FYI.

This story is over 5 years old.

Perubahan Iklim

Listrik Tenaga Surya Adalah Penyelamat Sejati Umat Manusia di Masa Depan

Ilmuwan Martin Green menyatakan teknologi berbasis sinar matahari masih sering disepelekan saat kita membahas penyelamatan lingkungan dari pemanasan global.
Para biksu memantau panel pembangkit listrik tenaga surya di Ladakh, India
Para biksu memantau panel pembangkit listrik tenaga surya di Ladakh, India. Foto Allison Joyce/Getty

Masa depan bumi kita sudah pasti suram. Itulah pesan dari laporan UN Intergovernmental Panel on Climate Change. Menurut laporan ini, bumi bakal segera melebihi target suhu 1,5 derajat celcius di atas tingkat praindustrial yang disebut peneliti sebagai kekacauan lingkungan skala massif, jika kita tidak mengalami perubahan sosial secara dramatis. "Laporan ini menunjukkan bahwa peluang umat manusia menghindari kerusakan ekstrem pada sistem iklim yang menghidupi kami ini sangat kecil," ujar Amjad Abdulla, anggota dewan IPCC.

Iklan

Karena kini Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat, dan Kongres dikuasai oleh anggota partai Republikan yang sudah bertahun-tahun memblokir aksi melawan perubahan iklim, potensi bumi kita mampu bertahan dari kerusakan lingkungan sangat kecil. Namun pada awal Oktober ini, saya bertemu dengan seorang ilmuwan asal Australia yang berpendapat bahwa bumi sebenarnya belum mau kiamat. "Saya bukannya pesimis, saya memilih optimis berbasis data," ujar Martin Green dari Universitas New South Wales. Ini yang dikatakan data padanya: Biaya listrik tenaga surya telah menurun dengan cepat dan drastis: 34 persen tahun ini. Jumlah instalasi alat pembangkit energi berbasis solar pun ikut meroket.

Jika pertumbuhan ini terus terjadi, dengan energi solar dan energi terbarukan yang sedang memusnahkan penggunaan batu bara, Green percaya bahwa ada kemungkinan emisi gas rumah kaca akan jatuh pada laju yang dibutuhkan untuk menghindari dampak-dampak terburuknya perubahan iklim.

"Beberapa tahun lalu saya sudah mulai pesimis… Saya pikir 'wah kesadaran memakai energi terbarukan tidak bakal terjadi,'" katanya. "Tiba-tiba tahun 2016 kami melihat harga-harga alat energi solar yang sangat rendah." Solar berubah dari salah satu sumber energi yang termahal di dunia menjadi yang termurah . Sekarang Green yakin, "waktunya solar telah tiba, dan ini merupakan kabar baik untuk Planet Bumi."

Green sudah menjadi bagian dari industri pembangkit listrik tenaga matahari sejak hari-hari awalnya. Dia mendirikan kelompok penelitian yang pada tahun 1989 menciptakan sel solar pertama dengan tingkat efisiensi sebesar 20 persen, yang memecahkan rekor dunia pada saat itu. "Kami mencapai efisiensi yang melebihi harapan semua orang," ujarnya. Green menciptakan yang namanya sel solar PERC, yang sekarang bertanggung jawab untuk penjualan solar $10 miliar setiap tahun. Rekan-rekan peneliti di laboratoriumnya—termasuk Zhengrong Shi, yang sekarang menjadi kepala Suntech Power— berperan sangat penting dalam menciptakan industri solar di Cina yang terbesar di dunia.

Iklan

Green mengalahkan Elon Musk dalam Penghargaan Global Energy tahun ini, sebuah penghargaan yang dihadiahi oleh Rusia. Green berhasil meraih penghargaan bersama Sergey Alekseenko, seorang ilmuwan daya termal asal Rusia. Saya pun hadir di upacara penghargaannya pada tanggal 6 Oktober untuk menerima penghargaan jurnalistik energi. Saya sempat berbicara dengan Green beberapa kali mengenai penelitiannya.


Tonton dokumenter VICE menyorot sebuah gereja yang menjanjikan jemaat hidup abadi memakai teknologi khusus:


Yang ditegaskan oleh Green adalah bahwa perdebatan politik tentang perubahan iklim tidak sesuai dengan kenyataan. Pemimpin seperti Trump menggambarkan transisi kami dari bahan bakar fosil sebagai mahal dan susah diandalkan.

"Argumen yang sekarang selalu kami pakai adalah teknologi terbarukan akan menghemat anggaran karena nyatanya solar itu memang lebih murah." Dua tahun lalu instalasi total alat energi solar mencapai 230 gigawatt. Pada akhir 2017, jumlah ini naik menjadi 400 gigawatt. Laboratorium Energi Terbarukan Nasional AS memperkirakan jumlah ini akan mencapai 1.000 gigawatt pada tahun 2023. Menurut Green, jumlah ini bisa mendekati angka 10.000 gigawatt pada tahun 2030.

Green menyatakan bahwa pengurangan karbon akibat industri solar yang meledak, serta perubahan industri menjauhi bahan bakar fosil, bisa menempatkan kita ke "arah yang benar" untuk mencapai transformasi ekonomis seperti dijelaskan dalam laporan IPCC. Itupun hasilnya belum pasti, dan Green percaya bahwa hal ini akan susah tercapai secara politik selama pemimpin-pemimpin negara terus menyangkal perubahan iklim adalah fakta ilmiah.

