Yang kamu lihat adalah pesawat ulang alik Rusia yang ditinggal begitu saja. Wujudnya kini tertutup debu tebal dan keberadaanya terlupakan di dasar fasilitas peluncuran roket Kazak. Pesawat ini adalah sisa-sisa kegagalan Uni Soviet membangun pesawat ulang alik yang bisa digunakan berkali-kali sebagai bagian dari program Buran Program . Berdasarkan rencana rancangan pesawat yang dicolong dari NASA, Buran Program menghabiskan miliaran dollar antara 1974 hingga 1993 dan hanya berhasil mengirim satu pesawat ulang alik ke orbit Bumi.
Pasca keruntuhan USSR, program boros ini terpaksa ditutup. Pesawat-pesawat yang belum sepenuhnya selesai dibiarkan membusuk di bekas wilayah Uni Soviet. Satu pesawat hancur pada 2002 saat hangar yang menaunginya ambruk diterpa badai sementara satu lagi prototip pesawat diselamatkan dan kini dipamerkan di sebuah museum di Jerman. Dua pesawat yang kini berada di Baikonur Cosmodrome di barat daya Kazakhstan kemungkinan adalah dua lainnya yang tersisa.
Videos by VICE
Hanya beberapa gelintir orang yang pernah nekat menyatroni kawasan ini dan kembali membawa foto-foto yang tersimpan dalam SD card mereka. Salah satunya, dengan senang hati mau menceritakan pengalamannya pada kami. Narasumber kami ini adalah seorang fotografer urbex (urban exploration) dari Eropa yang menolak disebutkan namanya lantaran tak ingin pekerjaannya terganggun.
Di bawah ini adalah cerita tentang petualangannya menemukan hangar berisi bangkai pesawat ulang alik Uni Soviet, caranya kabur dari sana serta pengalamannya dikuntit agen intelejen Rusia. Wawancara ini telah melalui proses penyuntingan agar lebih muda dibaca.
Aku pertama kali membaca tentang Buran Program di Internet. Waktu itu, aku cuma mikir “ Ini harus masuk daftar tempat yang harus kukunjungi.” Jelas, bagiku, tempat ini adalah capaian tertinggi bagi para fotografer kawasan urban sepertiku. Akhirnya, pada Oktober 2015, aku melancong ke Kazakhstan.
Fasilitas Buran Program sangat luas. Ukurannya tak tanggung, 70×90 km dan terletak di wilayah gurun. Di dalamnya, kamu bisa menemukan landasan peluncuran yang dibangun pada masa Perang Dingin. Beberapa masih aktif dan digunakan untuk meluncurkan roket menuju Stasiun Luar Angkasa Internasional. Yang jadi kendala cuma satu: hangarnya terletak 40 Km dari jalan raya. Masalah berikutnya, hampir tak ada tempat yang bisa digunakan untuk menyembunyikan mobil. Peliknya lagi, ada sekian Jeep yang mondar-mandir mengawasi kawasan itu tanpa henti.
Kunjunganku ke Kazakhstan pada 2015 kebanyakan dihabiskan untuk melihat kawasan Buran Program dengan menggunakan teropong. Aku memang sengaja melakukannya. Tujuannya untuk memelajari pola patroli di sana. Kemana Jeep-Jeep itu pergi dan kapan nongol lagi. Intinya, aku cuma mengumpulkan data untuk menyusun siasat mengelabui patroli dan cara menyebrangi gurun tanpa mobil, sampai dapat ide: naik sepeda! Karena begitu masuk Baikonur Cosmodrome, aku bisa mengendarai sepeda sepanjang jalan aspal. Tantangannya cuma satu: aku harus melalui 20 km antara jalan utama dan jalan di dalam kawasan Baikonur Cosmodrome.
Aku pulang ke Eropa dan merancang rencana yang matang. Aku segera memesan sepeda lipat dan terus memantau jadwal peluncuran roket. Kamu bisa mengecek jadwal ini di internet. Yang aku cari adalah waktu lowong di mana tak banyak kegiatan Baikonur. Aku akhirnya menemukan kalau Agustus 2016 adalah bulan yang sepi kegaiatan. Selain itu, bulan purnama yang muncul di tengah malam bakal bikin perjalananku di malam hari lebih mudah, setidaknya begitu rencananya.
Di sini narasumber kita mencoba memarkir sepedanya. Sepeda sang fotografer bisa dilihat di pojok kanan bawah.
Aku terbang ke Kazaksthan Jum’at malam. Awalnya, segala seakan berjalan mulus. Aku menemukan spot strategis untuk menyembunyikan mobil—di antara ban bekas, karpet dan sampah di satu titik kurun. Tanpa ragu, aku tutupi mobil dengan karpet dan ban. Saat sedang enak-enaknya menyembunyikan mobil, sebuah mobil patroli melintas. Aku sudah gemeteran dan mikir “ Mati Aku!” Ternyata mobil itu lewat saja. Mungkin, aku disangka penduduk setempat yang sedang buang sampah.
