Dufan Terbengkalai di Cina Ini Mengingatkanku pada “American Dream” ala Tiongkok

Artikel ini pertama kali tayang di VICE China

Bekas taman hiburan di Jiading yang kami sambangi sedianya dirancang untuk menggambarkan kemegahan American Dream. Tak tanggung-tanggung, pembangunan taman hiburan yang terletak di pinggiran kota Shanghai itu menghabiskan dana sekitar $50 juta (Rp687 miliar). Ironisnya, taman hiburan itu cuma beroperasi selama kurang dari lima tahun sebelum tutup lantaran tumpukan utang dan jumlah pengunjung yang terus menyusut. Setidaknya, ada dua hal yang mungkin memaksa taman hiburan ini bangkrut dalam waktu singakat. Pertama, letaknya terlalu jauh, 20 km dari pusat kota Shanghai dan kedua, persaingan taman hiburan di Shanghai terhitung ketat. Di tahun 2002 saja, terdapat 80 taman hiburan yang terdaftar secara resmi. Banyak di antaranya harus berjuang mati-matian agar tetap dikunjungi wisatawan. Mana pun alasannya, saya merasa harus menyambangi bekas taman hiburan itu.

Videos by VICE

Saat mobil kami sampai di gerbang taman hiburan, kami menemukan lokasi asli taman hiburan tersebut sudah dibeli oleh sebuah pengembang real estate. Ada beberapa anggota polisi yang ditugaskan menjaga daerah itu. Tak ada cara lain, kami harus mencari jalan masuk alternatif.

Seluruh kawasan taman hiburan bangkrut itu dikelilingi oleh pabrik dan perusahaan pengiriman. Paduan ini membuat kawasan sekitar taman hiburan salah satu daerah paling muram di Jiading. Kami akhirnya menemukan cara masuk ke dalam area taman hiburan dengan memanjat dinding di parkiran truk di belakang lokasi taman hiburan.

Setelah berhasil melewati dinding tersebut, mata kami langsung tertumbuk pada (sisa-sisa) taman hiburan Jianding. Kesan pertama kami: tempat itu suram sekali. Pelatarannya tertutupi daun-daun yang gugur. Kanal air yang dibuat mengelilingin taman hiburan tersebut kini berwarna hijau. Menjijkkan? Sudah pasti. Bangunan-bangunan di dalamnya tampak seperti sisa-sisa kawasan bencana nuklir akibat bertahun-tahun didera hujan dan kabut asap Shanghai.

Kami berjalan melewati jembatan tua dan membuka pintu ke sebuah bangunan teater. Di dalamnya, kami menyaksiskan barisan kursi dengan kerak debu yang tebal. Sinar matahari menyusup dari celah jendela yang rusak dan jatuh di bagian panggung yang kosong, menciptakan spotlight yang tak bisa dinikmati siapapun. Pemandangan yang bikin merinding ini menegaskan kesepian yang pekat terasa di taman hiburan ini.

Pintu-pintu lainnya dibiarkan terbuka, mungkin oleh penjelajah urban seperti kami yang lebih dulu menginjakkan kakinya di sini. Namun, setiap bangunan di sini kosong melompong. Kini, bangunan-bangunan itu cuma berfungsi sebagai kapsul waktu berisi impian-impian yang gagal terwujud. Sebetulnya, di salah satu bangunan yang kami temui, kita bisa menemukan sebuah pameran foto-foto anak-anak. Uniknya, pameran itu ditajuki “Project Hope.” kini, 20 tahun kemudian, pameran itu—beserta judulnya—mirip seperti komedi gelap yang sengaja ditinggalkan di sana.

Kami berjalan-jalan barang beberapa lama, mengambil foto di sana-sini sampai kami kami sampai di dinding yang menandai akhir taman hiburan tersebut. Kami panjat tembok itu dan angkat kaki. Kami pun meninggalkan American Dream di Jianding.