Sensasi ala ‘Rumah Hantu’ Museum Lubang Buaya yang Pengap dan Angker

Kalau kamu besar di zaman Suharto, kamu mungkin tahu tentang komunisme dari film propaganda Pengkhianatan G30 S-PKI yang sangat brutal itu. Kamu akan mengira kalau pendukung ideologi komunis adalah orang-orang kafir yang suka pakai turtleneck karena film ini. Selain film, pemerintah juga membuka Museum Pengkhianatan PKI di Taman Mini Indonesia Indah. Banyak sekolah yang mengajak siswanya study tour ke museum ini dalam rangka “memahami” sejarah Indonesia yang “sebenarnya”.

Saya dulu bersekolah di salah satu SD swasta. Sekolah saya yang burjuis itu tidak pernah sama sekali mengajak muridnya jalan-jalan ke museum yang dibuka pada 1 Oktober 1992 ini. Entah deh ini hal bagus atau enggak. Mungkinkah sekolah sengaja menyelamatkan kami dari propaganda anti-komunis? Atau ini membuat saya ketinggalan banyak pelajaran sejarah sewaktu kecil?

Videos by VICE

Saya memutuskan pergi ke museum untuk mengatasi ketertinggalan tersebut.

Kawasan museumnya sangat besar. Di halaman depannya terdapat air mancur rusak yang dikelilingi bundaran yang jauh lebih besar dari jalan utama. Semua jalanannya beraspal, kecuali lapangan rumput yang ada di antara Monumen Pancasila Sakti dan gedung utama. Saya parkir di sebelah dua bus biru yang mengangkut siswa sekolah dasar. Saya segera menuju gedung utama, sudah enggak sabar pengin belajar.

Saat saya berjalan melewati halaman museum, saya bertatapan dengan wanita paruh baya yang tampak bosan menjaga toko pernak-pernik bertema militer Indonesia. Selain pernak-pernik, dia juga menjual baju onesie (terusan) bayi yang bermotif loreng dengan logo belati besar yang dijahit di bagian depannya. Cocok nih buat para orang tua yang pro-militer dan ingin memamerkannya.

The view of the Pancasila Sakti Monument from behind the pavilion.

Museumnya berjarak seratus meter dari Lubang Buaya, sebuah sumur sempit tempat dibuangnya enam jenderal setelah disiksa oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam upaya kudeta yang gagal pada 30 September 1965.

Lubang Buaya menjadi tempat favorit pengunjung. Lubang ini berada di dalam paviliun bergaya Jawa dan memiliki prasasti marmer. Lampu merah yang menerangi bagian dalam lubangnya dimaksudkan untuk menambah suasana mencekam dan menyoroti bintik-bintik merah yang ada di dinding. Sayang, dekorasinya malah jadi kayak pameran museum buat anak kecil. Enggak kayak kuburan massal sama sekali.

Di samping paviliun ada pondok berisi diorama penyiksaan yang ukurannya sebesar manusia. Di dalamnya terdapat patung lilin orang komunis yang sedang menyiksa jenderal—bahkan ada darah (yang terbuat dari lilin) mengalir dari dahinya—dan ada patung lilin perempuan Gerwani, gerakan feminis yang berhubungan dengan PKI, yang sedang menari di antara lima tahanan.

The original Lubang Buaya, now with extra lights.

Saya jadi heran kenapa diorama yang penuh kekerasan ini dianggap pantas untuk dipelajari anak-anak, padahal Kemkominfo pernah menyensor SpongeBob Squarepants karena “mengandung kekerasan.”

Di seberang pondok, saya melihat sekelompok pengunjung yang sedang berfoto di depan Monumen Pancasila Sakti. Niatnya sih foto pas sedang loncat di udara gitu, tapi mereka gagal mulu. Saya pun melanjutkan misi.

Saya berjalan ke arah monumen untuk mengamati relief besar di dindingnya. Relief ini menggambarkan para komunis—digambarkan sebagai kaum proletar bermata sipit atau orang-orang yang membawa arit—yang sedang menyiksa dan mencambuk pahlawan nasional hingga mati.

