Seumur hidup aku belum pernah melihat hantu. Padahal dua kantor VICE di Jakarta, konon, dihuni hantu. Enggak percaya? Agustus tahun lalu, VICE pernah mengundang seorang paranormal buat berkomunikasi dengan hantu di kantor kami yang baru. Di beberapa titik, kata si paranormal bernama Iwan Setiawan itu, memang jadi tempat nongkrong favorit hantu. Ada perempuan dan anak kecil. Tapi hantunya enggak jahat kok katanya, walau suka iseng dikit.
Entah deh. Beberapa kawan di VICE memang mengaku pernah ‘digangguin’ di kantor. Entah diketawain, entah ada suara menangis, entah melihat hantu impersonating jadi karyawan lain. Tapi yang jelas aku merasa fine-fine aja selama kerja di sini.
Videos by VICE
Aku penasaran, tapi enggak sampai yang ngebet banget pengin ketemu. Maka ketika tahu ada sebuah acara tur memburu hantu keliling Jakarta, aku langsung tertarik buat ikutan. Selain penasaran, aku juga pengin tahu, memangnya di tengah gemerlap belantara beton Jakarta masih ada hantu yang betah tinggal ya?
Sebelumnya aku pernah ikut tur keliling Lawang Sewu, sebuah gedung bekas jawatan kereta api era kolonial di Semarang, yang konon paling angker di seluruh Jawa Tengah. Lagi-lagi aku tak melihat penampakan, walau aku akui itu gedung memang serem banget apalagi bagian ruang bawah tanahnya.
Aku kembali mencoba peruntungan buat melihat hantu dengan mendaftar ke sebuah acara bertajuk Jakarta Mystical Tour. Aku dapat infonya dari broadcast grup WhatsApp. Dari awal pesannya saja sudah membuat ciut nyali.
“PERINGATAN Program trip ini hanya bagi mereka yang punya nyali! 👻😱 Lebih menyeramkan dari bayangan senyum mantan 😅😁”
Tur itu rencananya bakal menyambangi 10 lokasi paling horor di Jakarta seperti Taman Langsat di Jakarta Selatan, lintasan kereta api Bintaro yang pernah jadi saksi kecelakaan paling mematikan dalam sejarah, pemakaman Jeruk Purut yang kondang dengan legenda urban pastor tanpa kepala, serta Menara Saidah – sebuah gedung kosong di jantung Jakarta Selatan yang konon jadi sarang koloni hantu. Tur itu bakal diadakan hari Jumat dari pukul 8 malam sampai 4 subuh.
Hari yang dinanti tiba. Aku sudah siap berbekal jaket tebal (padahal malam kemarau), air mineral, dan alat sensor elektromagnetik buat mencium keberadaan hantu. Sesampainya di tempat kumpul, peserta yang datang ternyata lumayan banyak juga. Mereka datang dari penjuru Jakarta. Tua-muda, perempuan-pria. Semuanya datang demi menjawab rasa penasaran.
Fredi, salah seorang panitia, menyambutku. Acara itu dibikin oleh sebuah agen tur dan travel. Ini pertama kalinya mereka menggagas tur wisata mencekam macam ini. Harga tiket per orangnya lumayan: Rp350 ribu termasuk cemilan dan minum. Fredi mengatakan dia tak menyangka respon masyarakat cukup besar setelah info tur itu disebar ke berbagai grup WhatsApp. Ada 150 orang yang mendaftar dan dibagi dalam tiga kloter. Setiap kloter terdiri dari 50 orang dan berangkat hari Jumat setiap minggunya.
“Sebenarnya ini bukan tur macam uji nyali atau pemburu hantu,” kata Fredi. “Ini lebih buat mempelajari legenda urban yang selama ini beredar yang dikemas dalam format wisata santai. Emang bener di situ angker? Emang ada hantunya? Jadi nanti kita juga ditemani paranormal, supaya enggak ada kejadian aneh-aneh.”
Paranormal yang dimaksud adalah seorang laki-laki bertubuh gempal dengan potongan cepak. Namanya Daud. Tingginya paling 165 cm dan menginjak usia awal 40-an. Sebuah kalung mirip jimat berwarna hitam tersampir di lehernya, menambah kesan angker pada sosoknya yang sudah angker. Gelang dan cincin menghiasi kedua tangannya. Dia memakai baju safari hitam malam itu, bikin aura angkernya berlipat ganda. Sebelum kami berangkat, dia memimpin doa terlebih dulu.
Di luar sudah ada sebuah bus pariwisata yang akan mengantar kami keliling Jakarta. Aku mengambil tempat duduk paling depan bersama dua orang pria lainnya. Lokasi pertama: terowongan Casablanca di Kuningan, Jakarta Selatan.
Fredi ternyata juga merangkap jadi pemandu wisata. Sesekali dia menjelaskan asal-usul kenapa suatu lokasi jadi dianggap angker. Daud kemudian menimpali setiap cerita Fredi, dengan bumbu-bumbu horor.
