FYI.

This story is over 5 years old.

Ronaldo

Skandal Christiano Ronaldo Adalah Simbol Korupsi Industri Olahraga Modern

Upaya menutup-nutupi skandal pemerkosaan CR7 mengungkap betapa korup dan eksploitatifnya sistem serta para penguasa bisnis sepakbola.
Cristiano Ronaldo menghadapi tuduhan pemerkosaan serius.
Foto oleh Andy Rain/EPA-EFE 

Kathryn Mayorga mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Clark County, Amerika Serikat, September 2018. Dia mengaku jadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh bintang sepakbola Cristiano Ronaldo. Kejadiannya pada 2009. Setelah diperkosa dulu, dia sebenarnya langsung melapor ke polisi. Mayorga menjalankan pemeriksaan medis dan melayangkan tuntutan pidana. Dia kemudian mencabut tuduhan tersebut sesuai saran dari pengacara yang tak terbiasa menangani kasus pemerkosaan. Mayorga menerima US$375.000 atau setara Rp5,6 miliar sebagai uang tutup mulut.

Iklan

Tahun lalu, majalah Jerman Der Spiegel menerima dokumen tentang kasus tersebut dari Football Leaks. Mereka menerbitkan ceritanya dan Ronaldo mengancam akan menggugat redaksi. Der Spiegel meyakinkan Mayorga untuk tidak tinggal diam. Ronaldo mengancam akan menuntut lagi. Mayorga senantiasa diancam dan diawasi gelagatnya oleh berbagai pihak, mulai dari pengacara, pengusaha, detektif sampai penggemar fanatik Ronaldo. Ini memang bukan satu-satunya tuduhan pelecehan seksual yang dihadapi Ronaldo, tetapi bisa dibilang ini kasus yang paling serius sepanjan karirnya karena bukti-bukti amat banyak.

Ada baiknya kita memahami siklus pemberitaan media saat menangkat masalah ini. Kita perlu mengingat konteksnya dari mana kasus pemerkosaan Mayorga muncul. Football Leaks bukan situs yang suka mengungkap tuduhan pemerkosaan. Situs ini biasanya mengekspos kasus kesepakatan transfer, kontrak sponsor, penggunaan perusahaan yang tidak aktif untuk penggelapan pajak, self-dealing, pengaturan skor, dan pencucian uang.

Salah satu informasi yang tersedia di sana adalah catatan yang mendokumentasikan negosiasi antara pengacara Mayorga dan pihak Ronaldo. Dokumen ini bukanlah satu-satunya yang berkaitan dengan Cristiano Ronaldo di arsip Football Leaks. Pada 2014, Ronaldo terbukti mengemplang pembayaran pajak sebesar 35 juta euro (setara Rp608 miliar) ketika dia mengalihkan 63,5 juta euro (Rp1,1 triliun) dari asetnya ke surga pajak British Virgin Islands.

Iklan

Pada akhirnya, dia mengaku bersalah atas empat tuduhan penggelapan pajak, setuju untuk membayar 19 juta euro (Rp330 miliar) dan menerima hukuman percobaan dua tahun penjara. Football Leaks mendokumentasikan korupsi yang dilakukan Ronaldo bersama petinggi industri sepakbola: sekelompok laki-laki berjas—agen, pemilik klub sepakbola, pemain, dan pejabat—yang sibuk mondar-mandir di lobi hotel, memenuhi ruang rapat dan rumah-rumah mewah.

Kita harus melihat bagaimana mereka menangani gugatan dan memperlakukan Mayorga, yang menyingkapkan unsur-unsur korupsi dan patriarki yang menjamur di budaya sepakbola. Ketika ditanyakan soal gugatan Mayorga, Ronaldo menyebut beritanya “hoaks.” Maret lalu, dia menggunakan istilah yang sama saat menanggapi rumor bahwa pihak berwenang Spanyol mengejar proses pidana setelah mereka menolak tawaran penyelesaian awal klubnya. Dalam sebuah postingan Instagram, dia meminta suporternya untuk tidak memercayai “berita bohong” yang sengaja ingin merusak “momen indah” kembalinya Ronaldo.