Saya harus akui. Reliefnya keren sekali. Seniman yang ditunjuk untuk menggarapnya pasti benar-benar memeras otaknya untuk menggambarkan seperti apa tampang seorang penganut paham komunisme yang kerap dicap ateis. Apakah hasilnya sesuai dengan sejarah yang terjadi? Kayaknya sih enggak. Tapi apakah reliefnya penuh dengan adegan-adegan patriotik? Oh sudah pasti.

A close up of the relief on the Pancasila Sakti Monument. Note the preference for dramatic flair over historical accuracy.

Saking ingin tahu lebih banyak tentang sejarah kelam Indonesia pada medio 1965, saya memberanikan diri masuk ke dalam museum. Siapa tahu saya dapat tambahan pengetahuan yang berarti. Tiket masuknya dipatok di harga Rp40.000 saja. Sebenarnya, lumayan mahal untuk tiket masuk sebuah museum. Untungnya, rasa penasaran saya sudah kadung membuncah. Harga setinggi itu pun tak jadi masalah, malah mungkin setimpal dengan pengetahuan yang saya peroleh di dalam museum nanti.

Di dalam museum, saya harus memicingkan mata, menyesuaikan dengan kondisi ruangan yang cenderung gelap. Sebagian lampu sudah tak berfungsi. Muncul kesan tak terelakkan bahwa pengurus museum hanya mementingkan bagian luar bangunan saja sementara bagian dalamnya dibiarkan membusuk. Bau apek bangunan tak terurus emoh minggat dari hidung saya. Sepanjang petualangan saya di dalam, saya menghitungnya setidaknya ada empat jenderal dan 34 diorama dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda.

Dugaan saya, diorama ini dulunya adalah karya seni yang serius. Pasalnya, rezim yang (pernah) berkuasa senang sekali menggunakan diorama untuk menjelaskan sejarah Indonesia, topik yang sebelumnya pernah dikupas panjang lebar oleh VICE. Diorama dalam Museum Pengkhianatan PKI begitu detail. Satu yang saya amati menampilkan sosok pejuang gerilya yang tubuhnya penuh lumpur tengah beraksi dengan bendera berkibar di dekatnya. Di bagian museum yang lampunya masih berfungsi, saya bisa melihat sejumlah patung lilin—besarnya tak lebih dari kepalan tangan saya. Bayangan patung-patung kecil itu jatuh memanjang di atas permukaan tanah yang terbuat dari plastik.

Sayangnya, keseriusan penggarap diorama tak diimbangi keseriusan orang yang dipercaya menulis naskah untuk mengisahkan sejarah kekejaman PKI versi Orde Baru di museum ini. Sebagai perbandingan, Museum Soeharto di Yogyakarta setidaknya berusaha menyuguhkan narasi yang runut tentang Orde Baru. Tentu saja, semua klaim yang disuguhkan museum ini mesti kita pertanyakan. Namun setidaknya, ketidakakuratan sejarah yang ditampilkan Museum Soeharto lebih berupa penghapusan, alih-alih distorsi fakta sejarah.

Sebaliknya, Museum Pengkhianatan PKI tak mau repot-repot berurusan dengan sejarah. Rupanya, museum ini didirikan semata-mata untuk mengajarkan pengunjungnya satu pelajaran penting: bahwa anggota Partai Komunis Indonesia adalah segolongan orang bengis dan tak kenal Tuhan. Selebihnya, museum ini tak menjelaskan kenapa ideologi komunis selalu dipandang sebagai sebuah bahaya laten yang mengancam keselamatan bangsa. Jangankan itu, penjelasan tentang apa itu komunisme juga nihil—makanya tak aneh jika orang enteng sekali memberi cap komunis pada kelompok tertentu tanpa paham maksud kata itu. Hemat kata, yang ingin dikatakan oleh Museum Pengkhianatan PKI adalah PKI itu musuh bangsa dan para jenderal yang dibunuh di lubang buaya adalah korban sekaligus pahlawan dari epos tentang Pemberontakan PKI yang gagal 1965.

Semua ini bikin saya merasa terlempar kembali ke masa Perang Dingin. Satu-satunya yang memberi angin segar dari gempuran retorika pro-militer di dalam museum adalah sebuah kios penjual minuman dan makanan ringan di tengah-tengah museum.

