FYI.

This story is over 5 years old.

Covering Climate Now

Terbakarnya Sabana di Pulau Komodo Sadarkan Kita Industri Pariwisata Wajib Diawasi

Apakah membangun resor besar di sekitar taman nasional betul akan menopang upaya konservasi, atau apakah ini sekadar akal-akalan cari uang?
Ilustrasi oleh Dian Permatasari

Pada awal Agustus, foto-foto kebakaran di Taman Nasional Komodo memenuhi media sosial kita. Pejabat pemerintahan belum mengonfirmasi penyebab kebakaran tersebut, yang meliput 10 hektar sabana di Pulau Gili Lawa, namun kesaksian wisatawan di lokasi menyimpulkan adanya pemotretan pranikah yang melibatkan kembang api. Pengguna Instagram segera mengutuk dan menyayangkan pihak-pihak yang bertanggung jawab, tapi bayangan bahwa ada orang-orang yang cukup bodoh untuk berulang kali menyalakan kembang api di ekosistem terkering di Indonesia membuat kita mempertanyakan turisme tanpa regulasi.

Iklan

Dua hari kemudian, PT Segara Komodo Lestari dan PT Komodo Wildlife Ecotourism diprotes warga di Manggarai Barat karena berupaya memprivatisasi “area rehat” seluas 21,1 hektar di lahan yang seharusnya menjadi area konservasi.

Petisi di Change.org meminta Presiden Joko Widodo untuk menarik izin dari investor swasta dari proyek itu, yang kini telah ditandatangani 82.000 pada saat tulisan ini dibuat. Mirip dengan gerakan #tolakreklamasi di Teluk Benoa, Bali, warga menentang proyek pembangunan karena alasan keadilan sosial dan kerusakan ekologi.

Perlawanan warga lokal kemudian membuat kita mempertanyakan, apakah pembangunan infrastruktur berskala besar di taman nasional Indonesia pada akhirnya akan menguntungkan orang-orang, hewan, dan lokasi yang paling terkena dampak. Tentu, pembangunan yang lebih baik berarti volume pengunjung yang lebih tinggi, namun apakah keuntungan dari turisme tersebut akan dirasakan warga lokal?

Perubahan yang dibawa investor adalah pisau bermata dua. Pembangunan infrastruktur yang pesat telah mengurangi biaya kebutuhan dasar di pulau-pulau jauh dan mengantarkan listrik ke desa-desa yang tertinggal. Meski demikian, pembangunan infrastruktur juga menghancurkan ekosistem Indonesia dan tradisi selama berabad-abad yang menghubungkan manusia dengan alam. Ekonomi turis adalah bagian besar dari pembangunan ini di area-area seperti Bali, di mana investor menyuntikkan triliunan rupiah dalam proyek-proyek reklamasi lahan dan resor di selatan pulau tersebut.

Iklan

Dari rencana untuk membangun mega-resor Trump di samping hutan hujan terakhir di Jawa, sampai sampah di seluruh taman nasional, turisme tidak selalu menguntungkan lingkungan sebagaimana ia menguntungkan ekonomi. Seiring bertambahnya wirausaha di sektor perhotelan meningkatkan dampak negatif turisme komersil, banyak orang mulai membangun penginapan alternatif berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan.

Ekoturisme menjadi inisiasi baru di negara ini. Dengan tujuan wisata terkenal seperti Raja Ampat, Papua, dan Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa, potensi ekoturisme di Indonesia besar. Meski demikian, tak seperti trekker di tujuan-tujuan yang lebih tua di Amerika Serikat dan Eropa, pengunjung di taman nasional Indonesia sering kali tak memiliki pengetahuan soal etika lingkungan dan keberlanjutan. Hasilnya, wisatawan menjadi korban bisnis-bisnis yang mengaku ramah lingkungan padahal pada kenyataannya tidak bertanggung jawab atas komunitas dan lingkungan sekitar. Ini adalah masalah sistemik—soal mengedukasi publik soal cara berjalan beriringan dengan alam alih-alih merusaknya.

Dianggap sebagai percontohan wisata oleh pemerintah, kesuksesan Bali telah menempatkan tekanan pada sumber daya alamnya. Pengeboran air tanah oleh resor-resor di Selatan pulau telah menyedot air bersih di pantai itu dan menyebabkan kekeringan di lahan-lahan milik petani sehingga mereka kesulitan mengairi tanaman mereka. Konsekuensi jangka panjangnya akan berdampak pada lingkungan hidup dan orang-orang di Bali, yang menghadapi penurunan ketinggian air dan masa depan yang tak pasti. Dan terlepas ini semua, strategi pertumbuhan Jokowi untuk turisme termasuk menciptakan “10 Bali Selanjutnya” di seluruh Indonesia demi mereplikasi kesuksesan komersil pulau dewata.

