalam kebudayaan lokal [masyarakat agraris] perempuan dianggap berkuasa pada kehidupan, contohnya sosok Dewi Sri. Sementara itu dalam perspektif Barat berbasis interpretasi umum agama monoteisme, perempuan dianggap sebagai makhluk yang punya unsur iblis dan penggoda.

Iklan

"Jadi perempuan di tempat kita [mitologi lokal], posisinya secara ontologis, itu enggak sama seperti perempuan yang diposisikan di Barat, di mana mereka lahir dari mitologinya Adam dan Hawa," ujar Risa. "Perempuan dalam mitologi lokal tidak pernah memiliki dimensi satanik, tokoh perempuan itu jagoan, yang melindungi dunia."

Gagasan unsur satanik inilah yang menjadikan makhluk halus didominasi perempuan sebagai musuh yang harus selalu dilenyapkan dan dihancurkan. Caranya? Tentu saja ajian mahasakti dan ritual eksorsisme dari para pengampu agama. Dari zaman Pengabdi Setan (1980) hingga era Uka-Uka, pemuka agama dijadikan sebagai tokoh heroik pengusir makhluk halus. Aku tidak memungkiri bahwa konsep agama melawan makhluk halus ini merasuk dalam nalarku, mungkin juga nalar kita semua.


Baca juga artikel VICE lain yang membahas soal hantu:

Film Pengabdi Setan (1980) karya Sisworo Gautama Putra menggambarkan secara sempurna bagaimana sosok perempuan dengan unsur satanik bisa dilawan dengan ajian sakti agama. Film ini merupakan film horor pertama yang mengangkat representasi agama Islam di Indonesia. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari penetapan Kode Etik Produksi Film Indonesia pada 1981 yang mewajibkan produksi film nasional punya fungsi sebagai penjaga moral bangsa. Sehingga, langgenglah keberadaan tokoh agama sebagai polisi moral pada film-film horor selanjutnya yang pada akhirnya selalu menjadi pahlawan pengusir setan.

Iklan

Jujur saja, dulu aku termasuk orang yang menganggap bahwa dunia tak terlihat adalah sesuatu yang patut dimusuhi dan dimusnahkan. Berkali-kali ajian dan doa-doa aku lafalkan tatkala sosok tak biasa muncul di pandangan. Anehnya, sebagian lainnya bilang, diriku dijaga oleh sesosok makhluk baik tak terlihat. Dalam industri film dan televisi Indonesia, makhluk halus selalu jadi pihak yang kalah dan manusia jadi pemenangnya. Makhluk halus kalah karena ada sisi satanik dalam dirinya, dan manusia menang karena erat-erat memegang agama. Dengan konsep seperti ini, tidak heran kalau manusia dan makhluk halus selalu dikonstruksikan sebagai dua pihak yang saling bermusuhan. Padahal apa benar demikian?

"Tiba-tiba manusia sama hantu itu bertarung dan pertarungan itu selalu dimenangkan karena manusia memiliki agama. Pokoknya, semuanya hantu itu adalah musuhnya kita, musuhnya agama," ujar Risa.

Padahal mitologi hantu lokal tidak mengajarkan demikian. Makhluk halus dari dunia yang tak terlihat diposisikan sebagai sesama makhluk tempat kita berbagi ruang kosmik, tanpa saling mengganggu.

Terserah mau percaya atau tidak, tapi sepertinya gagasan mitologi lokal soal makluk yang tidak patut kita agungkan dan tidak patut juga kita musuhi menjadi masuk akal. Terlepas dari persoalan hantu yang sering diingkari oleh ilmu pengetahuan, setidaknya dunia tak terlihat dalam mitologi lokal sanggup mengajarkan kita bahwa semesta adalah hal yang patut kita hormati. Bahwa pada dasarnya naluri manusia adalah saling mengasihi, saling menjaga dan saling berbagi kehidupan dengan yang lainnya. Bukannya malah memposisikan makhluk halus (perempuan) sebagai unsur satanik, memaknainya sebatas tubuh dan sensualitas, dan menjadikannya alat kontrol belaka. Bukan pula untuk menegaskan jika kita makhluk berbeda, maka harus saling menghancurkan.

"Kita itu bukannya tunduk pada hantu, tapi kita tahu bahwa ketika ada ruang di mana mereka harus datang, ya kita terima," kata Risa. "Karena dia paling cuma lewat saja, bukannya berdiam, menguasai, mempengaruhi manusia, apalagi sampai membunuh. Menurut saya enggak ada."