Iklan

Bahkan jika kita bisa mengurangi emisi global dengan cepat selama beberapa dekade mendatang, upaya ini masih belum cukup menghindari kerusakan global besar-besaran. Laporan IPCC terbaru mengatakan bahwa bumi akan semakin tidak layak dihuni jika kita tidak mengurangi produksi karbon hingga nol pada 2050. Hingga 90 persen terumbu karang mulai lenyap pada pemanasan 1,5 C. Sementara itu, terumbu karang akan benar-benar punah pada 2 C. Proyeksi saat ini menjelaskan bahwa bumi akan memanas antara 2,7 C hingga 3,7 C pada 2100. Mantan Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland menyebut temuan laporan ini sebagai "bom waktu."

1539612729048-GettyImages-1044449754

Martin Green saat mengisi ceramah di Moskow. Foto oleh Mikhail Japaridze\TASS via Getty

Mudah dimaklumi jika pemberitaan media lebih menyoroti sisi gelap dan peringatan tentang petaka yang akan terjadi jika emisi karbon tidak direm. Kendati begitu, laporan IPCC juga menyertakan kabar yang penuh harapan, meski ditulis dalam bahasa yang sangat teknis. “Peluang pemanfaatan tenaga matahari, tenaga angin dan mekanisme penyimpanan listrik sudah mengalami perkembangan berarti beberapa tahun ini,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.

Awal tahun ini, sebuah kelompok bernama Lazard menghitung bahwa ongkos produksi listrik tenaga sinar matahari di Amerika Utara turun jauh dari $350 (setara Rp5,3 juta) per megawatt pada 2009 menjadi hanya $50 (setara Rp7,761 ribu) pada 2017, sementara ongkos produksi batubara masih tetap berada di kisaran $102 (setara Rp1,5 juta). “Perubahan ini bisa saja menandakan bahwa dunia tengah menyongsong revolusi energi,” seperti yang dilaporkan oleh Business Insider.

Iklan

Turunnya harga produksi listrik tenaga sinar matahari ini terjadi begitu cepat dalam beberapa tahun terakhir hingga sejumlah proyeksi masa depan listrik tenaga matahari—termasuk yang dijadikan acuan oleh IPCC— belum sepenuhnya diperhitungkan. "Fakta di lapangan berubah dengan cepat," kata Green. "Kalau kamu membaca laporan yang dibuat beberapa tahun lalu, isinya sudah tak relevan lagi saat ini.” Lebih jauh, Green menganggap laporan IPCC "kelewat kolot pada bagian imbas listrik tenaga surya."

Perlu juga dicatat bahwa meski sudut pandang Green juga diamini oleh sejumlah pemikir atau ilmuwan ternama, termasuk penerima hadiah Nobel Paul Romer, cara berpikir seperti ini belum diterima secara luas. Bahkan mereka yang memilih Green sebagai pemenang Global Energy Prize masih belum yakin bahwa energi terbarukan akan membawa umat manusia mendekati target perubahan iklim yang kita canangkan. "Analisis Martin hanya berkisar pemanfaatan listrik tenaga sinar matahari," kata Rodney John Allam, ketua komite Global Energy Prize. "Dia tidak sama sekali menyinggung pemanfaatan energi lainnya.” Tak ayal, hingga saat ini, susah sekali mengakhiri ketergantungan bahan bakar fosil terutama dalam industri transportasi dan petrokimia.

Jenis pertumbuhan energi surya yang diprediksi Green akan membutuhkan tingkat investasi yang besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Laporan IPCC memperkirakan bahwa dunia harus menginvestasi $2,4 triliun (Rp36 kuadriliun) per tahun dalam energi terbarukan untuk setiap harapan mencapai target 1,5 C. Tahun lalu, ada sekitar $333,5 miliar (Rp5 kuadriliun) yang diinvestasikan. Pada 2017, International Energy Agency menghitung bahwa sekitar $175 miliar atau Rp10 kuadriliun digunakan untuk minyak dan gas.

Iklan

"Pandangan mainstream mengatakan kalau kita belum bisa cepat mengurangi karbon dari sistem kelistrikan untuk memenuhi target IPCC,” kata kolumnis Bloomberg David Fickling baru-baru ini.
Satu dekade lalu, situasi permintaan stabil untuk bahan bakar batubara dan mobil serta biaya energi terbarukan sama-sama aneh. Berhubung cara pasar energi dunia sudah berubah dalam beberapa tahun terakhir, maka apa saja bisa terjadi."

Green mengamini ucapannya. "Bagi yang peduli dengan iklim, takutnya kita harus menunggu politikus untuk melakukan perubahan," katanya saat berpidato di Moskow. "Alasannya karena perubahan politik biasanya terjadi lambat.” Ia mengimbuh: "Namun, perubahan ekonomi sangat cepat dan kita sedang menyaksikannya."


Geoff Dembicki adalah penulis buku 'Are We Screwed? How a New Generation Is Fighting to Survive Climate Change'. Jangan lupa follow Dembicki di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.