Iklan

Sebagai salah satu dari sepuluh tujuan wisata terpopuler, provinsi Manggarai Barat baru-baru ini mengandalkan Taman Nasional Komodo sebagai keuntungan ekonomi. Menurut gerakan #savekomodo, privatisasi pembangunan yang mengacuhkan pendapat warga dan mengancam habitat komodo pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup taman nasional di jangka panjang dan keberlangsungan hidup orang-orang dan hewan-hewan yang mengandalkan perlindungan area ini. “Taman Nasional Komodo dibentuk untuk konservasi,” ujar Kris da Somerpres, aktivis di balik kampanye #savekomodo. “Bukan untuk kepentingan bisnis pariwisata,” katanya.

“Negara mestinya berpihak pada masyarakat setempat, membangun fondasi sumber daya yang kuat, memberikan mereka hak-hak atas hidup dan penghidupan mereka. Karena mereka sesungguhnya elemen strategis dan utama yang menentukan keberlanjutan satwa komodo dan ekosistemnya ke depan. Bukan sebaliknya memfasilitasi pemodal yang kemudian punya kepentingan mengakumulasi modal.”

Pembangunan infrastruktur tetap menjadi agenda penting untuk administrasi Jokowi menuju Pemilu 2019. Menyebarkan listrik dan memperbaiki akses bagi komunitas-komunitas terpencil di seluruh Indonesia merupakan hal positif, namun saat pembangunan itu mulai menggerogoti keberlangsungan hidup warga lokal, mungkin ini saatnya kita mempertanyakan siapa yang sebetulnya paling diuntungkan. Merawat perlawanan lokal dari gerakan-gerakan akar rumput seperti ForBALI dengan membangun resor mega yang hanya akan melayani pengunjung asing kaya juga bukan cara terbaik untuk memenangkan publik.

Iklan

Tapi, masih ada harapan. Rosek Nursaid, kepala Profauna, LSM Indonesia yang membela perlindungan atas hutan-hutan dan margasatwa Indonesia melihat Maluku Utara sebagai contoh. Di sana ekoturisme yang berbasis melakukan pengamatan burung di alam sedang berkembang. “Itu sudah berkembang dan pendapatannya cukup bagus buat masyarakat lokal, buat guide dan sebagainya, dan imbasnya adalah masyarakat mau menjaga burung agar tetap lestari di alam,” katanya.

“Kalau saya melihat harus tergantung konsep dan zonasinya. Harus dibangun berbasis zonasi—zonasi inti, zonasi kemanfaatan, zonasi rimba, dan sebagainya. Selama pembangunan infrastruktur itu terletak di luar zona inti, dan kemudian juga dilakukan analisis dampak lingkungan yang mempertimbangkan daya jelajah (migrasi) satwa liar, hal ini masih dimungkinkan.”

Jadi, mungkin solusinya tak hanya terletak pada pembangunan atau pertumbuhan, melainkan pada cara turisme dijalankan. Menurut Kris dari #savekomodo, ekoturisme yang dipraktikkan selama ini adalah ekoturisme import. “Artinya ekoturisme yang tidak sungguh menjawab kebutuhan sosial, kultur, histori, dan religi masyarakat setempat. Tiga puluh tahun terakhir, masyarakat dalam kawasan sudah tiga kali berganti mata pencaharian, mulai dari meramu, kemudian menjadi nelayan, dan sekarang pekerja wisata (pematung dan penjual suvenir). Apakah ini ekoturisme? Tidak, ini adalah interupsi ekonomi (semata), yang mengalpakan aspek-aspek kehidupan yang lain. Perbaikan yang mesti adalah perlu pendekatan yang komprehensif dalam membangun konsep wisata ekoturisme di sana,” katanya.

Iklan

Sampai solusi berkelanjutan disepakati, gerakan ini tak akan berhenti.

Pada 20 Agustus 2018, 30 anggota DPRD Manggarai Barat secara terbuka menolak konstruksi privatisasi infrastruktur oleh PT. Segara Komodo Lestari.

Dua hari kemudian, beredar di Instagram video turis dan aktivis Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (FORMAPP) bergabung untuk merobohkan pagar-pagar yang dipasang oleh perusahaan tersebut. Dengan balok-balok kayu dan tongkat bercabang, mereka masuk ke lahan yang terletak di tengah-tengah Taman Nasional Komodo itu, untuk merobohkan pagar-pagar yang terbuat dari bambu dan seng.

Kesuksesan FORMAPP melawan privatisasi lahan di Taman Nasional Komodo akan membantu melestarikan ekosistem selama bertahun-tahun mendatang, namun kesuksesan ini terbilang kecil mengingat konflik yang terus berlangsung. Seiring gelombang urbanisasi pada wilayah-wilayah terpencil, pola populasi yang terus meningkat pada akhirnya akan menempatkan gaya hidup dan lingkungan tradisional berseberangan dengan industri-industri yang lebih baru.

Apakah kedua hal ini dapat hidup beriringan di area padat adalah pertanyaan yang perlu kita telusuri bersama-sama. Tapi, yang jelas banyak orang di luar pagar-pagar ini tidak tenang dengan cara pembangunan dijalankan.

“Ada rentang jarak yang lebar antara pariwisata sebagai bisnis yang menguntungkan di satu sisi dengan keadaan masyarakat setempat di sisi yang lain,” kata Kris.