Artikel ini pertama kali tayang di Broadly
Tanteku, biasa kupanggil Tante Gita, meninggal secara tiba-tiba setahun lalu di Jakarta. Sesudah mendengar kabar dia wafat, lagu-lagu Maroon 5—band favoritnya—entah bagaimana menurutku terdengar di banyak tempat. Di jalan-jalan yang kulewati, kami mendengar pengamen membawakan lagu “She Will Be Loved” pakai gitar kopong; saat karaoke, satu-satunya album musik yang tersedia hanyalah Songs About Jane; dan stasiun radio yang kami pilih secara acak memutar “Misery” dan “Payphone.”
Videos by VICE
Bagi keluarga saya, semua itu bukan kebetulan belaka. Arwah Gita, menurut keluargaku, yang menyebabkan lagu-lagu Maroon 5 diputar kemanapun kami pergi.
Di Indonesia, negara Tanah Airku, masyarakat secara umum menerima atau setidaknya memercayai keberadaan roh, meski setiap wilayah memiliki kepercayaannya masing-masing. Contohnya di desa pelosok Pulau Jawa. Roh-roh dari era Hindu, ditambah kisah nabi-nabi Agama Islam, bersama kepercayaan animisme penduduk desa hidup beriringan dengan damai. Keyakinan pada hantu-hantu dan makhluk-makhluk supernatural di Indonesia, terutama yang memiliki kaitan dengan populasi muslim di Indonesia-Malaysia, dipercaya berasal dari sistem keyakinan pra-Islam.
Di keluarga saya, kami terbiasa membicarakan soal roh dengan enteng saja—seperti membicarakan resep masakan baru. Cerita-cerita penampakan dan pengalaman paranormal diturunkan dari satu generasi ke selanjutnya, hingga akhirnya melebur dengan keseharian kami.
Ibuku, Antin, sering mengalami sleep paralysis atau yang akrab disebut “ketindihan.” Menurutnya, dia ketindihan saat arwah neneknya sedang berkunjung. “Ibu ngerasanya kayak ditimpa beban berat,” ujarnya. “Biasanya, kejadiannya tengah malam. Pas dilihat sih enggak ada apa-apa, tapi Ibu ngerasanya susah napas. Kayak ada yang dudukin tulang rusuk Ibu. Ibu enggak ngelihat apa-apa, tapi yakin itu Oma.”
“Bukan roh jahat kok,” kata ibu saya menambahkan. “Arwah oma enggak membahayakan, cuma bikin sesek aja. Tapi rasanya seperti dia lagi ngecek keadaan Ibu.”
Tak lama setelah tanteku wafat, sopir kakek-nenek saya mengeluh; dia bilang, rasanya seperti diawasi sosok metafisik.
“Bener deh, Bu Antin,” kata Iwan pada ibuku. “Lampu rumah sering mati-nyala, pintu kamar kebuka-ketutup terus. Ini mah bukan angin, Bu. Ini pasti ada roh yang usil.”
Ibuku kemudian teringat, Oma memang sering usil. Malam harinya dia pelan-pelan meminta Oma untuk berhenti menjahili Iwan. Keesokan paginya, lampu sudah berhenti mati-nyala sendiri.
Menurut pengalaman saya, hantu-hantu Indonesia pada umumnya ramah dan protektif. Mereka adalah arwah orang-orang yang menyayangi kita, yang mencoba membimbing kita. Mereka tidak mewujud, tapi kehadirannya dapat dirasakan. Ibuku, kakek-nenekku, dan sepupu-sepupuku selalu bisa merasakan kehadiran roh.
“Umat muslim memang mengimani adanya arwah karena membaca dan meyakini ayat-ayat Al-Quran, yang menegaskan keberadaan dunia lain,” ujar Dr. Muhamad Ali, akademisi bidang Kajian Islam dari University of California, Riverside. “Ketika Tuhan menciptakan manusia, Tuhan meniupkan roh-Nya. Roh akan terus ada meski tubuh fisik hancur setelah mati. Roh adalah zat yang terus ada, tapi melampaui pemahaman manusia.”
Islam pertama kali menyebar di seluruh Indonesia mulai pertengahan Abad ke-9 hingga Abad ke-13. Kini, Indonesia merupakan negara dengan populasi umat muslim terbesar di dunia (tepatnya, mencapai 87.2 persen dari seluruh populasi penduduk.) “Masyarakat Muslim secara umum percaya pada roh,” ujar Dr. Ali saat saya hubungi. Menurutnya, roh berbeda dari jin—yang kerap digolongkan sebagai hantu atau momok. “Roh adalah arwah, sementara jin merupakan pengejawantahan fisiknya. Semua makhluk hidup memiliki roh.”
Kakek dan nenek buyut saya biasanya memberikan jin sajian, atau nyajen, supaya patuh pada generasi-generasi selanjutnya. “Sekali waktu, mbaknya kakek buyutmu iseng nyobain kopi sajen,” ujar ibuku datar. “Jadi ya jinnya ngejar-ngejar dia sampai dia sembunyi di kolong tempat tidur, dan tetep enggak mau pergi. Terus dia jadi gila deh.”
Akan tetapi, meski bangsa-bangsa dengan mayoritas penduduk Muslim memercayai keberadaan roh dan jin, tradisi budaya tiap-tiap negara memengaruhi cara masing-masing negara memerlakukan hantu.
