Nassima al-Sada Dipenjara di Arab Saudi Lantaran Menuntut Dibolehkan Menyetir mobil

Aktivis Arab Saudi Nassima al-Sada dipenjara karena menuntut hak menyetir mobil

Artikel ini merupakan kolaborasi VICE bersama Amnesty International Indonesia. Klik tautan ini jika kalian tertarik berpartisipasi dalam kampanye ‘Write for Rights’ yang sudah dijalankan Amnesty International sejak 2001. Partisipasi kalian, sekecil apapun, dapat mengubah hidup orang-orang yang mengalami ketidakadilan.


Mulai Juni 2018, larangan perempuan mengemudi mobil di Arab Saudi yang sudah berlaku selama puluhan tahun dicabut. Laporan media terkait momen bersejarah tersebut memicu kegembiraan di seluruh negeri, sebab bagi banyak perempuan, hak mendasar macam ini baru mereka rasakan untuk pertama kalinya dalam hidup.

Videos by VICE

Setahun lebih sejak reformasi aturan mengemudi, sistem perwalian pria yang kontroversial di Negeri Petro Dollar ikut berubah menjadi lebih sederhana. Sebelum Agustus 2019, perempuan Saudi memerlukan izin anggota keluarga laki-laki untuk bekerja, bepergian, atau mengakses layanan kesehatan, keuangan, dan berbagai hak mendasar lainnya.

Berkat reformasi tersebut, perempuan Saudi lebih mudah memperoleh paspor dan bepergian dengan bebas. Mereka juga menerima perlindungan diskriminasi kerja secara penuh, dapat mendaftarkan sendiri kelahiran anak-anak mereka, bisa hidup terpisah dari suami, atau sekalian mendaftar sebagai kepala keluarga. 

Sayangnya, kenyataan tidak seindah di permukaan.

Ketika menulis artikel mengomentari absurditas sistem perwalian Saudi pada 2016, aktivis hak perempuan Saudi, Nassima al-Sada, bertanya: “Bagaimana bisa seorang anak di bawah umur layak menjadi wali dari seorang perempuan yang sudah dewasa? Mengapa tidak ada usia di mana seorang wanita menjadi dewasa, bertanggung jawab atas keputusan dan hidupnya? Mengapa harus selalu ada lelaki yang merasa bertanggung jawab atas hidup perempuan?”

Konon artikel dari Nassima itulah yang membuat Kerajaan Saudi akhirnya mengendurkan pembatasan terhadap perempuan. Tapi, sekali lagi, petinggi kerajaan kaya minyak itu enggan menuruti tuntutan para perempuan yang terlalu vokal.

Tragisnya sebulan setelah larangan perempuan mengemudi dicabut, tepatnya pada 31 Juli 2018, Nassima al-Sada ditahan aparat. Dia bernasib serupa seperti belasan wanita lain yang juga ditahan dua bulan sebelumnya. 

Thumbnail (1).jpg
Nassima al-Sada sebelum ditahan aparat Saudi. Foto dari arsip pribadi.

Sebelum ditangkap, Nassima berusaha mencalonkan diri sebagai walikota pada 2015 tapi kemudian didiskualifikasi oleh KPU setempat. Dia juga mendapat ancaman melalui Twitter. Setelah ditahan, Nassima menerima ancaman verbal di penjara dan diikat selama interogasi.

Sejak 20 Februari 2019, Nassima dipindahkan ke sel isolasi, tempat dia ditahan hingga Februari 2020. Dia sudah mengikuti sidang sebanyak dua kali. Sidang yang ketiga, dijadwalkan berlangsung Maret 2020, batal karena Covid-19. Tidak ada pengumuman informasi seputar penjadwalan ulang sidangnya.

Beberapa agenda reformasi dielu-elukan sebagai era baru Arab Saudi. Kerajaan kaya minyak ini sudah rutin dikritik karena perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Putra Mahkota Mohammad bin Salman (MBS), yang dinobatkan Juni 2017, awalnya terkesan ingin merehabilitasi citra negara dan mendiversifikasi ekonomi negara dari minyak ke sektor keuangan dan pariwisata.

Dalam perannya sebagai “pembaharu agung”, MBS mengarahkan kerajaan itu ke era baru, mengizinkan adanya konser pertama oleh musisi perempuan, masuknya wanita ke stadion olahraga, sampai pembukaan negara pada turis asing yang kini dapat mengakses e-visa secara online. 

Bersama al-Sada, ada 13 perempuan menunggu persidangan untuk sejumlah dakwaan pidana hanya karena pernah berkampanye melawan undang-undang dan peraturan yang bahkan tidak lagi berlaku. Lima perempuan bahkan masih dipenjara. Kasus-kasus mereka menguak kemunafikan yang mendalam, ibarat titik hitam yang menodai reformasi MBS, sekaligus menawarkan sudut pandang atas sisi kelam rezim Saudi. 

Saudi adalah negara dengan pembatasan pers, serta undang-undang yang ketat untuk mengebiri kebebasan berpendapat. Siapa pun yang mengkritik rezim dapat menghadapi dakwaan melanggar UU antiterorisme. Pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi pada 2018 di konsulat Saudi di Istambul, terjadi setelah jurnalis tersebut mengkritik rezim MBS.

