Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard
Lautan di bumi, yang melingkupi dua pertiga permukaan planet, begitu luas dan kurang dieksplorasi sampai-sampai sulit membayangkan habitat dan sumber daya kita terbatas. Namun, penurunan persediaan ikan yang drastis karena berkembangnya industri perikanan modern menunjukkan pentingnya pemantauan ketat kapal penangkap ikan untuk menjaga kehidupan laut, serta mata pencaharian manusia yang bergantung pada lautan.
Videos by VICE
Global Fishing Watch, sebuah situs online dikembangkan oleh Google dan organisasi nirlaba SkyTruth dan Oceana, diluncurkan pada 2016 demi menyediakan sarana data yang besar kepada khalayak buat memerangi pencurian ikan. Situs tersebut menampilkan lokasi kapal penangkap ikan yang hampir real-time di seluruh dunia, yang dihasilkan oleh miliaran titik data dari sistem pelacak otomatis (AIS) terhadap kapal. Pelacak-pelacak ini, awalnya dirancang mencegah tabrakan kapal, menyiarkan lokasi akurat kapal lewat jaringan satelit. Karena informasi ini sejak awal niatnya dapat diakses publik, Global Fishing Watch membuat semua lokasi kapal-kapal ini terlacak semua orang.
Tentunya ide ini bagus, asal kapal-kapal tersebut tidak keberatan dilacak. Data menunjukkan respons sebaliknya dari pihak pengelola kapal. Sebuah laporan ekspansif terbaru yang dirilis awal pekan ini oleh Oceana memisahkan beberapa studi kasus kapal penangkap ikan yang tidak terdeteksi karena mematikan pelacak AIS-nya. Mematikan pelacak memang berguna bagi keamanan mereka—misalnya untuk menghindari kapal perompak—laporan menunjukkan bahwa taktik ini juga bisa menghindari pelacakan saat mereka menangkap ikan secara ilegal di kawasan lindung, atau merusak tempat memancing lainnya.
“Sampai sekarang masih belum ada situs publik untuk memantau kapal penangkap ikan komersial,” kata Lacey Malarky, seorang pakar penangkapan ikan ilegal di Oceana, saat dihubungi Motherboard via telepon. “Sebelum Global Fishing Watch, [pelacakan] ini sangat tidak mungkin dilakukan, jadi kami tidak bisa menyelidiknya. Tanpa pelacak, proses penyelidikan butuh waktu yang lama. Anda perlu mengamati setiap kejadian secara manual. Sekarang kita bisa menggunakan analisa data yang besar, memasukkan kode, dan melihat di mana kejadian itu terjadi.”
Direktur senior kampanye Malarky dan Oceana, Beth Lowell, menyoroti empat kasus kapal penangkap ikan yang tidak terdeteksi dalam jangka waktu dan wilayah yang sangat mencurigakan. Misalnya pada Oktober 2014 kapal purse seine Panama, Tiuna, mematikan sistem pelacaknya di sisi barat Cagar Alam Galápagos. Kapal itu baru menghidupkan AIS-nya kembali 15 hari kemudian saat kapal berada di ujung timur.
Dari 2015 sampai 2016, kapal jenis longline komersial berbendera Australia, Corinthian Bay, dilaporkan 10 kali mematikan AIS-nya saat melewati Cagar Alam Pulau Heard dan Kepulauan McDonald (HIMI EEZ). Dua kapal Spanyol, Releixo dan Egaluze, tidak dapat terdeteksi beberapa kali saat ada di perairan lepas pantai Afrika Barat.
Penting untuk diingat bila sejauh ini tidak ada kesalahan yang terbukti dilakukan kapal-kapal tersebut. Tapi laporan tersebut menunjukkan penonaktifan AIS sangat sering terjadi di laut lepas. “Kami ingin menyoroti situasi yang lebih mencurigakan dan terjadi di dekat kawasan lindung yang memerlukan pantauan dan penegakan hukum yang lebih ketat lagi. Empat studi kasus ini yang paling menarik perhatian kami, tapi masih ada jutaan kasus lainnya di dunia yang serupa,” ujar Malarky.
Wakil Corinthian Bay Australia,mengatakan pihaknya punya, “alasan mematikan AIS di kawasan HIMI EEZ yaitu melindungi sifat IP [kekayaan intelektual] yang sensitif secara komersial.” Peneliti Oceana belum mendapatkan tanggapan dari pemerintah Australia yang membenarkan laporan pihak pengelola kapal tersebut. Mereka juga tidak mendapat tanggapan dari pengelola kapal Panama.
Komisi Eropa dan Pemerintah Spanyol sedang menyelidiki kasus penonaktifan AIS pada kapal-kapal penangkap ikan Spanyol. Keputusan pemerintah Spanyol sangat menjanjikan karena ada kapal-kapal yang tidak dapat terdeteksi di lepas pantai negara-negara berkembang seperti Senegal dan Gambia. Jika dibiarkan hal tersebut sangat rentan memicu pencurian ikan karena negara di pesisir barat maupun timur Afrika tidak memiliki sumber daya yang cukup melindungi wilayah laut mereka.
“Hal semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Malarky. “Uni Eropa belum pernah menyelidiki kasus kapal yang mematikan pelacak AIS. Laporan kami adalah yang pertama dalam menyelidiki ketidakpatuhan pengusaha kapal di bawah wilayah Komisi Eropa dan pemerintah Spanyol terhadap sistem AIS.”
“Kami berharap laporan tersebut bisa menyoroti isu terpenting. Namun semua respons lanjutan kembali ke pemerintah agar mewajibkan kapal penangkap ikan komersial selalu mengaktifkan AIS. Pemerintah perlu memberlakukan persyaratan tersebut. Semuanya tergantung di pemerintah,” imbuhnya.
Oceana sedang menggabungkan sumber data lainnya ke dalam Global Fishing Watch, seperti sinyal Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (VMS). Tidak seperti AIS, data VMS hanya tersedia untuk pemerintah, tetapi untuk beberapa negara—seperti Indonesia dan Peru—telah diminta untuk merilis informasi VMS mereka dalam Global Fishing Watch. Karena itulah Malarky berharap negara-negara lain melakukan hal yang sama di kemudian hari.
“Kita seharusnya tidak perlu mempertanyakan apakah kapal penangkap ikan mematuhi aturan atau tidak ketika mereka mematikan sistem pelacak publiknya. Apabila kapal-kapal penangkap ikan diwajibkan menggunakan AIS, Global Fishing Watch dapat semakin efektif menyelidiki apa yang sedang terjadi saat ini,” kata Malarky. “Para peneliti, pegiat LSM, dan ilmuwan juga dapat terus menggunakan data AIS agar bisa memberantasan aktivitas ilegal di laut dan menyadarkan khalayak tentang pentingnya melawan praktik pencurian ikan.”