Confessions adalah seri artikel VICE memuat cerita pengalaman pribadi yang disembunyikan banyak orang, terutama soal kesehatan mental, fobia, dan bermacam pikiran gelap. Melalui pengakuan para narasumber dalam seri ini, redaksi berharap pembaca sekalian bisa memiliki inspirasi, keberanian, serta perasaan lebih ringan menghadapi problem-problem kejiwaan yang sedang dihadapi. Sebab, seunik apapun ketakutan, depresi, trauma; atau seaneh apapun pengalaman seseorang dalam hidupnya, selalu ada orang di luar sana yang mengalami hal serupa—kalian tidak sendirian.
Ibu enggak pernah memukulku, mengurungku di luar rumah atau menghinaku. Dia memperlakukanku dengan “baik”. Aku dulu mengira ibu sahabat terbaikku, jauh sebelum aku menyadari persahabatan adalah hubungan dua arah. Ibu mengajarkanku kepedulian tanpa pamrih, yang berarti aku melayani kebutuhan emosional orang lain tapi enggak usah mengharapkan dipedulikan balik.
Videos by VICE
Masa kanak-kanak seharusnya menjadi masa pertumbuhan dan eksplorasi, yang mementingkan kedekatan antara anak dan orang tua. Bagi sebagian besar orang tua narsis, hal itu enggak penting. Ibuku selalu ikut kemanapun aku pergi, dan mengumbarkan senyum seolah semuanya baik-baik saja. Di rumah, dia sangat berbeda dan sulit ditebak.
Emosinya sering tiba-tiba meledak. Semua yang aku lakukan enggak mampu membahagiakannya. Saat aku masuk kuliah, ibu ikutan kuliah di kampus yang sama. Ibu kerap minta diantarkan sampai kelasnya. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk menyadari kalau ibu membuat hari pertamaku kuliah tentangnya.
Mencintai diri sendiri itu wajar, sehingga narsisme adalah sesuatu yang normal dan sehat. Jika sifat narsis mulai mengganggu hubungan dengan orang lain, maka dapat berubah menjadi Penyakit Kepribadian Narsisistik (NPD). Penderita NPD cuma mementingkan diri sendiri, dan enggak memedulikan perasaan orang lain.
Belum banyak studi yang membahas dampak orang tua berkepribadian narsistik terhadap buah hati mereka. Namun, para psikolog yang mendalami narsisme berpendapat mereka menghasilkan anak-anak dengan kepercayaan diri rendah. Orang tua yang kelewat narsis melihat anak sebagai cerminan dirinya, dan tak membiarkan anak menemukan identitasnya sendiri. Metode pengasuhan mereka pun buruk, bisa tiba-tiba protektif atau mengabaikan anak. Kurangnya stabilitas membuat emosional anak terombang-ambing.
Ibu enggak pernah konsultasi ke psikolog, jadi belum didiagnosis secara resmi sama dokter. Aku sadar ibu kemungkinan mengidap NPD saat membaca buku tentang pasangan yang narsis. Waktu itu, aku tengah mengurus perceraian. Semuanya jadi masuk akal untuk pertama kalinya dalam hidupku. Sifat ibu yang selalu ingin diperhatikan, suka memanipulasi dan mengendalikan perasaan, serta ketiadaan batasan dijabarkan dalam buku. Aku akhirnya lebih memahami ibu dan masa kecilku.
Rasanya bagaikan momen pengubah hidup, tapi pemahamanku tentang ibu ternyata enggak memenuhi kebutuhanku sebagai putrinya. Pencarianku akan sesosok ibu masih ada. Aku berharap hubungan kamu membaik. Aku berempati dengannya, dan berusaha lebih membangun kembali hubungan kami.
Aku bukan satu-satunya anak yang kesulitan melepaskan ketergantungan pada orang tua. Anak secara biologis diprogram terikat dengan orang tua, dan keterikatan yang kita bentuk semasa kecil membantu kita membentuk hubungan yang aman di masa depan. Aku baru menyadari enggak ada gunanya kebanyakan berharap.
