Aktivis Menuntut Restoran Tak Lagi Menyajikan Gurita Hidup

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Anda pasti pernah melihat adegan ini di TV. Restoran korea menyuguhkan gurita dengan tentakel masih bergerak-gerak. Beberapa saat kemudian, pengunjung enteng saja menyantap hewan laut itu hidup-hidup. Aduhai sekali. Tentu saja, banyak pihak tak suka gurita disantap hidup-hidup. Beberapa anggota People for the Ethical Treatment of Animals—alias PETA— mengajukan petisi menuntut penghapusan semua jenis menu restoran yang menyajikan binatang laut dalam keadaan masih hidup. PETA punya alasan kuat. Bagi mereka, menyantap binatang yang masih bernyawa, cuma demi kesenangan kita, masuk kategori tindakan jahat.

Videos by VICE

Seafood yang dimakan hidup-hidup sangat populer di menu restoran Korea atau Jepang. Di dua negara itu, gurita, ikan, udang atau bahkan kodok disantap saat masih bernyawa untuk beberapa menu tertentu (asal anda tahu: penulis artikel ini pernah menelan segelas minuman berisi ikan kecil. Sebelum melakukannya, dia dibisiki agar membubuhkan cuka dulu, sehingga “ikannya kelabakan dan lebih maknyus pas ditenggak.”). Salah satu menu seafood hidup yang paling terkenal, dan kemungkinan tengah diincar PETA, adalah San Nag-Jik—artinya lumayan harfiah, “gurita hidup.” Sajian ini sangat digemari di Negeri Ginseng.

Belakangan San Nag-Jik mulai banyak dipesan pengunjung restoran korea di Amerika Serikat. Di kawasan Koreatown, dari Los Angeles sampai ke New York, banyak pemburu makanan ingin pamer status sebagai pecinta kuliner sejati (atau cuma pengen bikin teman kencannya jijik) dengan menyantap hidangan itu. Mereka terdorong mengikuti jejak koki-seleb-petualang macam Anthony Bourdain dan Andrew Zimmern.

Tentu saja, jenis orang semacam ini akan memfoto makanan itu, lalu memamerkannya di Instagram.

Beberapa waktu lalu, PETA melepas sebuah video yang viral. Video itu merekam salah satu anggota memesan sajian seafood disantap hidup-hidup di berbagai restoran korea di Los Angeles.

Perhatian: Video ini bukan untuk anda-anda yang berhati ciut. Tapi, lumayan membantu jika anda penasaran.

membahas Los Angeles Time

Alih-alih meributkan betapa kejinya manusia yang menyantap seafood hidup, beberapa ahli menggarisbawahi masalah-masalah yang muncul dari gaya hidup semacam itu. Gurita, misalnya, terkenal sebagai hewan yang cerdas. Gampangnya, bayangkan gurita menyerupai seekor anjing Golden Retriever berkulit licin.

Jennifer Mather, PhD, profesor psikologi dari University of Lethbridge di Alberta adalah pakar gurita. Dia menulis berbagai penelitian tentang gurita dan satwa cephalopod cerdas, di antaranya Cephalopod consciousness: Behavioural evidence dan Ethics and invertebrates: a cephalopod perspective. Mather berbaik hati memberitahu kami apa yang bisa dirasakan gurita saat disantap dalam keadaan bernyawa.

“Ketika anda menyantap potongan tentakel gurita, hewan itu bisa merasakan sakit, tapi tentunya bukan “rasa sakit” sesungguhnya karena tentakel sudah terpisah dari otak. Namun, gurita yang terus anda potong-potong bisa merasakan sakit tiap kali anda melakukannya. Anda bisa mengganti gurita dengan ikan, angsa, kadal atau kelinci, rasanya sakit akan tetap sama.”

Ya tuhan!

Meski begitu, seperti yang kita ketahui, kebiasan menyantap daging adalah hal yang lazim di setiap kebudayaan negara manapun. Yang membedakan antara satu sama lain adalah cara menyembelih, tingkat kemakmuran masyarakat dan tentunya ukuran perlakuan kita terhadap hewan yang hendak dimakan. Hal ini berpengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap prinsip kepatutan ketika mengonsumsi hewan.

Sejauh ini, usaha PETA memerangi santapan seafood hidup-hidup baru berupa sebuah video dan petisi belaka. Salah satu aktivis PETA setidaknya mengisyaratkan mereka tak akan segan mengambil tindakan lebih keras dalam waktu dekat. “Kami tidak akan kompromi, kecuali sampai semua hewan yang masih hidup tak lagi disajikan di menu-menu restoran.”