“Malaysia, Thailand, dan Filipina juga percaya pada roh. Perbedaannya terletak pada praktik-praktik, asimilasi roh lokal, setan, ilmu gaib, patung-patung, dan seterusnya. Gagasan jin menyebar luas di Indonesia, namun berasimilasi dengan kepercayaan lokal soal roh, seperti dewa-dewi Hindu,” ujar Dr. Ali. “Inilah mengapa kepercayaan tersebut mendarah daging di Indonesia.”
Tak sedikit warga Indonesia sampai sekarang, baik yang tinggal di daerah pedalaman maupun di metropolitan, meminta bantuan ustaz setempat buat mendoakan usaha dan keluarga.
“Orang bisa merasakan kehadiran roh lewat mimpi-mimpi dan juga emosi,” ujar Nur Arif dari Nahdatul Ulama. “Kami menghormati roh-roh karena kami percaya mereka sakral, dan merupakan kekuatan penghubung antara makhluk fana dan Tuhan. Setelah kita mati, roh akan kembali ke Tuhan, sedangkan tubuh kembali ke tanah.”
Percaya pada roh membuat keluarga saya lebih merasa lebih damai setelah kepergian tanteku. Sepupuku Jade, misalnya, merasa dikelitik saat tidur. “Ada perasaan aneh di sisi perutku,” ujarnya. “Aku tahu pasti itu Mama.” Adik Jade, Ryan dan Geo, juga merasakannya. “Itu pasti Mama,” kata mereka.
Setelah Tante Gita meninggal dunia, ibuku menemukan jepit rambut yang telah lama hilang. “Makasih ya, udah bantu cariin,” bisiknya. Nenek saya masih mencium parfum Tante Gita di sudut-sudut ruangan yang tak semestinya. “Itu pasti Gita,” ujarnya.
Saya melewatkan pemakaman Tante Gita: dalam Islam, kita percaya bahwa jenazah harus dikebumikan dalam 24 jam setelah kematian supaya keluarga yang ditinggalkan dapat segera berdamai. Saya tidak bisa terbang 12,000 km dari London ke Jakarta tepat waktu. Karena itu, saya sempat kesulitan menerima kepergiannya. Saat saya mengunjungi makamnya untuk kali pertama, pikiran saya menolaknya. Rasanya sepet.
Berbeda dari anggota keluarga lainnya, saya tidak bisa dengan mudah merasakan kehadiran roh Tante Gita. Saya tak pernah dikelitik olehnya, juga tak pernah dikunjungi dalam mimpi. Padahal saya kangen—dia adalah tante saya satu-satunya, adik ibuku satu-satunya, yang menjadi bagian besar dalam hidup saya.
Tante Gita adalah kerabat terdekat yang saya miliki selain ibuku. Anaknya, Jade, lebih tua empat bulan dari saya, dan kami akrab sekali. Kami berdua menyaksikan ibu-ibu kami melalui patah hati, perceraian, dan mengasuh kami. Tante Gita, jade, Ryan, Geo, dan kakek-nenekku adalah keluargaku.
Saya percaya pada roh. Tapi karena roh Tante Gita tidak kunjung hadir, saya jadi sinis. Apakah keluargaku percaya pada roh supaya mampu berdamai dengan kepergiannya? Apakah kepercayaan mereka pada roh merupakan tanda mereka tidak bisa move on?
Saya bertanya pada Dr. Risatianti Kolopaking, profesor psikologi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, soal apakah kepercayaan pada roh dapat memengaruhi cara seseorang berduka. Menurutnya, berlawanan dari perkiraan saya, kepercayaan kuat pada roh bukan menunjukkan penyangkalan, namun justru penerimaan.
“Memilih, betapapun sadar, untuk berkomunikasi pada roh seseorang biasanya merupakan perilaku yang sehat dalam mengatasi duka,” terangnya, merujuk pada sebuah riset yang menunjukkan bahwa teknik-teknik religius dalam mengatasi duka dapat membantu mengurangi gejala depresi. Penelitian lainnya menyimpulkan bahwa ajaran Islam dapat membantu seorang Muslim berdamai dengan kejadian-kejadian tragis dalam hidup mereka. “Itu artinya mereka telah menerima bahwa wujud fisik seseorang telah tiada, namun mereka tetap bisa terhubung secara spiritual. Berbicara pada roh bukan bentuk penyangkalan, melainkan cara berdamai dengan kehilangan.”
“Supaya bisa peka terhadap roh-roh, seseorang harus bisa menerima bahwa pengejawantahan fisik orang tersebut telah hilang,” ujar Dr. Risa pada saya. “Ya ini PR buat kamu. Kamu masih berada di tahap penyangkalan, sementara keluargamu sudah ikhlas.”
Lagipula, roh tidak bisa terus-menerus berada di dunia fisik kita: roh hanya bisa bersama kita sebentar setelah waktu kematian. “Kita percaya bahwa rohnya bisa bersama kita selama 40 hari setelah kematian seseorang,” ujar Pak Nur, pemimpin spiritual di Nahdlatul Ulama. “Setelah itu, roh pergi ke tempat lain, ke sebuah alam yang kita sebut barzakh untuk menunggu.”
Ibuku bilang Tante Gita mengunjunginya tiap malam lewat mimpi pada bulan-bulan pertama setelah kematiannya. Dia seringkali terbangun lalu menangis. Kini, setahun setelah itu, ibuku bilang kunjungannya jadi jarang. “Waktu Ibu ketemu dia di mimpi, rasanya damai,” ujar Ibu.
“Ada perasaan damai. Dia sudah tenang. Ibu jadi lebih lega.”