FYI.

This story is over 5 years old.

Twitter

Diperkirakan 15 Persen Pengguna Twitter Sebetulnya Robot

Para pakar sosmed bilang bot-bot itu engga terlalu berbahaya. Kok bisa ya?
Sumber foto: Getty Images

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Kalian baru saja terjebak twitwar? Ada yang nyamber retweet-an kalian dan bahasanya memancing emosi? Coba dinginkan kepala dulu, sebab sekarang makin besar peluang kalian twitwar melawan robot. Twitter disebut sebagai jejaring sosial yang memiliki banyak sekali bot berkeliaran. Kesimpulan ini diperoleh dari penelitian gabungan dari University of Southern California dan Indiana University di Amerika Serikat. Diperkirakan lebih dari 48 juta akun Twitter—artinya 15 persen dari total akun aktif di seluruh dunia—adalah robot.

Iklan

Tren penggunaan bot semakin tidak terkendali dua tahun terakhir. Pada 2014, Manajemen Twitter menyatakan akun bot paling banyak cuma 8,5 persen dari total akun aktif. Akun-akun ini merespon kata kunci khusus atau mem-follow akun yang memiliki kriteria tertentu. Bot sebetulnya berguna untuk menyebarkan berita bertipe breaking news atau menampung keluhan konsumen sebuah perusahaan. Dampak buruknya, bot bersinonim dengan spam, suka nyamber, mencuitkan kata-kata yang bisa memancing emosi, bahkan bisa ditugaskan khusus mengacaukan opini publik.

Populasi bot yang semakin besar ini menambah masalah Twitter yang terus berusaha kompetitif di tengah persaingan ketat industri media sosial. Pertumbuhan bisnis lawan-lawan Twitter, misalnya Facebook, Instagram, atay Snapchat jauh lebih unggul. Padahal Twitter sebetulnya punya keunggulan tersendiri, misalnya adanya akun Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang gemar ngoceh lewat Twitter; atau untuk kasus Indonesia ada sosok Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang berulang kali curhat lewat mikroblogging 140 karakter ini.  Pertumbuhan pengguna Twitter melambat, demikian pula pendapatan iklan mereka yang nasibnya setali tiga uang.

Lembaga riset eMarketer memprediksi untuk 2017 pendapatan iklan Twitter mencapai US$2,53 miliar, hanya meningkat US$3juta saja dibanding 2016. Untuk perusahaan yang sudah berusia lebih dari 10 tahun, tingkat profit ini tak bisa dibilang bagus. Bahkan menurut laporan CNN, Twitter sejak 2011 merugi US$ 2 miliar untuk kebutuhan operasional.

Iklan

Jika kalian pengguna setia Twitter, tak perlu terlalu khawatir. Memang sih, kini populasi bot semakin banyak. Tapi kehadiran robot-robot ini diyakini para pakar IT tidak akan mengganggu pengalaman pengguna. Manajemen Twitter juga berusaha meyakinkan publik bahwa kehadiran bot sangat bermanfaat. "Misalnya secara otomatis memberitahu publik mengenai bencana alam atau lebih cepat menampung keluhan yang biasanya dialamatkan pada customer service," kata juru bicara perusahaan pada CNBC.

Banyak pihak sepakat pada klaim Twitter. Keberadaan bot memang tidak sepenuhnya jelek. Setiap platform media sosial memiliki bot masing-masing. Google misalnya, mengembangkan bot yang diberi kode sandi 'spiders' untuk meningkatkan pencarian data, sementara Facebook memiliki 'feed fetchers' untuk memperbarui data saat kalian mengakses medsos ini lewat mobile. Maka tak perlu heran jika bot-bot di Twitter banyak memiliki fungsi yang mendatangkan manfaat.

Tren lebih banyak bot dibanding manusia ini juga tak hanya menimpa Twitter kok. Penelitian Firma Keamanan Imperva yang dirilis awal tahun ini menyatakan bot menguasai 52 persen traffic web di seluruh dunia. Rupanya di Internet saat ini populasi bot sedang melebihi akun asli yang dikendalikan manusia.

Barangkali pihak yang kurang suka pada keberadaan bot adalah anak-anak agency dan juga perusahaan periklanan global. Association of National Advertisers di AS melakukan penelitian pada 2016 lalu. Hasilnya, bot diperkirakan membebani ongkos pengiklan hingga US$7,2 miliar. Pokok persoalannya adalah karakteristik bisnis iklan di Internet. Pengiklan biasanya membayar iklan per impresi. Sementara iklan-iklan ini justru 'dimakan' oleh bot, membuat agency kesulitan menentukan sebetulnya berapa banyak manusia betulan yang menyaksikan iklan klien mereka.

Dampak ini paling dirasakan pengiklan di Twitter. Di mikroblog itu, pengiklan membayar untuk setiap retweet, like, atau klik di link. Keberadaan bot yang mengklik iklan gila-gilaan dapat membuat pengiklan merasa tidak percaya pada praktik bisnis medsos satu ini. Pertanyaannya, bisakah bot dirancang beraktivitas lebih menyerupai pengguna manusia saja. Ya berbagi informasi saja gitu. Selama bot masih seperti sekarang perilakunya, maka akun robot ini harus diklasifikasikan sebagai robot baik, jahat, atau robot engga jelas.