Awal tahun ini, brosur iklan ‘Kursus Dulhan’ yang disebarkan di Negara Bagian Hyderabad, India menggemparkan internet. Dengan slogan berbahasa Urdu dan Inggris, selebarannya mempromosikan pelatihan ibu rumah tangga yang digadang-gadang dapat mempererat hubungan dengan pasangan hidup.
“Kenapa cuma dulhan (perempuan) yang diajarkan?” komentar netizen. “Bukankah keharmonisan rumah tangga tanggung jawab keduanya?”
Videos by VICE
Pendiri kursus Dulhan, Ilyas Shamsi, memberi tahu Indiatimes iklannya ditujukan kepada perempuan dan laki-laki. Dia mengatakan hal yang sama kepada VICE. Tapi dari 12 orang yang mendaftar, tak satupun laki-laki mengikuti kursus ini.
Pelatihan ini awalnya berbentuk seminar satu hari, yang kemudian diubah menjadi program kursus tiga bulan karena menurut Shamsi sukses berat.
Sebagai orang yang hobi mencoba ini-itu, aku memutuskan untuk daftar jadi peserta.
The Family Institute belum ada di Google Maps, jadi aku harus mencari sendiri lokasinya. Tengara terdekatnya berjarak satu setengah jam dari tempat tinggalku. Dengan semangat jurnalisme, aku melajukan mobil menuju Tolichowki yang ramai. Di ujung jalan sempit, mobilku memasuki lingkungan perumahan yang sepi. Di sana, aku melihat papan The Family Institute terpasang di depan rumah setengah jadi. Standing banner bertuliskan “Rumah Tangga Harmonis, gimana caranya?” berdiri gagah di dekat pintu. Di bawah tulisan besar itu, tertera ilustrasi pasangan bertengkar dan hati patah serta daftar kursus yang tersedia: Pelatihan Pranikah, Pelatihan Pascanikah, dan Kursus Persiapan Calon Ibu.
Aku masuk ke dalam lobi besar yang dihiasi tembok bilik plastik. Stan pakaian berisi kameez dan mantel, mesin jahit, papan tulis kosong dan kompor dua tungku dipajang di sana. Tak ada tanda-tanda kesibukan di sana. Ruangannya kosong melompong. Di dalam ruangan kecil di ujung lobi, Shamsi dan istrinya Habeeba sibuk main HP.
Dari semua iklan dan promosinya yang berlebihan — seperti menerima 50-60 testimoni setiap harinya — enggak ada tanda-tanda manusia di The Family Institute. Selain aku dan pasutri itu tentunya.
“Kelasnya baru dibuka kalau ada peserta yang hadir,” kata Shamsi dari belakang laptop. “12 orang mendaftar di hari pertama, tapi mereka enggak pernah balik ke sini setelahnya. Mereka enggak mau pelatihan dasar. Yang diinginkan malah pengembangan diri, atau belajar masak hidangan khas Mughlai. Kami sadar sudah melakukan kesalahan setelah 17-18 peserta kami enggak betah di kelas.”
Shamsi menuruti permintaanku untuk memutar trailer singkat penjelasan keseluruhan program kursusnya.
“Selama 20 tahun terakhir, aku mengamati betapa masalah dalam rumah tangga cenderung bersumber dari hal-hal sepele seperti ‘perempuan enggak bisa masak atau bersih-bersih rumah,’” Shamsi memulai. “Itu alasannya kami mendirikan kursus ini.”
Shamsi menyipitkan mata dengan ekspresi gelisah, bagaikan bapak-bapak yang sudah bagus agamanya. Obrolan kami makin lama makin canggung; enggak jauh-jauh dari pernyataan yang menggeneralisasi, senyuman dan cengiran kaku, serta sikap bijaksana palsu.
“Tolong jangan salah mengartikan ucapanku ini, tapi womanizer…eh maksudnya feminis berkomentar ‘Kenapa cuma perempuan yang melakukan [tugas rumah]? Kenapa laki-laki enggak melakukannya juga?’ Dulu aku sering bertanya ‘Kenapa laki-laki harus melakukannya? Kenapa cuma perempuan? Kenapa enggak dua-duanya saja? Lagipula, membagi tugas itu menunjukkan kepedulian.’ Ada yang harus menyapu jalanan. Kalau perempuan bekerja, maka suaminya harus mengurusi rumah tangga.”
Ada enam presentasi dalam bahasa Urdu dan Inggris. Presentasi pertamanya berjudul: Istri Ideal—perempuan yang memiliki Suami Ideal. Presentasi lainnya kira-kira berjudul seperti ini: Tips dan Trik Disayang Suami; Bersyukurlah kepada Suami; Saling Peduli Satu Sama Lain; Bersabarlah; Akui Kesalahanmu; Kontrol Pengeluaran. Isinya berupa pepatah random, pelajaran hidup sampai petunjuk seksis.
