FYI.

This story is over 5 years old.

Petrus Gaya Baru

Operasi Penembakan Misterius Jelang Asian Games Tak Terbukti Bikin Begal Kapok

Sedikitnya 15 orang terduga preman mati di tangan aparat saat operasi cipta kondisi jelang Asian Games. Puluhan ditembak di kaki dan ribuan ditangkap, nyatanya insiden begal tetap marak. Melanggar HAM iya, efektif kagak.
Ilustrasi patroli tim brigade motor Kepolisian Surabaya. Foto oleh Beawiharta/Reuters

Penggunaan kekerasan berlebih tampaknya tidak pernah menyelesaikan suatu masalah. Saat Polda Metro Jaya menggelar Operasi Cipta Kondisi Juli lalu, aparat telah menembak mati 11 orang begal dan menjaring lebih dari 2.000 orang terduga begal serta menahan 700 orang di antaranya. Lalu apakah angka kriminalitas benar-benar turun dan komplotan begal menghilang begitu saja? Aksi-aksi begal yang terjadi sepekan atau dua pekan belakangan membuktikan sebaliknya.

Iklan

Pada awal Agustus setidaknya terjadi lima pembegalan di sekitaran Jakarta Barat, Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang. Pekan lalu seorang kurir menjadi korban sekawanan begal di Kembangan, Jakarta Barat. Sehari sebelumnya, dua orang begal merampas sepeda motor dan memperkosa korbannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Meski operasi penembakan begal demi Asian Games telah dikecam oleh aktivis HAM, aparat kepolisian ngotot bahwa mereka telah melaksanakan tugas sesuai prosedur. Shaleh Al Ghifari dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengatakan bahwa polisi tidak memiliki fungsi untuk membunuh terduga maupun tersangka begal. Seharusnya, kata Ghifari, polisi mengedepankan cara-cara persuasif dan mengedepankan asas praduga tak bersalah. Ghifari mengatakan tindakan tembak di tempat yang dilakukan aparat tidak bisa dibenarkan meski pelaku dikatakan melakukan perlawanan selama penangkapan.

“Tidak ada istilah tembak mati dalam peraturan penggunaan senjata api,” kata Ghifari. “Cuma ada tembakan peringatan dan tembakan pelumpuhan. Dari fakta di lapangan ada yang ditembak bukannya di kaki atau tangan, tapi di dada dan dari belakang.”

Pada awal Agustus lalu, ketika operasi cipta kondisi jelang Asian Games berlangsung, setidaknya ada 56 preman jalanan yang ditembak polisi, dan 15 di antaranya tewas. Merujuk laporan yang diturunkan Koran Tempo 8 Agustus lalu, kematian para terduga penjahat kambuhan diselimuti banyak kejanggalan. Seorang korban atas nama Dedi, misalnya, ditangkap polisi dalam keadaan sehat. Ia pun tak melawan aparat, sebagaimana dituturkan oleh kakak kandungnya yang jadi saksi. Tapi keesokan harinya keluarga mendapat kabar bahwa warga Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta itu terpaksa ditembak karena melawan saat ditangkap petugas.

Iklan

Tonton dokumenter VICE soal kerusakan hutan hujan dalam skala besar di Indonesia demi melayani kepentingan industri minyak sawit:


Hal serupa juga terjadi pada seorang korban bernama Heru Astanto. Saat diciduk 7 Juli lalu, Heru dibawa oleh polisi tanpa diborgol ataupun diikat. Keesokan harinya, keluarga mendapat laporan bahwa Heru tewas dan jenazahnya bisa diambil di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Menurut hasil visum yang disampaikan Kepala Forensik Rumah Sakit Polri Edy Purnomo kepada Tempo, 15 jenazah tertembak pada bagian dada. Sebagian mengalami luka tembus dari punggung ke dada. Ada juga jenazah dengan dua sampai tiga luka tembak pada titik berdekatan di dada. Tembakan di dada itu mengindikasikan polisi tak lebih dulu mengupayakan tembakan untuk melumpuhkan, melainkan langsung tembakan yang mematikan.

Ghifari dari LBH Jakarta mengatakan bahwa operasi anti kejahatan dalam skala masif tersebut dapat memicu potensi salah tangkap dan pelanggaran hak atas keadilan. LBH Jakarta telah membuka posko pengaduan korban operasi anti begal. Namun hingga kini banyak keluarga korban yang enggan mengadu karena belum ada keberanian, kata Ghifari.

Amnesty International Indonesia menyayangkan kematian sia-sia demi rasa aman selama Asian Games. Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa penyelenggaraan Asian Games tidak seharusnya mengesampingkan hak asasi manusia.

Iklan

"Angka kematian yang tinggi tersebut menunjukkan ada pola penggunaan kekerasan yang tidak perlu," kata Usman. "Impunitas macam ini justru mencoreng institusi penegak hukum."

Indonesia tampaknya tidak belajar dari sejarah penembakan misterius (petrus) di era Orde Baru dalam kurun 1982 - 1985. Angka kriminalitas memang sempat turun kala itu, namun itu bukanlah suatu solusi instan yang permanen, kendati 2.000 hingga 10.000 nyawa terduga preman melayang dalam operasi tersebut.

Peneliti Human Rights Watch (HRW) Indonesia, Andreas Harsono, mengatakan razia preman memakai kekerasan adalah pola mengatasi masalah sembari menciptakan masalah baru. Menurutnya razia tersebut, seperti tragedi penembakan misterius alias 'petrus' yang digagas Orde Baru sepanjang dekade 1980-an. Memang aksi brutal polisi dapat memberikan terapi kejut sementara, namun tidak serta merta menghapus kriminalitas.

"Kita cukup belajar dari pengalaman lalu, termasuk penembakan misterius (petrus) tahun 1980-an," kata Andreas. "Masalah kriminalitas tidak hilang, dan sampai sekarang tetap muncul. Setelah Asian Games selesai, bakal muncul lagi preman."