Identity

Aktivis Orgasme Indonesia Ingin Masyarakat Mulai Bersedia Blak-Blakan Membahas Seks

Di Indonesia, tempat keperawanan dilembagakan sebagai kebajikan moral tertinggi bagi perempuan dan sunat perempuan terus dipraktikkan pada bayi-bayi perempuan sebagai layanan pasca kelahiran, seorang advokat orgasme perempuan berupaya menegakkan kesetaraan gender di kamar tidur.

Firliana Purwanti adalah aktivis berusia 38 tahun yang tinggal di Jakarta dengan pengalaman 20 tahun dalam gerakan hak-hak perempuan Indonesia. Dia percaya pada kekuatan radikal seksualitas perempuan, khususnya di Indonesia. Menurutnya, ini merupakan perlawanan atas anihilasi seksual sebagai bentuk pengecualian yang meluas. “Ketika orgasme kita disangkal, keberadaan kita juga disangkal, sebagai manusia.”

Videos by VICE

Firliana menganjurkan kenikmatan seksual sebagai jalan efektif menuju pemberdayaan perempuan. Pada 2010, dia menerbitkan cetakan pertama bukunya, yang sudah habis di pasaran, berjudul The O Project. Buku ini merupakan kajian kualitatif tentang pengalaman-pengalaman seksual dan orgasme 16 perempuan Indonesia, dengan orientasi seksual berbeda-beda.

Setelah menerjemahkan buku tersebut ke dalam Bahasa Inggris pada 2014, cetakan kedua buku berbahasa Indonesia dirilis pada 2016. Keenam belas perempuan, yang ditulis dengan nama samaran—kawan-kawan Firliana, atau orang-orang yang bertalian dengan jaringan progresif dalam komunitas-komunitas feminis dan queer—menceritakan pengalaman-pengalaman intim mereka secara gamblang.

Salah satu kisah itu tentang Jamie, lesbian butch berusia 25 tahun, yang pertama kali masturbasi saat sekolah dasar. Saat itu dia gemar menggesek-gesekkan diri ke guling sambil membayangkan guru agamanya di sekolah.

“Saya menyadari bahwa kenikmatan orgasme karena masturbasi tidak ada apa-apanya dibandingkan hubungan seks dengan seorang perempuan,” ungkapnya dalam buku itu. Dia kemudian menjelaskan percobaannya menjajal gaya scissoring bareng pasangannya, setelah menonton film porno lesbian. “Ya, mirip petting. Tapi, saya bisa pakai jins, dia juga pakai jins, dan tetap orgasme.”

Firliana Purwanti ingin lebih banyak perempuan Indonesia mengalami dan menikmati orgasme sesungguhnya. Foto dari arsip pribadi.

Melalui kisah-kisah beragam—soal kenikmatan, dan nihilnya kenikmatan—Firliana ingin membuktikan bahwa relasi kuasa yang timpang dalam sebuah hubungan bisa memengaruhi kemampuan perempuan mencapai klimaks. “Pada hubungan yang timpang, saya cukup yakin pihak yang lebih inferior cenderung mengalami kesulitan mencapai klimaks, karena dia tidak bisa memberitahu pasangannya apa yang harus dilakukan, dan bagaimana caranya,” ujarnya saat dihubungi VICE.

Ketidaktahuan pada hal mendasar seks tersebut merupakan realita yang umum dialami perempuan Indonesia. Ambil contoh Ami, mantan pekerja seks berusia 45 tahun ini adalah istri kedua dalam poligami.

Dia mengungkapkan dalam buku bahwa dulu dia merasakan nikmat saat berhubungan dengan pelanggannya, namun itu semua berubah sejak dia menikah. “Suami saya jauh lebih tua, bedanya 22 tahun. [Seks] baginya ya langsung saja. Kalau dia sudah ngaceng, dia langsung penetrasi. Dia tidak pernah mencoba mencari tahu titik-titik sensitif saya. Dia enggak pernah mikirin.”

Tak ada yang bisa dia lakukan atau katakan pada suaminya, karena dianggap pamali. Suaminya mungkin tidak peduli, atau tidak mengerti, atau mengalami sekaligus keduanya.

