Health

Aku Berusaha Mengatasi Obsesi Tak Sehat Terhadap Kecelakaan Pesawat

Ilustrasi obsesi manusia pada kecelakaan pesawat Lion Air JT 610

Bandara bagiku adalah salah satu tempat paling menyenangkan di dunia, tapi masalahnya satu: aku merasa benci naik pesawat dan celakanya aku terus memelihara obsesi dan ketakutan pada risiko industri penerbangan komersial. Itulah sebabnya, ketika hari-hari ini semua media di Indonesia melaporkan tragedi jatuhnya Lion Air JT 610 di Tanjung Karawang, aku mengikutinya tanpa henti. Aku terobsesi. Fobiaku pada penerbangan bangkit. Sampai pada titik aku sadar ini sudah enggak sehat.

Padahal, jika kuingat-ingat lagi, aku sangat mencintai pesawat dan bandara. Aku enggak punya terlalu banyak kenangan masa kecil yang indah bareng bapakku, kami memang tidak dekat. Tapi aku ingat saat kami tinggal di sebuah rumah dekat Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Tiap kali pesawat hendak mendarat atau terbang, pesawat itu melayang persis di atas atap rumah kami.

Videos by VICE

Aku ingat bagaimana bunyinya benar-benar memekakkan telinga dan bagaimana kegaduhan itu bikin aku langsung keluar rumah dan menikmati angin dan kebisingan yang ditimbulkannya. Lalu tiap sore aku dan bapak berkendara naik motor butut menuju ke sebuah jalan rahasia di samping landasan. Kami di sana menunggu pesawat lepas landas dan mendarat dari balik kawat pembatas landasan. Makanya cita-cita pertamaku pun menjadi pilot atau astronot, pokoknya apapun yang membuatku bisa terbang.

Seiring dewasa, aku tak terlalu tertarik lagi dengan pesawat. Aku bahkan jadi takut naik pesawat, dan penyebabnya bukan karena aku takut ketinggian—toh aku santai saja naik gunung atau melintasi jembatan gantung tinggi. Sumber ketakutanku adalah kondisi di mana aku tak punya kontrol pada diriku sendiri. Itu terjadi saat aku naik pesawat. Jika aku benar-benar mati karena kecelakaan pesawat, satu hal paling menakutkan yang membuatku selalu kena serangan panik: jatuh dari ketinggian kemudian tenggelam.

Semua ketakutan tadi mendorongku terus mencari tahu seputar kecelakaan pesawat. Awalnya aku hanya ingin mencari tahu dan memastikan bahwa logika dan pengetahuan bisa mengalahkan ketakutan saat terbang. Namun yang terjadi sebaliknya. Semakin aku tahu banyak hal soal penyebab kecelakaan pesawat, semakin sering aku punya bayangan akan berbagai skenario kecelakaan.

Aku doyan menonton program dokudrama soal kecelakaan pesawat dan investigasi keluaran National Geographic, Air Crash Investigation. Aku bahkan punya kebiasaan aneh, yakni nonton video investigasi macam itu di bandara, tiap kali aku hendak bepergian sendirian naik pesawat.

Setelah pesawat mengudara, bayangan skenario yang mengerikan makin menjadi. Tiap kali aku mencium bau gosong di dalam pesawat, aku tak akan bisa berpikir rasional kalau aroma ini berasal berasal dari makanan di pantry, aku malah membayangkan ada komponen pesawat yang terbakar atau kabel sirkuit di pesawat yang meledak. Tiap terbang, sebisa mungkin aku akan memilih duduk di ujung belakang pesawat dengan asumsi kalau terjadi apa-apa penumpang belakang punya peluang selamat lebih besar. Padahal aku tahu benar, di situasi darurat macam itu, justru butuh waktu lama untuk keluar dari pesawat bagi mereka yang duduk di belakang. Aku juga punya rutinitas lain, tiap hendak takeoff dan landing, aku akan secara kompulsif menghitung 11 menit kritis yang menurut pakar disebut momen genting penerbangan.