Terowongan Casablanca, dulunya, adalah bagian dari pemakaman umum Menteng Pulo dan pemukiman warga. Pada 1992, saat dimulai proyek underpass yang menyambungkan Kuningan dengan Casablanca, makam dan rumah-rumah warga digusur.
Ajaib, kata Daud, saat penggusuran ditemukan jenazah yang masih utuh walau bertahun-tahun terkubur. Singkat cerita, ketika terowongan sudah jadi, banyak laporan dari pengendara yang melintas tentang bermacam kejadian ganjil. Lokasi tersebut akhirnya jadi inspirasi film horor Terowongan Casablanca pada 2007.
Jalanan Jakarta masih padat malam itu. Bus hanya melintas tanpa berhenti di lokasi. Jelas saja, bus sebesar itu tentu bakal bikin macet jika berhenti sembarangan. Lampu kendaraan dan terowongan masih menyala terang tak memberi kesan horor secuil pun. Hm, tak ada penampakan hantu terlihat. Daud bilang itu karena cahaya lampu membiaskan ‘sosok’ mereka.
Kami berbelok ke komplek pemakaman Menteng Pulo dan menuju Taman Langsat. Jam menunjuk angka 9. Taman itu sudah sepi. Tak ada angin bertiup. Suasana hening. Daud berhenti di depan pagar samping. Menunjuk ke atas sebuah pohon. “Itu, di atas sana ada kuntilanak,” kalimat Daud menembus keheningan. Semua mata tertuju ke atas. Kamera ponsel diarahkan, berharap dapat menangkap penampakan.
Nihil. Aku tak melihat apapun kecuali gelapnya malam yang membungkus dedaunan rindang. Memang ada satu-dua daun yang bergerak. Daud bilang itu tangan kuntilanak. “Yang bener aja!” batinku. Palingan itu ulah kelelawar atau burung.
Aku mendengar bisik-bisik protes dari beberapa peserta. Sebab tak ada satupun yang melihat dengan gamblang. Daud kemudian sepakat membuka ‘mata batin’ beberapa peserta supaya dapat melihat. Tiga orang peserta lantas dijejerkan dengan mata tertutup.
“Fokuskan pikiran pada satu hal, ingatlah bahwa tak ada satu makhluk pun yang memiliki kuasa selain Tuhan,” kata Daud.
Aku melihat Daud memejamkan mata dengan serius. Membuat gerakan tangan seperti yang biasa aku lihat di film kung-fu. Dia lantas mengibaskan kedua tangannya, seperti gerakan menyibak tirai. Mungkin itu artinya membuka mata hati, pikirku. Mulutnya khusyuk merapal doa. Sejenak kemudian dia menyuruh ketiga peserta membuka matanya. Jantungku berdegup. Semua mata memandang ke arah Daud. Menanti hasil ‘ritual’ barusan.
Blong! Tetap saja mereka tak bisa melihat si kuntilanak.
“Berarti hati kalian belum bersih, makanya belum bisa melihat. Ini dari tangan saya rasakan energinya besar sekali lho dari arah pohon itu,” kata Daud seraya menunjuk ke atas pohon.
Aku semakin tak yakin atas tur wisata ini. Mungkin nanti di tempat lain bakal lain ceritanya, batinku.
Bus kembali melaju menembus jalanan, menuju TPU Jeruk Purut di bilangan Kemang. Pemakaman seluas 9 hektare ini memang melegenda, dan jadi tempat uji nyali orang iseng yang mencari keberadaan si pastor tanpa kepala. Legenda tersebut sudah malang melintang selama berpuluh tahun. Tak luput TPU ini dijadikan inspirasi film. Pada 2006 muncul film horor Hantu Jeruk Purut.
Konon pastor tersebut memegang kepalanya sendiri sambil ditemani sosok anjing hitam. Konon lagi, pastor itu cuma bisa dilihat pas Jumat malam, dan menampakkan diri pada kelompok orang yang jumlahnya ganjil. Ada pula rumor yang mengatakan bahwa kau harus mengelilingi Jeruk Purut tujuh kali. Entahlah, aku tak menghitung jumlah rombongan peserta ini. Tidak pula aku menyia-nyiakan energi buat keliling TPU. Yang jelas aku tak melihat sesosok pastor, malah melihat segerombolan warga yang menyemangati kami.
Sepanjang jalan melewati deretan makam. Daud tak henti-hentinya mengingatkan supaya pikiran jangan kosong. Sebab pikiran kosong jadi gerbang menuju kesurupan, katanya. Aku mencoba memikirkan sesuatu. Tapi malah tak karuan jadinya.
Kami menuju ke sebuah pohon kembar di pinggir areal pemakaman. Dari cerita orang sekitar, pohon itu semacam ‘dikeramatkan’ sebab tinggi dan bentuknya sama. Kami segera mengerubungi pohon itu. Lampu kilat kamera bergantian menyambar. Aku menyalakan alat EMF dan menyorongkan ke arah pohon.