“Saya menulis buku ini awalnya untuk perempuan, tapi ternyata lebih banyak laki-laki yang tertarik pada buku saya,” ujar Firliana. “Saya rasa mereka tidak ngerti soal [orgasme perempuan]. Saya rasa tidak ada yang memberitahu mereka bahwa perempuan senang mencapai klimaks.” Faktanya, buku ini membantunya mengenalkan narasi hak-hak perempuan yang lebih luas. “Saat kita mulai ngobrolin seks, saat kita mulai menggunakan bahasa seks, laki-laki mulai paham kita ini ngomongin apa.”

“Saya sangat suka orgasme. Tapi, ternyata tidak banyak perempuan [Indonesia] seberuntung saya, yang bisa mengalami kenikmatan seksual.”

Buku Firliana sangat kritis terhadap pelarangan-pelarangan sosial dan tabu di Indonesia yang memandang hubungan seksual di luar nikah dan ekspresi seksual apapun sebagai hal buruk. Perempuan yang ideal adalah mereka yang “menjaga kesuciannya” sampai kelak menikah—lalu mengabdi pada suaminya dalam urusan seks dan urusan-urusan lainnya.

Seorang perempuan dalam buku tersebut menyebutkan kasus teman perempuannya yang diceraikan karena tidak berdarah saat malam pertama, sebagaimana yang (secara keliru) diharapkan dari perempuan perawan. Firliana menulis soal sejumlah penggerebekan terhadap pasangan-pasangan muda yang berhubungan seks suka-sama-suka dengan pasangan mereka di Jawa Timur, karena dianggap “merusak nama baik kampung.”

Ada pula sepasang perempuan lesbian di Jakarta Timur yang diusir dari kosan karena orientasi seksual mereka. Tak lama berselang, ada peraturan bahwa remaja dilarang pacaran lewat jam 9 malam di Jawa Barat.


Tonton dokumenter VICE Indonesia mengenai tradisi mahar yang sangat mahal di Sumba, sampai banyak anak muda memilih kawin lari atau sekalian menjomblo:


Kampanye Firliana kian penting di tengah banyaknya pelarangan terkait hasrat seksual dan peran gender. “Saya ingin menulis sebuah buku soal orgasme perempuan-perempuan Indonesia karena saya jengah dengan orang-orang konservatif di Indonesia yang selalu mengkritik gerakan perempuan sebagai hal kebarat-baratan,” kata Firliana.

Aktivis Indonesia lainnya juga mengatakan bahwa feminisme Barat seringkali dijadikan kambing hitam untuk mendiskreditkan kesadaran perempuan Indonesia tentang hak-hak perempuan.

Aktivis Indonesia lainnya juga mengatakan bahwa feminisme Barat berfungsi sebagai kambing hitam untuk mendiskreditkan kesadaran sendiri tentang hak-hak perempuan, dengan satu kampanye menuduh kaum feminis telah menyebarkan pengaruh budaya yang merusak dari Barat. Sebuah organisasi pembela hak-hak perempuan bahkan menyebutkan bahwa feminis seringkali dituduh menyebarkan pengaruh-pengaruh budaya maksiat dari Barat.

Nyatanya, pilihan radikal Firliana menulis pengalaman orang-orang Indonesia sukses membantah asumsi-asumsi tersebut. Buku ini menawarkannya kesempatan menyorot pengalaman kelompok-kelompok marjinal—seperti orang-orang lesbian, biseksual, transgender, pekerja seks, dan orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Tanah Air—sekaligus memberikan pengakuan terhadap pluralisme identitas perempuan. Selain itu, dia juga berkesempatan untuk memvalidasi hak-hak seksual perempuan sebagai isu nasional yang organik, isu intristik dalam budaya dan sejarah Indonesia.

Perempuan-perempuan seperti Tia, pekerja seks berusia 41 tahun yang bisa mencapai orgasme empat kali berturut-turut dengan seorang pelanggan, merasa didengarkan lewat buku ini. “Saya senang dengan seorang pelanggan yang amat berbakat, yang tahu cara menggerakkan lidahnya. Saya punya banyak pelanggan yang senang menstimulasi klitoris dengan cara begitu.”

Mengumpulkan kisah yang banyak dan beragam, Firliana ingin membuktikan bahwa masturbasi, kenikmatan seksual, dan homoseksualitas sudah ada di Indonesia sejak lama, seperti di tempat lainnya di dunia. Dia melaporkan dildo-dildo yang dibuat satu abad silam, yang terbuat dari lilin dan kayu, dan sebuah skandal lesbian yang dicatat pengadilan salah satu kota besar Jawa pada 1902.