Tidak heran kalau para pelatih, direktur klub, sponsor, dan sebagian penggemar membelanya mati-matian. Juventus memuji “profesionalisme dan dedikasi” yang dimiliki Ronaldo. Hal ini jelas menunjukkan kalau tuduhan pemerkosaan tersebut tidak akan mengubah pendapat mereka tentang “sang juara” ini. Kalian perlu ingat bagaimana reputasi Juventus: klub ini terlibat dalam Calciopoli, skandal sepakbola Italia yang menyerupai Watergate, di mana klub dituduh melakukan pengaturan skor dan bentuk persekongkolan lainnya. Butuh puluhan tahun bagi Serie A untuk memperbaiki namanya— selama beberapa tahun, pemain meninggalkan sepakbola Italia karena strukturnya yang sangat korup. Lembaga olah raganya pun tidak bisa dipercaya.

Iklan

Penggemar sepakbola seringkali latah mempertanyakan motif penyintas kejahatan seksual melaporkan tindakan bejat pemain kesayangan mereka. Persis kasus Persija pada Via Vallen tempo hari. Kenapa yang disorot justru korban, bukan terduga pelaku?

Orang-orang di sekitar Ronaldo sangat memuja sang pemain bintang. Sistem patriarki yang berakar kuat dalam sepakbola tentu butuh sosok laki-laki superpopuler macam Cristiano Ronaldo. Pada 2017, Forbes memperkirakan bahwa atlet akrab disapa CR7 itu meraup hampir US$1 miliar (Rp15 triliun) hanya dari sponsor di media sosialnya. Dia memiliki 122 juta pengikut di Facebook, lebih banyak dari yang lainnya. Dia bisa menjangkau berbagai segmen masyarakat untuk sebuah iklan. Jauh lebih banyak dari selebritas lain. Tak heran, bila huru bicara Nike menganggap tuduhan perkosaan ini “sangat memprihatinkan” dan “mengganggu.” Ronaldo menandatangani kontrak seumur hidup, senilai $1 miliar (Rp15 triliun), dengan Nike pada 2016.

Nike saat ini sedang mencoba mengubah citra mereknya—mereka fokus pada atlet yang tidak hanya memperjuangkan kemenangan. Colin Kaepernick, Serena Williams, Caster Semenya, dan pesepakbola perempuan Meksiko, Nayeli Rangel, menjadi bintang iklan Nike. Mereka mengajak orang-orang untuk melakukan sesuatu yang lebih besar, terlepas dari struktur kekuasaan yang akan menganggap kita tidak penting. Nike sendiri juga terseret dalam kasus #MeToo. hampir puluhan eksekutif Nike dipecat setelah pegawai perempuan melakukan penjajakan tentang pengalaman dilecehkan dan dirundung, dan hasilnya diserahkan langsung ke CEO perusahaan.

Iklan

Tonton dokumenter VICE menyorot klub sepakbola Jerman St Pauly yang punya ideologi punk dan basis suporter progresif:


Kesepakatan antara pengacara Mayorga dan tim Ronaldo hanya salah satu dari sekian dokumen yang menggambarkan perjanjian dan akomodasi yang dibuat antara dan di sekitar sekelumit lelaki tanpa memikirkan perempuan yang jadi korban. Kesepakatan macam ini melanggengkan struktur kekuasaan korup guna mengambil untung sebanyak-banyaknya di kancah olah raga. Lantaran bukti-bukti korupsi yang dilakukan Ronaldo dan tim manajemennya kelewat banyak, kita sebaiknya menanggapi tuduhan Mayorga dengan serius.