Betul saja, lampu indikator menyala merah, tanda ada gelombang elektromagnetik—yang katanya merupakan tanda keberadaan hantu—yang kuat. Daud bilang ada kerajaan jin di pohon itu. Waduh!
Daud, yang berprofesi sebagai PNS di sebuah kementerian, mengaku punya kemampuan melihat dan berkomunikasi dengan dunia gaib sejak kecil. Waktu SMP dia mulai menyadari kemampuannya yang berbeda dengan anak-anak lain. Saat SMA, dia mulai mendalami ilmu kebatinan. Aku melirik lagi ke arah jimat di leher Daud. Aku bertanya apa gerangan isinya. Daud tak mau menjawab. Dia cuma bilang jimat itu sudah dimiliki sejak SMP.
“Kalau kamu tahu isi jimat ini bisa bahaya,” kata Daud pendek.
Di sela jam kerjanya. Daud jadi paranormal partikelir. Kadang dia dimintai bantuan buat menolong orang kesurupan. Kadang pula dia dimintai tolong untuk ‘membersihkan’ rumah atau gedung dari gangguan jin.
“Hampir tiap hari selalu ada saja yang meminta tolong,” kata Daud saat ditanya seberapa sering menangani perkara gaib. “Tapi baru kali ini saya disuruh memandu tur macam begini.”
Aku berjalan gontai keluar komplek pemakaman. Seorang peserta pria setengah baya asal Jakarta Selatan yang aku temui cuma tersenyum kecut. Dia juga tak punya kemampuan melihat hantu dan merasa sia-sia datang. Tapi dia tidak menyesal. Alasannya ikut tur memang karena iseng.
“Saya memang sudah sering lewat Jeruk Purut,” katanya. “Sudah sering dengar juga soal mitos di sini. Tapi baru ini saya masuk bersama paranormal.”
Berturut-turut rombongan peserta menyambangi rel kereta api Bintaro; Museum Taman Prasasti, Toko Merah, Taman Fatahillah, Jembatan Ancol, dan sebuah rumah sakit yang terkenal dengan suster ngesotnya di Jakarta Pusat; dan terakhir Menara Saidah. Kami menghabiskan 30 menit di setiap lokasi. Kadang kurang dari itu malah.
Jam 3 dini hari, aku tak kuasa menahan kantuk. Kakiku pegal. Badanku tak bisa diajak kompromi setelah seharian ngantor. Mataku terpejam. Ketika bangun, bus sudah sampai di Menara Saidah. Pukul 4 pagi. Aku cuma memandangi gedung itu dari pintu bus sambil merokok. Seram memang. Menara Saidah mirip banget sama gedung di film Ghostbuster saat tim pemburu hantu itu menghadapi makhluk Zuul.
Gedung itu pertama diresmikan pada 2001. Lalu pada 2007 ditutup sebab pondasinya dinilai tidak sesuai spesifikasi, membuat gedung itu berdiri miring. Praktis 12 tahun kemudian gedung itu dibiarkan kosong.
Kata salah seorang penjaga di situ, gedung itu bakal ‘dipotong’ hingga menjadi 12 lantai saja. Tentu saja kami tidak diperbolehkan masuk karena di depan gedung 28 lantai itu bergeletakan alat-alat berat dan bahan material. Daud tak banyak bicara di depan Menara Saidah. Cuma memandang ke atas.
Hampir setiap hari gedung itu kebanjiran pengunjung yang pengin melihat atau merasakan hal ganjil. Akhir September lalu, sempat ada laporan beberapa driver ojol yang kerap mendapat order fiktif di Menara Saidah. Entah orang iseng atau betulan gaib.
Kiki, pria 29 tahun yang duduk di sebelahku, menanyakan pendapatku tentang tur ini. Aku jawab biasa saja, tak ada yang istimewa. Rupanya dia agak kecewa.
“Gue pikir bakal masuk ke setiap lokasi,” katanya. “Kalau cuma gini sih enggak perlu ikut tur. Dateng sendiri juga bisa.”
Aku mengangguk pelan. Aku matikan rokok dan kembali duduk. Rasa penasaranku belum terjawab, mungkin hantu itu betul ada dan tinggal di antara himpitan tembok-tembok beton. Mungkin saja mereka memang cuma mitos.
Sia-sia memang buat orang yang tak memiliki kemampuan melihat hantu tapi ngotot pengin ketemu. Sebab mau ikut tur di manapun, hasilnya sama saja.
Ternyata memang cuma hantu masa lalu yang paling menakutkan. Apalagi hantu komunisme. Hhhh…..
Menulis kata itu saja sudah membuatku bergidik. Lebih mengerikan mana, dicokok aparat karena dianggap komunis, atau melihat penampakan kuntilanak? Aku sih mending mengalami ketemu setan.