Tetap saja, ini preseden buruk. Mobil patroli itu mengubah jalur patroli cuma untuk mengecek aku sedang ngapain. Kalau sudah begini, rencanaku harus diubah segera. Aku akhirnya berkendara tujuh kilometer lagi ke arah utara. Di sana, semalam kemudian, aku menemukan sebuah kuburan. Pikirku, kalau aku parkir di sini, tak ada satupun orang yang peduli.
Dari sini, aku mulai bersepeda sampai tiba di jalan dalam pertama di Baikonur Cosmodrome. Di sinilah salah satu asumsiku meleset. Aku pikir jalannya beraspal, ternyata tidak. Boro-boro aspal, aku cuma menemukan kerikil dan pasir. Tapi, aku sudah tanggung masuk Baikonur Cosmodrome. Mau tak mau, pasir pun harus aku terjang.
Sebelumnya, aku menduga paling banter aku bersepeda selama lima jam. Ternyata, aku mengayuh sampai kira-kira sembilan jam lamanya. Sampai di Hangar, subuh sudah menjelang. Di sana pun, aku terbentur masalah lainnya.
Harusnya, hangar tidak dikunci. Sesampai sana, aku kecele. Semuanya dikunci rapat. Aku langsung mengeluh ya ampun jauh-jauh ke sini, aku malah tak bisa masuk. Beruntung aku menemukan beberapa kaleng minyak yang bisa aku tumpuk. Dengan tangga dadakan itu, aku berhasil menggapai tangga kebakaran dan naik sampai lantai dua. Lantai dua hangar tak dikunci. Kalau tak salah, aku sampai pukul 6.30 pagi. Suasana hangar masih sangat gelap. Cahaya matahari masuk dari sederet jendela tinggi dan jatuh di lantai, membentuk pantulan cahaya bak sebuah katedral besar. Lalu, mataku terpaku pada dua pesawat ulang alik di dasar lantai hangar.
Bangunan ini mirip seperti mausoleum dari zaman penerbangan luar angkasa. Aku cuma bisa duduk di satu bagian lantai dua. Teorinya, aku harusnya mengantuk dan tidur. Prakteknya karena tubuhku penuh dengan adrenalin, aku malah kesusahan tidur. Makanya, sekitar pukul 10 pagi, aku pun mulai memotret.
Hari itu adalah hari minggu tenang biasa di Baikonur Cosmodrome. Seharian, aku menghabiskan waktu dengan memanjat, mencari angle foto yang menarik. Dua pesawat ulang alik di sana sudah dibiarkan membusuk selama 25 tahun. Kini, badan kedua pesawat tertutup kotoran burung. Di bawah salah satu pesawat, terdapat sebuah tangga. Artinya, siapapun bisa memanjatnya dan masuk ke pesawat. Cuma ya itu, tak banyak yang bisa dilihat dalam pesawat. Kondisinya kedua pesawat sudah memprihatinkan. Ditambah lagi, kondisi hangar juga tak kalah menyedihkannya. Isi hangar sudah habis diambil ketika selama sepuluh tahun pemerintah Kazakhstan kebingungan mengurus hangar. Segala sesuatu yang berharga sudah diambil dari hangar. Sepertinya dalam waktu dekat, hangar ini akan runtuh seperti bangunan hangar lainnya.
Roket yang semestinya membawa pesawat ulang alik Buran ke orbit.
Puas seharian mengambil gambar, aku memutuskan pergi menuju hanger terdekat lainnya. Yang satu ini punya roket Energia. Jaraknya cuma 400 meter dari tempatku berada. Jadi, aku pergi ke sana dan mengambil beberapa foto. Aku baru akan pergi ketika tiga ekor anjing German Shepperd muncul. Satu ekor mendekatiku. Panik, aku menarik sebilah tongkat besi dan mencabut pepper spray khusus untuk anjing. Si anjing ini makin mendekat dan menggonggongi aku. Tak ada pilihan lain, aku sabet moncongnya dan menyemprotnya dengan pepper spray. Mujur, nyali ketiganya yang langsung ciut. Aku kembali seornag diri di hangar.
Langit sudah gelap. Aku harus segera angkat kaki. Aku jelas tak mau masih berada di Baikonur pada Senin pagi. Alhasil, aku harus sampai di tempatku memarkir mobil sebelum matahari terbit besok pagi. Jadi, aku berjalan sejauh delapan kilometer menuju tempatku menaruh sepeda. Dari sana, aku mulai bersepeda. Tiba-tiba, aku melihat lampu jeep di belakangku. Cepat-cepat aku buang sepedaku dan terbirit-birit lari sejauh 50 meter ke arah gurun.