Penggemar Ronaldo biasanya tak sudi mendengarkan fakta-fakta menyakitkan ini. Sayangnya Manchester United, Real Madrid, atau Juventus juga bagian struktur korup dalam industri sepakbola yang ingin terus menggemukkan pundi-pundi uang mereka dengan mengeksploitasi kedekatan suporter dengan pesepakbola pujaan mereka. Sentimen ini yang dipakai petinggi industri sepakbola sebagai tameng.

Di tangan ketiga pemain besar ini, sepakbola dipasarkan sebagai sesuatu yang bersih dari politik—sebuah tontonan/eskapisme yang dinanti-nanti para fansnya. Imej bahwasanya Ronaldo sebagai manusia super tak bisa dipungkiri adalah kenikmatan yang ditawarkan Ronaldo. Lelaki asal Portugal ini punya perawakan tegap yang menjulang tinggi. Di kancah olah raga di mana pemain-pemainnya topnya kerap bertampang aneh atau jauh dari kesan jatmika (Messi, Ronaldinho, dan Garrincha), sosok Ronaldo seakan jadi perlambang maskulinitas yang adiluhung.

Iklan

Di sinilah masalahnya: imej Ronaldo sebagai manusia super mengaburkan fakta bahwa Ronaldo banyak melakukan kesalahan pribadi yang tak bisa ditolerir. Korporasi busuk yang menguasai industri sepakbola global terus melindunginya. Lewat gempuran iklan dan bermacam langkah marketing yang canggih, jaringan korporasi buruk ini berhasil memperkuat kedekatan antara fan dan pahlawan lapangan hijau pujaan mereka. Dan, sialnya, para suporter inilah yang nantinya ikut-ikutan membela pujaan membabibuta, sembari merisak para korban kejahatan seksual idola mereka.

Lantas, kenapa para suporter ini gemar latah mempertanyakan motif tuduhan penyintas kejahatan seksual, dibanding mempertanyakan moral pemain kesayangan mereka? Gampang. Karena suporter ingin sekali menempatkan diri mereka sebagai idola mereka—atau dalam kasus ini menjadi Cristiano Ronaldo. Komentar serampangan penggemar Ronaldo terhadap mereka yang mempercayai tuduhan Mayorga biasanya seperti ini: “Memang kamu ada di ruangan waktu apa yang dituduhkan Mayorga terjadi?” sepintas, ini cuma komentar reaktif biasa. Namun, sejatinya retorika konyol ini menunjukkan satu hal: fpenggemar Ronaldo membayangkan dirinya ada di kamar itu. Dengan kata lain, mereka membayangkan diri mereka sebagai alibi Cristiano Ronaldo.

Jika tidak berfantasi menjadi idolanya, penggemar Ronaldo garis keras mengesampingkan esensi tuduhan Mayorga dan lebih memilih untuk menegaskan ulang capaian-capaian dan talenta luar biasa Ronaldo. Alhasil, dengan sudut pandang seperti ini, kasus Mayorga vs Ronaldo, bisa dikerdilkan menjadi sebuah tuduhan ngawur seorang perempuan terhadap salah satu pria paling sukses di lapangan sepakbola.

Iklan

Seandainya saja, mereka menggeser fokus argumen mereka dan menempatkan Ronaldo sebagai pesepakbola yang tak bisa dipisahkan dari sebuah sistem yang korup dan eksploitatif, maka pendukung CR7 akan melihat kasus ini sebagai sebuah tentang seorang pria yang bertanggung jawab dan menolak melihat dirinya sebagai sesama manusia seperti kita. Ronaldo—dan pemain sepakbola brengsek lainnya serta orang-orang yang berkecimpung di industri sepakbola—merasa dirinya ada di atas hukum. Sayangnya, tentu saja, penggemar berat Ronaldo tak pernah mau berpikir seperti ini.