Pernah pesawat yang aku naiki secara konstan menurunkan ketinggiannya. Aku segera membayangkan petugas di kokpit sengaja punya niat menghantamkan badan pesawat ke badan gunung seperti yang terjadi pada tragedi Gemanwings dengan nomor penerbangan 4U 9525. Dalam insiden tersebut, kopilot Andreas Lubitz sengaja menurunkan ketinggian pesawat dalam misi bunuh diri yang mengorbankan ratusan penumpang lain. Kapan hari, ketika ikut penerbangan lintas benua, aku sempat panik karena khawatir pesawat bakal mengalami stall, mirip seperti tragedi Air Asia QZ 8501 yang jatuh di Selat Karimata pada 29 Desember 2014. Saking paniknya, aku tiba-tiba sulit berpanas.

Semua kebiasaan tersebut tentu tidak sehat buat mentalku. Padahal, seiring aku makin sering membaca dan menonton dokumenter seputar kecelakaan pesawat, aku sadar betapa transportasi udara adalah mode transportasi paling aman di seluruh dunia.

Aku sadar betul bahwa kematian gara-gara kecelakaan motor peluangnya 3.000 kali lipat lebih besar kita alami dibanding mati karena naik pesawat. Begitu pula dengan mati saat berkendara dengan mobil yang 100 kali lipat lebih mungkin dialami siapapun. Industri penerbangan diregulasi jauh lebih ketat dibanding kapal, kereta, serta tentu jauh lebih teratur dibanding situasi lalu lintas yang ugal-ugalan di Indonesia. Sementara aku berangkat kerja naik ojek online setiap hari. Tapi kenapa aku tidak pernah merasa sekhawatir ketika jadi penumpang pesawat?

Pelan-pelan, pekan ini aku berusaha mengatasi rasa takutku yang berlebihan. Tidak boleh seperti ini terus. Jika ketakutanku menang, maka aku tidak mungkin bisa berpergian normal. Apalagi aku tinggal di Indonesia, wilayah khatulistiwa yang jadi salah satu zona paling garang bagi penerbangan yang biasa disebut inter tropical convergence zone (ITCZ). Bukan sekali dua kali kondisi cuaca jadi kontributor utama kecelakaan.

Untunglah, pakar segera mengingatkan, semua kekhawatiranku tersebut adalah hasil reaksi otak belaka. “Ketakutan terbang itu hanyalah perasaan. Perasaan bukanlah fakta,” kata Martin Seif, psikolog klinis yang punya spesialisasi soal anxiety disorders. “Hampir tiap orang yang takut akan bilang ‘ketakutan saya tidak sebanding dengan bahayanya, dan saya tidak bisa memikirkan caranya untuk keluar (dari kekhawatiran)’.”

Oke. Jadi aku tidak sendirian punya obsesi yang berlebihan sama insiden pesawat, dan seharusnya tidak menyerah pada ketakutan itu. Tapi kira-kira kenapa ya aku terus saja khawatir?

Bagi psikolog forensik, pemicunya adalah sorotan media yang berlebihan tiap kali terjadi kecelakaan pesawat. Bagi industri media, kecelakaan pesawat memang punya “daya tarik” tersendiri dibandingkan dengan bencana mematikan lainnya. Google Trends global pada 2014 menyebutkan perhatian terhadap kecelakaan pesawat di udara jumlahnya lebih banyak 43 persen daripada kecelakaan lain yang terjadi di muka bumi. Sebanyak 992 korban jiwa kecelakaan pesawat pada 2014 “menarik atensi” lebih besar, daripada 1,24 juta orang yang meninggal akibat moda transportasi lain pada tahun yang sama.

Rating acara prime time stasiun televisi CNN naik 68 persen saat mereka mengangkat rangkaian berita soal hilangnya Malaysia Airlines HM370. Begitu pula dengan redaksi BBC yang mengakui memperoleh traffic audiens dalam jumlah besar, saat aktif meliput tsunami Jepang.

Psikolog Reza Indragiri menyebut sorotan besar-besaran media, termasuk VICE Indonesia, tentang suatu hal termasuk kecelakaan pesawat bisa mengakibatkan ‘vicarious trauma’. Bentuknya adalah guncangan kejiwaan audiens yang bisa berlangsung serius dan berkepanjangan, bahkan bisa menjadi fobia.