Insiden itu merupakan bukti kebencian Saudi terhadap perbedaan pendapat. Saudi tak segan melakukan apapun untuk menekan perbedaan pendapat. Nassima sendiri mewakili keberanian perempuan yang jarang mencuat di Saudi. Menjelang reformasi hak-hak perempuan, para aktivis berani menyampaikan pendapat dan akhirnya menghadapi tindakan keras yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

“Tindakan keras tersebut dilakukan untuk membungkam setiap suara kritis di Saudi menjelang reformasi kebijakan yang akan diperkenalkan oleh elit kerajaan,” kata Hashem Hashem dari Amnesty International. Artinya, mereka ditangkap agar tidak ada kesan kebijakan soal perempuan berubah berkat demonstrasi, melainkan semua adalah wujud kemurahan hati kerajaan.

“Para perempuan yang dikriminalisasi ini rutin berkampanye, beberapa di antaranya bahkan sudah gigih melakukannya selama beberapa dekade untuk mendapat hak mengemudi dan menyerukan kesetaraan antara perempuan dan lelaki di Arab Saudi,” imbuh Hashem.

“Sosok-sosok perempuan ini dikenal publik, mereka berani dan aspiratif, mereka adalah ancaman bagi otoritas kerajaan, terutama keputusan pangeran mencitrakan dirinya sebagai pembaharu dan pembuat perubahan di kerajaan. Saya rasa kriminalisasi 13 aktivis perempuan ini juga bagian dari tindakan keras yang lebih besar terhadap semua pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan siapa saja yang tidak setuju dengan narasi pemerintah di Arab Saudi.” 

Quote_Indonesian (1).png

Ketika perusahaan kehumasan barat berbondong-bondong ke Arab Saudi menawarkan layanan mereka memoles citra baru Saudi di bawah kekuasaan MBS, aktivis hak perempuan—mereka yang sejak lama mendorong perubahan sejati di negara itu—tetap dipenjara.

Aktivis perempuan terkemuka, Loujain al-Hathloul, adalah salah satu dari mereka yang ditangkap menjelang peringanan larangan mengemudi. Saat di penjara, ayahnya didiagnosis menderita kanker. Para pejabat menawarkan peluang membebaskannya agar dapat menemui sang ayah dan mengucapkan salam perpisahan, dengan syarat dia menandatangani pernyataan yang menyatakan bahwa dia tidak disiksa saat ditahan. Loujain menolak. 

Loujain bukan satu-satunya yang berani melawan Saudi. Semua perempuan yang saat ini menghadapi kriminalisasi memiliki pekerjaan dan kesadaran tinggi di bidang hak asasi manusia. Mereka sejak awal menyadari risiko terkait hal yang mereka perjuangkan. Contoh kasus: pada 2009, Asosiasi Hak Sipil dan Politik Saudi (ACPRA) dibentuk. Sejak 2013 semua pendiri ditangkap dan dijatuhi hukuman antara tujuh hingga 11 tahun penjara, karena serangkaian tuduhan yang dibuat-buat.

Meski demikian, perempuan seperti Nassima al-Sada dan Loujain al-Hathloul tetap membela hak-hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan sekaligus berjuang untuk mengungkap kemunafikan rezim Saudi, dengan mempertaruhkan segalanya. 

“Dia mengetahui sepenuhnya semua risiko melawan kerajaan. Namun dari sudut pandangnya, perjuangan itu tidak didasarkan pada perhitungan biaya dan keuntungan. Intinya, semangat perjuangan inilah yang membentuk jati dirinya, saya rasa dia tidak dapat didefinisikan di luar itu,” kata narasumber yang dekat dengan keluarga Nassima saat diwawancarai VICE.

“Seorang hakim pernah meminta pembebasan Nassima tahun lalu, kemudian hakim itu langsung dicopot dan dia tidak dapat memiliki pengacara hingga hampir dua tahun. Pengadilan Kerajaan lantas menempatkan Nassima di sel isolasi selama setahun, menghentikan kunjungan kepadanya, dan panggilan telepon mingguan. Tiap keputusan terkait kasusnya bersama aktivis perempuan lainnya dikawal ketat oleh istana. Jadi, kami menunggu sampai pengadilan kerajaan mengambil keputusan dalam kasus [Nassima dkk], nantinya hakim yang baru akan mematuhi keputusan tersebut.”

Desember ini, para aktivis hak asasi manusia di Amnesty International telah berupaya menekan para pemimpin dunia yang menghadiri KTT G20. Kami mendesak mereka semua ikut memberi tekanan kepada MBS dan rezim Saudi untuk mencabut semua tuduhan terhadap 13 perempuan itu dan membebaskan lima di antaranya yang masih berada di balik jeruji besi.

“Kami berharap para pemimpin G20 mampu mengambil keputusan yang tepat dan akan berdiri di sisi sejarah yang tepat,” kata Hashem. “Mereka harus bisa menjelaskan bahwa bisnis tidak akan berjalan seperti biasa kecuali jika reformasi hak asasi manusiadiberlakukan dan para pembela hak asasi manusia Saudi dibebaskan segera dan tanpa syarat.

Negara-negara G20 dan para pemimpinnya turut memanggul tanggung jawab tersebut, kepada sejarah sekaligus sesama manusia. Kita harus memastikan para pemimpin itu dapat menerjemahkan kata-kata dan pidatonya tentang hak asasi manusia selama ini menjadi tindakan nyata, lalu menekan Arab Saudi untuk mematuhi hak-hak tersebut dan menghormatinya.”


Klik di sini untuk ikut serta dalam kampanye Write for Rights Amnesty International. Tindakan Anda dapat membantu menjamin pembebasan Nassima dan keadilan bagi semua perempuan lain yang memperjuangkan kesetaraan di Arab Saudi.