Ronaldo dikemas menjadi ikon olahraga dan petinggi industri yang korup mencoba menempatkannya sebagai orang yang tidak bisa disentuh

Korupsi sudah kadung berakar dalam institusi sepakbola global—serta cabang olahraga lain. Kita bakal kesusahan membayangkan kancah olah raga tanpa segala macam korupsi di dalamnya. Publik dunia baru saja menyaksikan tim senam AS dan Komite Olimpiade Internasional (IOC), sempat terang-terangan menyangsikan laporan atlet perempuan kalau sudah diperlakukan tidak senonoh oleh dokter tim. Belakangan, pemerkosaan terbukti.

Apa yang menimpa Kathryn Mayorga jelas tak bisa dianggap enteng. Akan tetapi, untuk bisa memahami separah apa kasus Mayorga, kita terlebih dahulu harus mafhum bahwa kejahatan seksual tak terjadi di ruang kosong tanpa konteks yang melatarbelakanginya.

Bagi segelintir lelaki yang diuntungkan sistem korup yang memberi kesan mereka tak tersentuh hukum, memperlakukan perempuan sehormat-hormatnya adalah hal yang sukar dilakukan. Naasnya, ada lebih banyak lelaki dan bahkan perempuan yang berpikir serupa. Alhasil, mereka tak lagi punya sudut pandang panjang dalam kasus ini. Mereka patuh saja ketika institusi olah raga yang mereka puja meminta mereka bungkam, mengingkari melakukan perhitungan dan mengenali kebenaran di depan mereka. Parahnya lagi, mereka lupa bahwa struktur patriarkis yang mendewakan supremasi lelaki kulit putih adalah sebuah praktek korupsi dalam bentuknya yang paling menjijikkan.

Iklan

Jangan lupa, sistem macam ini tak cuma merugikan perempuan. Lelaki juga jadi korbannya. Misalnya, sampai saat ini, di Inggris, sekurang-kurang 800 bocah dan lelaki dewasa sudah buka kartu di depan publik sebagai korban pelecehan seksual sejumlah lelaki brengsek yang bekerja di klub-klub di sana. Ironisnya, dalam evaluasinya, FA tak sedikitpun menemukan bukti pedofilia dan berusaha menutup-nutupinya di kancah persepakbolaan Inggris. Rasanya, siapapun akan susah percaya bahwa pengelola klub-klub tak sekalipun menyaksikan kasus pedofilia di klub mereka, mengingat angka laporannya sangat tinggi. Satu-satunya penjelasan dari kecenderungan ini adalah pelecehan seksual sudah dianggap bagian dari kultur sepakbola profesional di Inggris.

Selama bertahun-tahun, banyak dari kita—entah itu atlet, wasit, penggemar, konsumen dan anggota komunitas olahraga, dengan berani membeberkan secara mendetail bagaimana FIFA dan IOC melecehkan perempuan. Sejumlah pesepakbola perempuan telah melaporkan kekerasan dan perilaku homofobik yang dilakukan oleh tim pelatih dan ofisial mereka. Atlet dari berbagai cabang olah raga mulai berani mengungkap cara melatih yang melecehkan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dengan konsekuensi yang berbahaya. Satu persatu tim sepakbola mulai memprotes eksploitasi sepakbola oleh segolongan penipu, orang yang tak becus bekerja dan lelaki hidung belang. Celakanya, keberadaan tim sepakbola perempuan justru kerap dijadikan dalih bahwa sepakbola tak punya masalah terkait pelecehan di dalamnya. Pendeknya, tim sepakbola perempuan didirikan agar klub dan federasi sepakbola bisa mengelak dan bilang "Kami enggak seburuk itu kok. Buktinya, kami punya tim sepakbola perempuan."

Iklan

Administrasi sepakbola perempuan yang semrawut mencerminkan budaya misoginis dan korupsi di dunia sepakbola. Sembari tim-tim laki-laki menerima dana dan fasilitas secukup-cukupnya, tim-tim perempuan dianggap sebagai beban bagi klub sepak bola, bahkan dianggap memalukan. Penggemar sepak bola perempuan melihat tim-tim nasional yang juara seperti Brasil dan Spanyol berjuang melawan halangan pada perkembangan, latihan, dan pemasaran mereka. Meskipun FIFA dengan senang hati mendukung World Cup Perempuan sebagai bukti niat baiknya, FIFA baru saja menjadwalkan dua pertandingan final laki-laki pada hari yang sama dengan pertandingan final perempuan.

