Pengalaman Mencicipi Rasa Bir Berusia 5.000 Tahun

FYI.

This story is over 5 years old.

Bir

Pengalaman Mencicipi Rasa Bir Berusia 5.000 Tahun

Tim peneliti Universitas Stanford menemukan resep kuno pembuatan bir di barat laut Cina—kini anda bisa mencicipinya di sebuah bar kawasan Beijing.

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Setelah menonton sebuah video online menampilkan pelajar arkeologi Universitas Stanford meminum "bir ludah"—semacam minuman alkohol dengan tekstur seperti bubur dan bau seperti keju—menggunakan sedotan, saya sama sekali tidak tertarik untuk mencicipi. Gak kebayang rasanya kayak apa. Amit-amit.

Para pelajar tersebut mencoba membuat ramuan tersebut awal tahun ini untuk tugas arkeologi. Mereka terinspirasi beberapa profesor yang mengatakan metode itu merupakan resep pembuatan bir tertua dari Cina. Para peneliti dari Universitas Stanford menemukan resep bir berumur 5.000 tahun, didasarkan artefak pembuatan bir kuno di provinsi Shaanxi, Cina. Kini, mereka mencoba untuk menciptakan ulang bir kuno tersebut.

Iklan

Bukan hanya mereka yang mencoba. Setelah mendengar ujicoba pelajar Stanford, Alex Acker dan Kristian Li, pemilik tempat pemasakan bir Jing A di Beijing mengunjungi provinsi Shaanxi dan bekerja sama dengan sebuah tim arkeolog untuk mengumpulkan bahan mentah yang dibutuhkan untuk menciptakan ulang bir tersebut, berkolaborasi dengan Moonzen, tempat pemasakan bir di Hong Kong. Hasilnya? Minuman berwarna kuning terang yang sedang saya tenggak di pub Jing A di ibukota Cina.

Kristian Li mengaduk butiran jagung di wadah, salah satu bahan baku bir ala Cina. Semua foto oleh Arron Berkovich.

Birnya sangat kering, tapi juga segar—cocok untuk diminum di musim panas. Tidak seperti hasil ciptaan pelajar Stanford, teksturnya tidak seperti bubur dan tidak memiliki aroma keju. Ini berkat interpretasi kreatif tim Jing A untuk membuat bir yang akan laku dijual.

"Mungkin perbandingan terdekat yang saya bisa buat adalah dengan bir Berliner Weiss," jelas Acker, menemani saya minum. "Rasanya seperti German ale yang sedikit asam. Saya menyebut ini Berliner Weiss zaman batu."

Petani setempat membuat adonan dengan metode tradisional disebut hunjiu saat mengaduk ragi dan bahan-bahan bir lainnya.

Proyek rekreasi ulang resep kuno bir Cina tersebut dimulai di 2014. Di tahun itu, tim Stanford yang tengah berkolaborasi dengan Shaanxi Institute of Archaeology menemukan guci di dalam tanah bekas lokasi pabrik bir berumur 5.000 tahun di situs arkeolog Mijiaya di Shaanxi.

Tertarik oleh cairan kekuningan di dalam guci, mereka menganalisa cairan tersebut dan menemukan unsur jelai, jawawut, ubi, akar labu ular, dan jali. Merujuk hasil penelitian yang dirilis dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, tim Stanford mengatakan bahwa penemuan tersebut merupakan "bukti langsung adanya produksi bir di Cina, bahwa teknik memasak bir sudah ada sejak 5.000 tahun yang lalu."

Iklan

Laszlo Raphael dari Moonzen brewery di Hong Kong, dibantu Kristian Li dan Alex Ackers dari Jing A, ganti-gantian mengaduk hunjiu, minuman kuno yang masih sering disajikan di pedesaan Tiongkok.

Penemuan yang paling signifikan dari budaya pembuatan bir adalah jelai. Arkeolog meyakini jelai baru ditemukan di daerah tersebut 1.000 tahun kemudian. "Kami mengenali peralatan yang digunakan, tapi tidak sadar bahwa alat-alat tersebut digunakan untuk membuat bir—kami pikir mungkin semacam minuman alkohol lain," kata Li Liu, profesor arkeologi Cina di Stanford yang mengepalai penelitian. "Namun akhirnya kami sadar bahwa yang kami temukan adalah bir berbasis jelai dan jawawut."

Kawasan Shimao, situs dari era Neolitik yang sama usianya dengan resep bir Kawasan Mijiaya.