Reza menyebut bahwa setiap orang punya dorongan untuk memberikan makna utuh atas objek yang seseorang hadapi. “Terus menerus mencari dan mengekspos berita tentang kecelakaan adalah manifestasinya. Dilakukan selama belum ada kejelasan utuh,” kata Reza pada VICE. “Obyeknya satu, yaitu kecelakaan pesawat. Tapi tafsiran atas kejadian itu bisa sangat majemuk. Bahkan tanpa batas. Pintu yang tanpa batas itulah yang dieksploitasi secara kreatif.”

Itulah mengapa di tengah situasi pencarian Lion Air JT 610 yang belum selesai, beberapa media merasa harus mengabarkan hal baru menyelinginya dengan informasi simpang siur. Taktik media ini dilegitimasi pula dorongan manusia untuk mencari tahu soal pesawat. Artinya ada banyak orang macam aku. Takut banget tapi penasaran. Dalam kondisi macam inilah, redaksi media seringkali terpelset mengeksploitasi kemalangan korban dengan berita macam potret pramugari yang jadi korban dalam insiden Lion Air, yang jelas melanggar privasi keluarga, serta tak ada kaitannya dengan peristiwa.


Tonton dokumenter VICE mengenai para pilot pemberani asal Rusia yang mau menerbangkan pesawat di Kongo, salah satu wilayah paling rawan sedunia:


VICE pernah menulis penyebab banyak orang terobsesi pada kecelakaan pesawat dengan mewawancarai Eric Wilson, professor psikologi Wake Forest University sekaligus penulis buku Everyone Loves a Good Train Wreck: Why We Can’t Look Away. Ia menyebut ketertarikan awam pada laporan bencana mengaktifkan dua impuls yang menunjukkan dia sisi dalam diri manusia, yaitu sisi voyeuristic (kesenangan mengintip penderitaan orang lain) serta empati. Kontradiktif memang. Tapi dua aspek tadi, iba dan kepuasan, muncul berbarengan.

“Punya ketertarikan berlebih pada laporan bencana menunjukkan hal yang paling buruk dalam diri manusia: kita jadi punya dorongan dalam diri yang bahagia melihat penderitaan orang lain, sekaligus juga yang terbaik dalam diri kita: rasa empati bagi mereka yang menjadi korban sekaligus pemahaman mendalam soal penderitaan dan kematian,” kata Wilson pada VICE. “Saya juga berpikir mungkin kita mendapatkan rasa lega ketika menonton liputan bencana, lega bahwa hal buruk itu tidak terjadi pada kita.”

Dari penjelasan para pakar, aku sadar ketakutan yang sebetulnya bukan pada kecelakaan pesawatnya itu sendiri. Ketakutanku yang berlebihan sebenarnya berasa dari rasa pengecut. Tindakan voyeur. Tindakan yang di satu sisi berangkat dari empati riil pada korban, tapi di sisi lain meneguhkan rasa syukur karena aku tidak berada di posisi mereka. Jadi, terbayangkan, ketika kita terus memelihara obsesi berlebihan pada informasi insiden pesawat, sebetulnya kita melakukan tindakan etis dan tak etis sekaligus. Aku tak mau lagi seperti itu. Aku berbenah. Dengan mentalitas baru, aku berusaha keras tak lagi terobsesi sama kecelakaan pesawat.

“Ketika orang bicara soal ketakutannya untuk terbang, dia sebetulnya keliru,” kata Seif. “Hal itu sebetulnya pertemuan dari berbagai fobia berbeda yang diamiliki. Pesawat menjadi obyek dari ketakutan dan kecemasan lainnya karena sekelompok pemicu lingkungan. Berita tentang pesawat jatuh mungkin dapat meningkatkan kecemasan aviphobia pada mereka yang sejak awal takut terbang, tapi tidak akan jadi wabah yang meluas di masyarakat.”

Aku tidak sendirian. Aku ingin berhasil mengalahkan obsesiku pada insiden penerbangan. Aku yakin, banyak orang sepertiku di luar sana, juga tak ingin larut dalam obsesi celaka ini.