Aku melihat seorang pria berjalan ke arah aku membuang sepeda. Dia mencondongkan badannya ke kanan dan ke kiri sebelum kembali ke jalan. Aku tak yakin apakah mereka mencari aku. Aku juga tak tahu tugas mereka apa. Tapi, dugaanku, karena waktu itu akhir pekan, para penjaga mungkin baru saja menenggak beberapa botol vokda. Aku cuma berdoa, ya Tuhan semoga sepedaku tak dilindas. Doaku terwujud, pria itu terus mengendarai jeepnya melewati aku. Merasa aman, aku kembali bersepeda.
Setelah naik sepeda barang beberapa jam, aku mulai keteteran. Dipikir-pikir lagi, bersepeda adalah opsi yang kurang efektif. Syahdan, saya berhenti bersepeda dan mencopot rompi anti peluru yang kupakai. Entah berapa kali, aku kebelet ingin berhenti dan istirahat, tapi aku tahu itu tak mungkin aku lakukan. Terbangun di bawah matahari gurun dan tak punya bekal air yang memadai bisa mengancam nyawa. Persediaan airku cukup untuk 36 jam. Seharusnya itu cukup. Namun, di bawah sengatan matahari 37 derajat celsius, perhitungannya berubah total.
Perjudianku membuahkan hasil. Pukul 6 pagi esoknya, aku sampai ke mobil. Aku lalu menyetir sampai 2o KM, menyalakan AC dan tertidur. Sore hari, aku terbangun dan kembali menyetir.
Begitu kembali ke negara asalku, aku mengadakan sebuah pameran guna memamerkan semua hasil jepretanku di Baikonur. Aku sukses berat dan foto-fotoku laris manis. Aku menghabikskan 1.000 euro (setara Rp16,9 juta) untuk pergi Kazakhstan. Setelah pameran selesai, aku untung sampai 20.000 euro (setara Rp338 juta). Jadi, bisa dibilang aku menang banyak.
Namun, empat hari kemudian, aku pulang dan menemukan pintu kondominium terbuka. Aku sadar tempat tinggalku baru saja dijebol orang. Anehnya, kondominiumku tak acak-acakan amat. Yang hilang cuma kamera Nikon besarku yang masih menyimpan foto roket di Baikonur. Siapapun yang masuk ke tempat tinggalku juga mengambil laptop. Selain itu, semuanya aman. Aku yakin pelakunya ikut hadir dalam pameran. Mereka pasti melihat laptop yang kugunakan untuk menampilkan foto-foto Baikonur. Yang ganjil, mereka tak mengambil enam lensa dalam tas kamera yang sama. Kamera cadanganku, Sony A7, juga masih utuh di tempatnya. Sekali lagi, ini benar-benar aneh.
Aku kemudian menelepon polisi. Mereka datang dan mengambil keteranganku. Beberapa hari kemudian, mereka memanggilku ke kantor polisi dan bilang, “Gini deh, ini agak kurang masuk akal karena pencurinya cuma mengambil kamera dan laptop. Kami pikir ini semacam peringatan dari Moskow.”
Polisi juga mewanti-wanti agar aku tidak lagi berurusan dengan orang-orang ini karena akibatnya bisa runyam. Mereka pikir, dan aku sependapat, ini masalah kehormatan Rusia. Mereka seperti kehilangan muka lantaran aku bisa menyelinap salah satu kawasan rahasianya dengan sepeda lipat. Terlebih lagi, Amerika Serikat harus membayar mahal tiap kali hendak mengirim astronotnya ke Stasiun Luar Angkasa Internasional. Jadi, apa yang aku lakukan tak baik bagi bisnis mereka. Sejak saat itu, aku berusaha seminimal mungkin muncul di media. Itu juga alasan aku emoh membeberkan namaku.
Aku bukannya takut. Aku cuma agak teledor. Sejatinya, aku orang yang selalu berpikir positif dan itu adalah modal untuk menjadi fotografer urbex. Petualangku adalah kisah yang luar biasa. Aku sudah beberapa kali menceritakannya pada beberap rekan terdekatku. Pelajaran paling berharga dari semau ini adalah persiapan itu penting. Aku beruntung aku membawa rompi anti peluru dan pepper spray. Aku belajar bahasa Rusia dari “angkat tangan!” kesalahanku yang utama adalah aku tak punya rencana cadangan ketika spot parkirku tak sesuai dugaan. Harusnya ada rencana B. Untunglah, aku cepat berimprovisasi.
Jadi, selalu persiapkan diri. Dan kalaupun ada yang kebelet pergi ke Baikonur, saran saya sih satu: urungkan. Aku malah pernah diminta sebuah stasiun TV untuk menjadi guide sebuah tim ke Baikonur. Mereka berani membayar tinggi. Mereka salah kaprah. Aku bukan seorang pemandu wisata. Aku tak pergi ke Baikonur demi uang. Aku cuma ingin memotret. Itu saja.