Terinspirasi oleh penemuan Profesor Liu, Maret lalu Acker dan Li nekat pergi ke daerah pedesaan Shaanxi untuk mencari bahan dasar guna menciptakan bir yang rasanya bisa mendekati versi orisinil. Lewat bantuan beberapa arkeolog, mereka menemukan pabrik rumahan hunjiu, semacam minuman yang memiliki beberapa bahan dasar yang sama dengan resep bir kuno. Mereka akhirnya berhasil mendapatkan pasokan ragi liar lewat pabrik tersebut.

Untuk membuat minuman mereka lebih layak diminum dibanding hasil ciptaan pelajar Stanford, birnya dimasak menggunakan peralatan modern Jing A di Beijing. Mereka menambahkan bahan seperti madu dan buah berri hawthorn. Bahan-bahan ini kemungkinan besar tersedia di sekitar area pembuatan bir kuno orisinil namun sulit terdeteksi analisa residu 5.000 tahun kemudian.

Jing A team mengumpulkan ragi dari berbagai jenis, seperti yang mereka temukan di Situs Prasejarah Shimao.

"Bir kami jelas hasil interpretasi artefak saja," kata Li ketika saya tanya apakah penambahan bahan-bahan tersebut mengurangi keaslian minuman yang mereka buat. "Tapi bahan-bahan yang ditambahkan itu juga tersedia di sekitar area pembuatan bir orisinal kok—semuanya masih menggunakan bahan-bahan yang tersedia di periode itu."

Iklan

Tim Jing A dan Moonzen berpose dengan para arkeolog di Situs Sejarah Shimao.

Penemuan tim Stanford ini sangat signifikan bagi sejarah—terutama penemuan jelai. Namun kemudian pertanyaannya adalah: seperti apa ya ngebir di Provinsi Shaanxi 5.000 tahun lalu? Kemungkinan besar beda jauh dengan sesi ngebir di Jing A, dimana anda bisa menikmati bir tersebut sambil makan hamburger dan ditemani musik Modest Mouse dan The Strokes.

Liu mengatakan data etnografi dari Taiwan dan penelitian gedung dan artifak zaman neolitik di area Sungai Kuning, Cina menunjukkan bahwa bir banyak dikonsumsi dalam upacara ritual. "Ritual di Cina merupakan bentuk perayaan musiman dan upacara penanda era baru dalam hidup: tahun baru, kelahiran, pernikahan, kematian," ungkapnya. "Salah satu ritual yang paling umum dan paling dirayakan adalah kematian seseorang. Ritualnya bisa bertahan beberapa hari dan melibatkan banyak acara makan ketika tamu datang."

Kristian Li dan Alex Ackers menambahkan bubuk jagung saat proses fermentasi, agar bir mereka rasanya mendekati resep purba ala Cina.

Dia menambahkan bahwa pembuatan bir di zaman itu dipandang sebagai simbol kekayaan dan status—indikator bahwa seseorang memiliki cukup uang untuk memproduksi bir dan menyajikannya dalam upacara-upacara makan. Tapi mungkin sulit untuk bisa mabuk dari bir ini. "Alkohol kuno biasanya tidak jernih cairannya. Bentuknya seperti bubur, bernutrisi tinggi dan rendah kadar alkoholnya," kata Liu. "Biasanya yang minum anak-anak."

Jing A team mengumpulkan bahan baku dari pasar tradisional setempat yang dipastikan sudah ada pula 5 ribu tahun lalu, di antaranya buah tanghulu, gula, serta madu.

Liu menampik wacana bila penelitian Stanford hanya digunakan sebagai gimmick semata oleh Jing A. Dia mengemukakan dukungan bagi bar asal Beijing tersebut. Jing A berhasil menggunakan lisensi kreatif untuk menciptakan bir yang layak dijual di bar. Masih lumayan erat kaitannya dengan hasil penelitian arkeologi kok, tambahnya.

Peneliti di Lembaga Arkeologi Provinsi Shaanxi merestorasi peninggalan dari Situs Prasejarah Shimao.

"Penemuan arkeologi seharusnya berguna bagi masyarakat umum—bir ini adalah cara terbaik untuk menyebarkan hasil penemuan sains," imbuhnya. "Arkeologi dulu dipandang ilmu rumit, hanya dimengerti oleh segelintir orang. Lewat penciptaan ulang resep bir kuno, akan semakin banyak orang yang menghargai hasil jerih payah kami dan memahami cara kerja peradaban kuno manusia."

"Bir tersebut merupakan dimensi baru dalam arkeologi; bahwa masyarakat tertarik untuk tahu minuman apa yang diminum nenek moyang kita. Orang akan merasa semakin dekat dengan masa lalu lewat penemuan semacam ini."

Sang arkeolog memberikan banyak penjelasan menarik dan tentunya menyediakan alasan bagi banyak orang untuk minum-minum semalaman suntuk.