“Ini diskriminasi. Bahwa perempuan harus menjadi ‘gadis baik-baik’ sampai malam pertamanya.”

“Di buku saya, saya membahas bagaimana sex toys digunakan perempuan-perempuan Aceh pada awal 1900an. Saya juga membahas soal praktik-praktik lesbianisme di Keraton Jawa, jadi [pihak-pihak konservatif] tidak bisa bilang bahwa ini adalah pengaruh Barat,” ujarnya.

Riset Firliana didorong oleh fakta bahwa banyak perempuan masih kesulitan mencapai klimaks saat berhubungan seksual. Dalam bukunya, dia mengutip hasil survey tahun 2008 oleh Asia Pacific Sexual Health and Overall Wellness yang menunjukkan 77 persen perempuan Indonesia tidak puas dengan kehidupan seksual mereka, seperti dilaporkan Jakarta Globe. Secara global, sebuah analisis tentang berbagai penelitian selama 80 tahun belakangan oleh Elisabeth Lloyd menyimpulkan bahwa hanya 25 persen perempuan mencapai orgasme selama senggama.

“Pertama-tama, saya sangat suka orgasme. Tapi, ternyata tidak banyak perempuan yang seberuntung saya, yang bisa mengalami kenikmatan seksual,” ujar Firliana. Menurut pandangannya, sebagian besar perempuan Indonesia tidak orgasme karena mereka dibuat urung mengeksplor seksualitas mereka. “Ini diskriminasi. Bahwa perempuan harus menjadi ‘gadis baik-baik’ sampai malam pertamanya. ‘Gadis baik-baik’ enggak ngomongin seks, enggak tau apa-apa soal seks.”

Dan tekanan tersebut kentara, mengingat “tes keperawanan” diadakan untuk perempuan-perempuan yang ingin mendaftar ke satuan militer atau kepolisian—dan kadang-kadang untuk siswi sekolah menengah juga. Pada tes ini, dokter mencoba memeriksa, dengan dua jari, apakah selaput dara kandidat atau siswi tersebut masih “utuh”.

Yang paling parah adalah mutilasi kelamin perempuan atau, yang lebih umum didengar di Indonesia, sunat perempuan. Larangan pemerintah akhirnya dipulihkan pada 2014, setelah panduan menteri berupaya mengatur praktik ini sejak 2010. Menurut Jakarta Globe, angka-angka dari riset Kementrian Kesehatan pada 2010 menunjukkan bahwa 51.2 persen perempuan Indonesia disunat saat lahir.

Firliana berargumen bahwa sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis apapun, dan selama ini dijalankan untuk menekan seksualitas perempuan. “Ideologi di balik [sunat perempuan] adalah kesucian, supaya perempuan tidak bandel, supaya tidak terlalu liar di ranjang. Itulah alasannya. Dan itu sama sekali tidak ilmiah.”

Dalam konteks ini, potensi revolusioner dari aktivisme Firliana terang, meski—di negara dengan populasi 250 juta orang—jangkauannya masih terbatas. Tetapi, Firliana merasa optimis soal masa depan pemberdayaan perempuan Indonesia.

Saat tulisan ini dibuat, pada 2015, Firliana sedang merencanakan versi terbaru dari The O Project untuk dirilis pada 2016, dengan tambahan sebuah bab soal kenikmatan seksual perempuan penyandang disabilitas, dan pembaruan atas beberapa bagian tentang keperawanan dan kebijakan sunat perempuan.

Kini, dia menyenderkan harapan pada semangat wirausaha pengecer mainan seks perempuan dan bisnis-bisnis lainnya, yang mulai menjamur di Indonesia. “Saya rasa, alasan mereka membuka bisnis itu adalah karena mereka menganggap kenikmatan perempuan penting,” tandasnya.

Cukup penting, setidaknya, untuk dikomodifikasi untuk khalayak yang lebih luas dan segmen perempuan yang semakin tercerahkan. Di dunia ini keuntungan berbicara paling lantang; sehingga, di mana ada permintaan komersil, semoga saja, di situ ada jalan. Setidaknya, pandangan macam itulah yang diyakini Firliana.


Artikel ini pertama kali tayang di Broadly, situs VICE khusus membahas isu perempuan.