FYI.

This story is over 5 years old.

Easy Riders

Masakan Hakka Paling Enak Seantero Jakarta Tersembunyi di Gang Kecil

Wong Fu Kie adalah restoran di Glodok yang wajib kalian datangi setidaknya sekali seumur hidup—asal kalian bisa menemukan lokasinya.
Semua foto oleh Yudistira Dilianzia.

Jalanan di Pecinan Glodok, Jakarta Barat, seakan-akan dirancang supaya orang tersesat di dalamnya. Ada banyak gang, jalan sempit hanya bisa dilalui satu motor, serta percabangan jalan raya di tiap sudutnya. Namun kita tidak akan sumpek melalui semua itu, sebab Glodok adalah tempat kaya warna. Tiap jalan punya ceritanya masing-masing, walau sebagian suram, bahkan menyesakkan, mengingat dulunya kawasan ini menjadi sasaran amuk massa dalam kerusuhan didorong sentimen rasial pada Mei 1998. Luka akibat tragedi Mei masih membekas di Glodok, terasa sampai sekarang.

Iklan

Walaupun disebut pecinan, sebetulnya sebagian besar penduduk dari etnis Tionghoa di Glodok tak lagi tinggal di sana. Sebagian mereka tinggal di Pluit, atau Pantai Indah Kapuk. Lantas, tetap layakkah Glodok disebut sebagai pecinan bila kondisinya semacam itu? Jawabannya karena beragam restoran menyajikan kuliner Cina otentik sangat mudah kalian temukan di sana.

Salah satunya adalah Wong Fu Kie. Restoran dengan menu utama masakan khas Hakka ini begitu populer, sampai-sampai tak perlu lagi beriklan. Sebab, saban hari ada saja pelanggan setia yang datang ke sana. Tapi strategi mengandalkan getok tular macam ini bagai pedang bermata ganda. Banyak calon pelanggan baru, seperti aku misalnya, yang kesulitan mencari lokasi Wong Fu Kie.

Bagaimana aku bisa tahu soal Wong Fu Kie kalau begitu? Mari ceritanya kita putar sejenak.

Aku sangat suka masakan Cina. Dulu aku pernah tinggal sebentar di Chongqing, kota yang cukup maju di tenggara Tiongkok. Masakan khas sana masuk dalam mazhab Sichuan. Rasanya relatif pedas. Kawanku kala itu, yang tahu aku tak terlalu suka citarasa pedas, menyarankan agar aku menjajal kuliner China bagian Selatan. Konon, makanan tersebut cenderung lebih gurih dengan dominasi sajian dengan bawang putih. Itulah olahan khas Hakka dari daerah Moiyan atau Meixian di bagian selatan Cina. Selama tinggal di Tiongkok, aku justru tak sempat berkunjung dan mencoba masakan khas Hakka. Siapa sangka, pengalaman mencicipi restoran otentik Hakka justru kudapatkan di Indonesia.

Iklan

Informasi soal Wong Fu Kie lantas kudapat dari kawan bernama Yudistira. Dia berkali-kali mempromosikan bahwa restoran khas Hakka Cina yang paling enak di seantero Jakarta, tak lain dan tak bukan, menurutnya cuma Wong Fu Kie.

"Sumpah itu belutnya enak banget sih, enggak ngerti gimana ngejelasinnya," ujarnya padaku.

Ternyata cukup sulit menemukan lokasi restoran ini. Aku menelusuri mulai dari jalan Perniagaan Timur, Glodok dengan patokan Bank BCA, dari situ kita mesti masuk ke sebuah gang kecil yang mengantarkan kita pada Gedung nomor 22. Tidak ada papan nama besar, tidak ada ruangan besar dengan meja-meja besar nan glamor. Tapi bisa kupastikan, dari dapur bangunan inilah masakan khas Hakka Cina otentik aku temukan.

"Kalau lihat dari foto kakek saya, [restoran] ini itu tahun 1925," kata Tjokro Indrawirawan Kusnadi, pewaris Wong Fu Kie. "Lokasinya dulu tahun 1925 di jalan raya yang ada trem, lalu pindah ke sini sejak 1970-an."