Di sisi lain, presentasi untuk laki-laki menjelaskan: ‘ There is Male Inside Female Mr in Every Mrs. He in She. Ini membuktikan laki-laki tak bisa hidup tanpa perempuan. Mantra kebahagiaan: Istri Rumah Malam Hari.’ Presentasi favoritku adalah slide dengan ilustrasi kartun berisi, “Ibu mertua vs Menantu perempuan >>> WWF.”
Ngobrol dengan Shamsi rasanya seperti ngomong sama laki-laki seksis. Kalau kalian para perempuan pernah “dikuliahi” penganut patriarki sejati, pasti tahu rasanya seperti apa. Percakapannya timpang sebelah. Mereka ngotot paling benar dan enggak bisa didebat. Kamu sudah gerah, tapi dikira kalah atau setuju kalau menyudahi ‘diskusinya’.
“240.000 perempuan di India ditinggalkan suaminya,” tukas Shamsi. Dia menjadikannya alasan kenapa perempuan harus banget belajar mengurus rumah. Sebagai orang yang mengaku berpikiran terbuka, kenapa tanggung jawabnya cuma diletakkan pada satu pihak saja? Kenapa laki-laki enggak diajarkan untuk mengurus rumah juga? Kenapa banyak sekali perempuan harus berada dalam situasi semacam itu dengan kemungkinan terburuk ditinggalkan kepala keluarga?
Saat mengetik artikel ini, aku teringat pada asisten rumah tanggaku Anu. Dia tinggal denganku, jadi tahu apa saja yang terjadi di rumah. Suatu hari, aku mengejek suamiku dengan nada bercanda ketika dia keluar rumah pakai baju kurta kebalik. Aku enggak bisa melupakan betapa canggungnya saat Anu menyeletuk, “Kamu enggak boleh kayak gitu ke suami.” Dia istri yang baik, menurut Shamsi.
Anu biasanya senang merayakan hari Diwali, tapi kini dia menyambutnya dengan tangisan. Aku melihat bahunya lebam kebiruan, dan dia meringis kesakitan saat menggambar rangoli. Dia sudah empat tahun mengalami KDRT, dan kami baru mengetahuinya sekarang karena dia enggak pernah cerita apa-apa. Anu rajin masak dan menjahit, itu berarti dia “menghormati suaminya” dong? “Kayak begitu seharusnya ngajarin istri yang enggak bisa dibilangin,” suaminya Sagar menggeram ketika kami tak tinggal diam.
Aku berharap kursus ini hanyalah lelucon belaka, tapi buktinya enggak. Memang enggak ada orang yang rajin ikut program tiga bulannya, tetapi seminarnya sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Shamsi mengaku menjalankan sindikat 100 LSM sekaligus konsultasi media sosial independen. Jika omongannya bisa dipercaya, dia bilang seminarnya pernah diadakan di negara bagian lain. Shamsi punya kanal YouTube, dan diikuti hampir 8.000 orang di Facebook. Berapa banyak orang yang memercayai konsep ini? Kalau percaya, apakah mereka hadir di seminar karena istrinya enggak becus jadi perempuan?
“Nak, kita hidup di masyarakat konservatif jadi harus mengikuti aturan yang ada!” Shamsi berseru. “Kamu enggak perlu menjadi konservatif untuk mengikuti tradisi. Tapi bukan berarti kamu jadi liberal juga. Ada batasan yang harus kamu patuhi. Kamu wajib memahami kehidupan dan batasanmu, serta peran dan tanggung jawabmu baik di rumah dan keluarga maupun untuk negara dan dunia!” Di dunia Shamsi, laki-laki tentu menjadi penentu tanggung jawab itu. Untungnya aku enggak hidup di dunianya. Ibu mertua menyayangiku, begitu juga sebaliknya. Aku bisa meledek suami tanpa perlu takut konsekuensinya.
Shamsi baru 40 tahun, dan dia punya lima anak. Pendapat Habeeba selalu diwakilkan suaminya. Di sana, dia mengajarkan jahit-menjahit. “Semua ini untuknya,” kata Shamsi. “Dia bisa menghasilkan uang tahu? Habeeba, kasih tahu dia kalau kamu punya pemasukan sendiri!”
Program pelatihan ini beneran ada. Aku menghubungi setiap peserta seminar Dulhan pada Januari 2019. Lima perempuan dan lima laki-laki. Tak satupun perempuan yang kuhubungi mengaku datang ke seminar. Ini aneh sekali. Aku melihat nama mereka beserta laki-laki yang mengonfirmasi kehadirannya. Shamsi bahkan menunjukkan foto-foto selama seminar dalam presentasi tadi. Salah seorang perempuan mengira aku meneleponnya karena punya jodoh buat putrinya. Beberapa lelaki yang aku hubungi mengatakan datang bersama istri. Mereka mengapresiasi ‘kuliah’ yang diberikan Shamsi.
Seseorang menjelaskan rumah tangganya baik-baik saja. Ketika aku izin mau ngomong dengan istrinya, dia menyuruhku telepon balik nanti.
Follow Pratika di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE India.