Pada hari yang telah dijanjikan, fotografer M. Palani Kumar menghubungiku agar wawancaranya diundur.“Tiga orang baru saja tewas di Tamil Nadu [negara bagian di selatan India],” bunyi pesan singkatnya. “Saya sedang mendokumentasikannya. Ngobrolnya boleh besok saja?”Tiga orang yang dimaksud adalah pemulung yang menyelami selokan untuk membersihkan kotoran manusia. Anggota keluarga tengah mempersiapkan upacara pemakaman setibanya Kumar di rumah mereka. Ketiga lelaki tersebut bukanlah yang pertama, dan juga bukan yang terakhir, meninggal akibat pekerjaan.
Iklan
“Pemulung manual” adalah sebutan untuk orang-orang yang bertugas membersihkan kotoran manusia dari jamban, parit dan saluran pembuangan di India. Berbeda dari petugas kebersihan lain yang menggunakan peralatan lengkap, mereka bekerja dengan tangan kosong dan menyelami air limbah demi toilet yang bersih. Beberapa mati lemas di dalam saluran, sedangkan lainnya tewas akibat konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.“Banyak orang beralih ke alkohol karena situasi kerja yang memuakkan. Ketergantungan alkohol telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan Arunthathiyar [kelompok kasta sebagian besar petugas kebersihan],” tutur lelaki 29 tahun asal Tamil Nadu.India sebenarnya telah melarang praktik pemulungan manual pada 1993, tapi nyatanya lebih dari 66.000 orang masih menjalani pekerjaan berbahaya ini, menurut survei pemerintah.Data resmi menunjukkan pada 2019, jumlah penguras tinja yang tewas dalam pekerjaan melebihi 100 orang. Tamil Nadu menduduki peringkat kedua dengan total kematian 43 dalam lima tahun terakhir. Aktivis HAM menyebut negara telah melakukan “pembunuhan institusional” terhadap para pemulung manual.
Iklan
Tugas bersih-bersih ini diserahkan kepada warga Dalit, kasta terendah di India. Berlaku sejak 3.000 tahun lalu, sistem kasta membagi umat Hindu ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan tugas mereka. Sistem inilah yang menentukan status seseorang di masyarakat.Golongan Dalit dianggap “kasta tak tersentuh”, sehingga mereka tak jarang diperlakukan dengan hina. Padahal, praktik ini telah dilarang sejak 1950.
“Saya ingin mencari tahu kenapa hanya orang Dalit yang dipaksa menjadi pemulung manual,” Kumar memberi tahu VICE World News.Dia baru mengetahui profesi ini ketika menggarap dokumenter berjudul Kakkoos (Kakus) pada 2015. Film dokumenternya mengikuti kesibukan pemulung manual setiap harinya, serta berbagai kematian tragis yang menimpa pekerja.Selama proses pembuatan film, Kumar belajar bagaimana kasta memengaruhi kariernya. “Pekerjaan saya selama beberapa tahun terakhir menyadarkanku akan hal-hal yang sebelumnya tidak saya ketahui,” lanjut fotografer yang merupakan orang Dalit.
Tahun lalu, pemerintah melakukan serangkaian upaya guna mengakhiri praktik pemulungan manual pada Agustus 2021. Mereka mengadopsi alat mekanis dan meluncurkan saluran bantuan (helpline) untuk melaporkan praktik ilegal. Selain itu, pemerintah juga melancarkan kampanye besar-besaran bernama Swachh Bharat Mission untuk membersihkan India.
Iklan
“Anak petugas kebersihan tidak terpapar pada bentuk perkembangan apa pun. Mereka dipaksa melakukan ini itu sejak lahir,” ujar Kumar. “Pemulung manual sangat terpinggirkan. Penghasilan mereka setiap bulan hanya 10.000 Rupee (Rp1,9 juta), sehingga suami istri harus kerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan ada yang bekerja sampingan sebagai asisten rumah tangga.”Berbagai survei menyoroti risiko yang dihadapi petugas kebersihan di seluruh dunia selama pandemi. Namun, pemerintah India mengaku tidak mengumpulkan data petugas kebersihan yang meninggal karena membersihkan rumah sakit dan limbah medis tanpa alat pelindung.
Iklan
Kurangnya data membuat komunitas yang “tak tersentuh” semakin tidak terlihat. Kematian mereka tidak dilaporkan. Kumar menyaksikannya langsung.“Banyak pemulung manual yang dilaporkan meninggal karena alasan berbeda,” ungkapnya. “Dalam beberapa kasus, mereka dilaporkan karena ‘terjatuh’ atau kecelakaan. Padahal, ini sama saja dengan pembunuhan.”Lebih parahnya lagi, keluarga harus menghadapi berbagai tantangan untuk memperoleh jaminan kematian sebesar satu juta Rupee (Rp194 juta) yang telah ditetapkan pada Undang-Undang India Tahun 1993. Proses pencairannya membutuhkan waktu lama dan sering kali tertunda.
Mengikuti keseharian pemulung manual tidaklah mudah. Bahkan selama lockdown pun, Kumar mesti berangkat pagi-pagi sekali ketika orang belum keluar rumah. Hanya pada saat itulah dia bisa memfoto para petugas kebersihan ini.“Pemulung manual biasanya bekerja saat orang belum keluar rumah. Mereka menghindari tatapan masyarakat,” kata Kumar. “Itu mempermudah saya untuk keluar juga, dan kembali setelah mereka selesai bekerja.”Permasalahannya dimulai ketika kontraktor yang ditugaskan pemerintah untuk mengawasi pemulung manual turun tangan. Mereka memerintahkan pemulung agar menolak difoto dan diwawancarai, karena itulah kebanyakan foto Kumar merahasiakan wajah pemulung.“Seorang perempuan dipecat setelah kontraktor mengetahui kalau dia membeberkan kondisi pekerjaannya kepadaku,” dia melanjutkan. “Pekerjaanku tampaknya membahayakan mata pencaharian mereka, sehingga proses dokumentasinya sangat menantang.”
Iklan
Kumar berujar, “Got adalah penyebab utama kematian [pemulung]. Saya merasakan pentingnya mengabadikan mereka-mereka yang terpaksa menyelami parit.”“Kontraktor mempekerjakan pemulung di malam hari ketika mengetahui saya mulai mendokumentasikan mereka. Tujuannya agar mereka tidak terlihat. Bekerja di malam hari sangat riskan karena proses menyelamatkan mereka jauh lebih sulit dan tidak ada bantuan langsung yang tersedia.”
Selama beberapa bulan terakhir, sejumlah kota di India mengklaim telah mengerahkan robot yang bisa membersihkan saluran tersumbat. Mirisnya, sudah ada tiga pemulung manual yang meninggal kehabisan napas saat membersihkan tangki septik awal pekan lalu.Follow Pallavi Pundir di Twitter.