Wajar aja kalau Wing Fu Kie disebut salah satu restoran Hakka tertua Jakarta. Sekali datang, aku langsung terpana sama bangunannya. Restoran ini tersembunyi di balik gang kecil yang kesannya underground dan sinematik banget. Mirip setting film Hollywood Tomorrow Never Dies pas adegan kejar-kejaran. Aku memilih duduk di sebuah meja kecil di sudut ruangan di bawah jajaran almanak yang bikin ruangan terasa semarak banget.

Aku pun terpana pada pajangan di pojok ruangan. Tulisan "Wong Fu Kie" dalam tulisan Cina klasik. "Wong Fu Kie ini restoran yang sudah turun-temurun," kata Tjokro. "Karena kawan saya jago menyair, jadi dia bikin saja Wong Fu Kie yang dikait-kaitkan. 'Wong' itu kan artinya 'kuning', seperti sungai Kuning yang panjang mengalir di RRT sehingga akan kekal perusahaannya, dan 'Fu' itu maknanya perusahaannya akan tahan lama terus dikenang sepanjang masa."

Iklan

Tjokro menjelaskan padaku keluarganya merupakan orang Hakka dari kelompok Han China, yang mempertahankan beberapa menu jagoan tanpa modifikasi. Tjokro tidak bisa memastikan apakah Wong Fu Kie merupakan satu-satunya restoran otentik Hakka di Jakarta. Namun, jika bukan satu-satunya, maka bisa dibilang Wong Fu Kie adalah salah satu restoran otentik Hakka tertua di Jakarta.

"Kalau [restoran lain] yang sudah dimodifikasi bisa dilihat di menunya. Kalau kita [modifikasi] ya paling, udang goreng mentega atau sajian yang direbus," kata Tjokro. "Kalau Hakka mainannya bawang putih dan tape."

Sesudah ngobrol bersama Tjokro, akhirnya aku memutuskan memesan Mun Kiaw Mien Seafood. Selanjutnya, sesuai rekomendasi Yudistira, aku juga memesan Wong San Fumak alias belut goreng, serta ayam Rebus.

Pesanan yang datang pertama adalah Mun Kiaw Mien. Intinya ini bakmi yang disajikan secara "mun". Secara harfiah, mun berarti tidak kering dan tidak kuah, hanya basah. Sajian ini terdiri dari mie dan pangsit basah yang disajikan dengan sayuran dan daging yang bisa dipilih mulai dari ayam, babi, dan seafood. Sajian ini merupakan ciri khas dari Wong Fu Kie yang berulang kali disebutkan oleh pramusaji agar kami pesan.

"Pokoknya enggak ada lagi yang bikin Mun Kiaw Mien di Jakarta," kata pramusaji yang membantuku memilih menu.

Benar saja, berbeda dari mie daerah Sichuan yang dulu sering kusantap, sajian ala Hakka cenderung lebih gurih, rasanya netral. Kalau berminat mendapat rasa pedas, bisa kita tambahkan sendiri. Mienya pangsit basahnya kenyal.

Iklan

Cukup mengisi perut dengan karbohidrat, asupan proteinku malam itu datang dari Wong San Fumak. Ini adalah sajian dengan bahan utama potongan daging belut digoreng kering berbalut tepung. Wong San Fumak ditemani sayur kailan lengkap pakai saus khas Hakka yang terbuat dari tape hitam. Sajiannya sekilas kemerahan, tapi rasanya sama sekali tidak pedas malah cenderung manis dan asam, khas rasa fermentasi tape. Tekstur belut yang gurih dan renyah, ditambah tekstur saus yang lembut, terasa klop di lidah. Wong San Fumak jadi menu favoritku hari itu.

Sajian yang datang belakangan pesan adalah daging rebus. Pengolahannya sederhana. Dada ayam direbus, disajikan dengan minyak dan taburan bawang putih goreng. Kurang Hakka apa lagi coba? Dagingnya lembut dan juicy di dalam, di luar gurihnya pas enggak berlebihan.

Makan di sini bikin aku mengeksplorasi lebih jauh kuliner dataran Cina. Wong Fu Kie membuatku kangen hotpot, kung paw, serta macam-macam masakan lain yang disajikan induk semang selama aku tinggal di Chongqing dulu. Sampai nanti aku bisa kembali lagi ke Tiongkok, rasanya enggak berlebihan bila aku bilang Wong Fu Kie berhasil mengobati rasa rindu yang membuncah dalam dada.