Ramani Durvasula, guru besar psikologi di California State University sekaligus psikolog yang mendalami narsisme, menulis buku berjudul Should I Stay Or Should I Go? Surviving a Relationship with a Narcissist. Dalam bukunya, dia menjelaskan jenis-jenis orang narsis dan menguraikan cara-cara menghadapi mereka. Apabila orang tuamu berkepribadian narsis, Ramani mengatakan jangan kebanyakan berharap. “Kalau orang tua enggak peduli denganmu waktu kecil, mereka tetap enggak akan memedulikanmu saat dewasa,” ujarnya. “Buang saja semua harapanmu.”
Langkah pertama memulihkan diri yaitu pergi ke terapis. Aku mulai menjalani terapi tujuh tahun lalu. Di sana, aku bebas menceritakan masa kecilku dan bagaimana hal itu memengaruhiku dalam mengambil keputusan saat dewasa. Masalahnya, enggak semua terapis bisa membantumu. Kamu harus mencari terapis yang benar-benar memahami narsisme dan enggak akan memaksamu mempertahankan hubungan dengan orang tua. Ramani bilang itu bukan hal yang mudah, tetapi saat kamu menemukannya, kamu akan dibantu menetapkan harapan dan batasan yang sesuai dengan orang tua narsis.
Semua anak berhak diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang oleh orang tuanya. Kita juga wajib berbakti kepada mereka. Akan tetapi, enggak ada salahnya menjaga jarak dari mereka, terutama jika ayah ibumu menganggap dirinya orang terpenting di dunia, enggak pernah memedulikan perasaanmu, dan memiliki gejala NPD lain. Daripada mengharapkan yang tak pasti, Ramani menganjurkan lebih baik menghadapi rasa sakit enggak dipenuhi kebutuhan emosionalnya agar bisa menerima kenyataan hidup kita. Mereka-mereka yang tak siap mengonfrontasi masa lalu cenderung menarik orang narsis ke dalam hidup mereka. Menerapkan batasan dengan orang tua narsis dapat membantu anak menghentikan apa yang dialami semasa kecil.
Menurut Ramani, kita perlu memahami bagaimana sifat narsis orang tua memengaruhi hidup sebelum memutuskan untuk jaga jarak atau enggak. Tak ada salahnya menetapkan batasan dengan orang tua, jika mereka membuatmu tak berdaya, mengganggu performa kerja dan merusak hubunganmu dengan orang lain. “Anggap saja orang tuamu tempat pembuangan sampah beracun,” kata Ramani. “Memangnya kamu mau punya rumah di sebelahnya?”
Kamu dapat memutuskan kontak atau mengurangi waktu bertemu dengan orang tua. Yang terpenting, jangan sampai kamu terlalu bergantung secara emosional kepada mereka. “Solusi terbaiknya kadang dengan menjauhi mereka,” lanjutnya.
Bukan hal yang mudah, tentu saja. Orang tua narsis jago mengendalikan anak. Mereka tahu kelemahanmu dan caranya bikin kamu merasa bersalah. Semakin tegas kamu menjaga jarak, maka semakin sulit mereka memanipulasi perasaanmu. Jangan sampai kamu terjerumus dalam drama mereka. “Langsung pergi kalau kondisinya memanas,” tutur Ramani.
Di awal masa pemulihan, aku enggak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa memikirkan trauma masa lalu. Sewaktu kecil dulu, aku menyenangkan diri dengan berimajinasi. Ketika beranjak dewasa, semua kenangan menyakitkan yang sudah dikubur dalam-dalam malah muncul kembali. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, aku bisa mengakuinya tanpa menyakiti diriku sendiri. Itu adalah sebuah pencapaian terbesar, terutama bagi anak yang punya orang tua kelewat narsis.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.