Jika orang di sekitar atlet-atlet kalangan atas hanya ingin membayar korban-korban pelecehan dan kekerasan seksual, alasannya karena mereka sudah biasa melakukan itu, yang sebenarnya merupakan suapan yang menutupi kesalahan mereka. Mereka tidak melihat perempuan sebagai sesama anggota komunitas kepada siapa mereka bertanggung jawab—mereka melihat perempuan sebagai alibi dan bukti.

Menghadapi seksisme dan kekerasan seksual di persekolahan dan tempat kerja artinya menghadapi adanya korupsi di institusi-institusi yang memerintah kita. Hubungan kita dengan sekolah atau kerja terasa seperti kewajiban, sedangkan hubungan kita dengan olahraga terasa seperti pilihan. Sebagai penggemar olahraga, kita memasuki dunia ini setiap kali kita menyalakan televisi untuk menonton game atau memakai jersey pemain kesukaan kita. Cristiano Ronaldo memang pemain yang hebat-tetapi apa yang dia mewakili jika bukan korupsi bakat terhebat di dunia sepak bola oleh institusi yang paling kejam?

Iklan

Pemain sepak bola perempuan telah melawan pengabaian oleh organisasi-organisasi ini. Selama beberapa tahun lalu, tindakan langsung, seperti demonstrasi dan serikat pekerja telah memaksa aksi dari federasi. Misalnya, tim nasional perempuan Argentina menolak untuk bergabung sampai federasi berjanji untuk membayar gaji mereka, dan tindakan mereka berhasil.

Banyak atlet memeri demi mengubah perilaku federasi yang tidak adil terhadap atlet perempuan. Terkadang pemain laki-laki membuktikan dirinya sebagai sekutu para pemain perempuan, seperti tim laki-laki Norwegia yang telah menyetujui potongan gaji demi mencapai keadilan gaji.

Ini bukan hal yang sepele—tindakan serupa membuktikan adanya sisi lain dunia olahraga yang mementingkan semangat komunitas dan mengundang kita ke lapangan dan track. Inilah dunia olahraga yang berkomitmen pada semangat kompetisi yang memunculkan sisi terbaik dari pemainnya—tempat kita memainkan pertandingan mingguan yang spontan, di pertemuan olahraga SMA, di gym lokal. Dunia yang kembali ke akar komunitas.

Kita wajib lebih aktif menuntut ikon-ikon olahraga agar bertanggung jawab saat melakukan kesalahan. Selain itu, penggemar olahraga sekarang juga bisa melakukan lebih banyak untuk satu sama lain. Kita bisa mendengarkan yang bercerita; kita bisa mendengarkan orang yang mengatasi pengalaman pelecehan seksual.

Gugatan terhadap Cristiano Ronaldo bukanlah “hanya” sebuah cerita tentang seks: tuduhan ini juga merupakan sebuah cerita tentang olahraga. Mari alihkan perhatian kita dari Ronaldo sebagai seorang ikon olahraga dan mencoba memahami dunia yang menempatkannya sebagai sosok yang tidak bisa disentuh.


Jennifer Doyle adalah profesor Bahasa Inggris di UC Riverside. Dia menulis tentang kesenian, olahraga, dan gender. Dia adalah pengarang Campus Sex/Campus Security.

Brenda Elsey adalah profesor Sejarah di Universitas Hofstra. Dia meneliti kebudayaan populer dan politik. Dia adalah salah satu penulis buku "Futbolera: Sejarah Perempuan dan Olahraga di Amerika Latin" bersama Josh Nadel. Dia adalah salah satu host podcast feminisme dan olahraga mingguan yang berjudul Burn It All Down .

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.