FYI.

This story is over 5 years old.

Mata Uang Virtual

Perang Melawan Bitcoin Sulit Dimenangkan Bank Indonesia

VICE menghubungi para penyedia jasa transaksi Bitcoin lokal soal rencana larangan transaksi bank sentral. Mereka siap mengakali aturan memakai valas atau bertransaksi di situs luar negeri.
Sumber kolase foto: bi.go.id dan akun flickr zcopley/lisensi creative commons.

Blokir dan pelarangan merupakan upaya favorit pemerintah Indonesia setiap kali tidak bisa menghentikan disrupsi teknologi. Setelah aplikasi pesan telegram dan whatsapp, serta transportasi online, target pemblokiran selanjutnya adalah Bitcoin: cryptocurrency yang makin memiliki banyak peminat di Tanah Air. Persoalannya, pelaku bisnis Bitcoin lokal yakin otoritas moneter Indonesia akan bernasib seperti Cina jika ngotot melarang pemanfaatan mata uang virtual.

Iklan

Bank Indonesia menjadi inisiator pelarangan mata uang virtual di Tanah Air. Sejak 2014, bank sentral menyatakan Bitcoin dan sejenisnya tidak boleh dipakai sebagai alat tukar, karena sesuai undang-undang, satu-satunya mekanisme pembayaran yang sah hanya dengan Rupiah.

Imbauan tersebut kini akan segera berubah menjadi larangan menyusul peraturan baru yang sedang digodok untuk menghentikan transaksi mata uang virtual. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan pelarangan harus dilakukan demi mencegah Bitcoin dipakai dalam kasus pencucian uang, pendanaan terorisme, sekaligus menjaga kedaulatan mata uang rupiah.

“Kami melarang penyelenggara teknologi keuangan, e-commerce, serta penyelenggara jasa sistem pembayaran yang menggunakan dan memproses virtual currency. Kami pun melarang perusahaan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memfasilitasi transaksi menggunakan virtual currency,” ujar Agus saat dikutip awak media pekan lalu.

Dimaz Wijaya, pendiri situs trading mata uang virtual Kriptologi.com, mengatakan mustahil bagi pemerintah memblokir ekosistem Bitcoin, termasuk kegiatan menggali bitcoin (mining). Yang bisa dilakukan pemerintah lewat gagasan BI menurutnya, hanya memblokir situs jual-beli dan melarang pengembangan platform pembayaran Bitcoin untuk pembelanjaan. Itupun juga sebuah upaya yang sia-sia, karena pengguna akan menemukan jalan untuk menguangkan Bitcoin atau memakainya untuk bertransaksi.

Iklan

“Jika yang dibekukan adalah pasarnya, orang enggak akan bisa bertransaksi. Tapi itu cuma temporer,” kata Dimaz kepada VICE Indonesia. “Mustahil melarang Bitcoin, dia otonom dan terdesentralisasi.”

Dengan melarang Bitcoin untuk transaksi pertukaran barang atau jasa, Dimaz menyatakan BI malah rugi besar. Sebab aliran transaksi mata uang virtual itu justru lari ke luar negeri. Pengguna atau pun platform penyedia Bitcoin berdasarkan pemantauannya siap kapan saja memindahkan transaksi ke luar negeri yang tidak berada dalam kewenangan BI. Terlebih, mustahil pemerintah hendak melarang transaksi orang per orang (peer-to-peer) yang dilakukan privat.

“Gampangnya, pengguna dapat dengan mudah memindahkan transaksinya ke luar negeri dengan mata uang lain, misalnya dollar,” ujar Dimaz.


Simak dokumenter tim Motherboard dari VICE saat mendatangi tambang Bitcoin rahasia di Cina:


Persis seperti itulah pengalaman Cina yang melarang Bitcoin awal November lalu. Sesaat setelah pemerintah Cina memberlakukan larangan, nilai tukar Bitcoin merosot. Namun itu hanya beberapa jam saja, sebelum naik ke titik tertinggi hingga mencapai US$5.000 per 1 Bitcoin. Perusahaan jual-beli Bitcoin di Negeri Tirai Bambu beramai-ramai memindahkan operasinya ke luar negeri. Singkatnya, kegiatan jual-beli Bitcoin dari wilayah Tiongkok sama sekali tak terganggu dan masih berjalan sampai sekarang.

Adapun sejak masuk ke Indonesia pada 2013 hingga 2017, pengguna Bitcoin telah mencapai 500.000 pengguna. Angka pengguna Bitcoin tersebut memang tergolong kecil jika menilik angka penduduk Indonesia yang terkoneksi internet sebanyak 132 juta orang.

Meski angka penggunanya kecil, nilai transaksi hariannya cukup fantastis, mencapai US$10 juta. Saat ini telah bermunculan situs jual-beli Bitcoin seperti Bitcoin.co.id, Triv.co.id, Emoney.co.id, dan lain sebagainya. Namun, kebijakan BI memang sudah menggoyang para pemain Bitcoin lokal. Dua platform pembayaran, Toko Bitcoin dan Bitbayar, gulung tikar menyusul tekanan pemerintah. BitBayar, berhenti beroperasi per 1 November, mengklaim telah menggandeng 1.636 merchant yang menerima pembayaran dengan BitCoin.

Pendiri situs jual-beli Bitcoin.co.id, Oscar Darmawan, mengaku tidak khawatir mendengar regulasi BI. Oscar mengatakan transaksi Bitcoin di Indonesia masih tergolong rendah, hanya sekira 4 persen dari total transaksi dunia. Namun seiring waktu angka itu terus meningkat. Dia yakin regulasi bank sentral nantinya tidak terlalu berpengaruh karena sifat Bitcoin yang universal.

“Analoginya gampang, misalnya Indonesia enggak menerima emas, tapi di negara lain transaksi emas dihargai tinggi. Aset seperti Bitcoin atau emas kan tidak mengenal batas negara,” ujar Oscar saat dihubungi VICE Indonesia.

Melihat sifat Bitcoin yang bebas dari campur tangan otoritas keuangan, tampaknya perang yang dikobarkan BI tak akan berujung kemenangan. Bitcoin adalah mata uang yang tak bisa diatur oleh bank sentral manapun, termasuk oleh negara sekelas Cina yang selama ini sudah mengembangkan 'tembok besar' sensor internet sekalipun.