Tiba-tiba, saya menemukan penunjuk jalan bertuliskan “Perpustakaan Museum.” Otak saya langsung otomatis berpikir “Nah, mungkin di perpustakaan ini, saya dapat informasi yang berarti.” Tanpa pikir panjang, saya langsung ikuti penunjuk jalan tersebut sampai ke sebuah ruang yang redup. Bukannya menemukan sekumpulan buku, mata saya malah tertumbuk pada setumpuk botol minuman. Saya jadi bingung, ini perpustakaan atau gudang toko minuman & snack yang tadi saya tadi saya lihat.

Setelah mengedarkan pandangan, saya menemukan beberapa map berdebu dipasang di salah satu sisi ruangan. Okay, ini yang saya cari. Malang, lagi-lagi pencarian saya akan pengetahuan kembali terhalangi. Kali ini oleh seorang lelaki tua berpotongan cepak yang berdiri di belakang meja pintu keluar.

“Mau ngapain kamu?” bentaknya.

“Saya pengin belajar tentang kudeta 30 September, saya boleh lihat isi mapnya enggak pak?” jawab saya.

“Oh enggak boleh,” sergahnya, menyebalkan. “Kamu harus punya izin dulu.”

Baiklah, ruangan itu ternyata memang sebuah perpustakaan tapi sayangnya bukan tempat memeroleh penjelasan seperti yang saya duga. Alhasil, saya mundur teratur, melewati sekumpulan keranjang Pocari Sweat, mengucapkan terima kasih pada bapak-bapak barusan membentak saya dan angkat kaki.

Setelah berkeliling selama dua jam di dalam Museum Pengkhiatan PKI, saya bisa menarik satu kesimpulan penting: museum ini tak mengajarkan banyak hal tentang percobaan kudeta 30 September. Barangkali, saya bisa dapat lebih banyak informasi penting dengan membaca laman wikipedia ini. Apa yang dipamerkan di dalam museum juga cenderung berat sebelah dan mengabaikan fakta sejarah. Museum ini juga melupakan apa yang terjadi setelah enam jenderal dan satu perwira angkatan darat dibunuh di Lubang Buaya—seperti keterangan dokter pelaku autopsi pada jenazah pahlawan revolusi yang menyangsikan adanya penyiksaan, apalagi diiringi dengan tarian jalang anggota Gerwani.

The clean and windowless front half of the museum. The other half is just as clean and windowless.

Kalau fakta-fakta itu saja dilupakan, jangan harap Museum Pengkhianatan PKI menampilkan diorama tentang pembantaian setengah hingga tiga juga orang yang dicap sebagai anggota PKI pasca tragedi 30 September. Tentu saja, bagian sejarah yang satu ini terlampau sadis untuk dijadikan diorama yang ditonton anak-anak ingusan yang kerap datang ke Museum, tapi tetap saja, ini adalah pemotongan fakta sejarah yang kelewat serius.

Meski begitu, saya masih sangat bisa menghargai segala upaya yang dicurahkan para seniman untuk menciptakan diorama di dalam museum. Mungkin, tiga dekade lalu, saat lampu museum masih menyala, diorama-diorama ini pasti kelihatan keren. Saya tak tahu pasti kenapa lampu-lampu mati ini tak kunjung diganti. Jangan-jangan memang sengaja begitu agar kesan suwung museum ini terjaga. Siapa tahu.

Saya masih berjalan menyusuri bagian-bagian museum itu. Saya tak sengaja mendengar seorang pemandu wisata—seragamnya dari bahan khaki—ngoceh tentang panjang lebar tentang pemberontakan PKI di hadapan seruangan penuh anak SD yang kelihatan bosan. Dari tatapan anak-anak itu yang jarang mengarah ke sang pemandu wisata, saya bisa menebak kalau mereka sudah terlalu bosan setelah sejam penuh mendengarkan penjelasan tentang kekejaman PKI.

Saya bisa saja bernasib seperti mereka. Diam-diam saya berterimakasih pada SD borjuis saya yang tak merasa perlu mengajarkan propaganda Orde Baru pada anak didiknya. Saat saya melangkah keluar museum, bayangan tentang kekejaman PKI—versi sejarah Orde Baru tentunya—masih membayangi.

Kalau dipikir pengalaman masuk Museum Pengkhianatan PKI itu tak jauh beda dari menjajal Disneyland Haunted Mansion. Bedanya cuma dua: enggak ada yang dagang churros dan kadar propagandanya kelewat banyak.