Sudah lima tahun kami berpacaran. Seharusnya itu tak menjadi dasar pengambilan keputusan menikah. Toh, kami masih sama-sama ingin pelajari pribadi satu sama lain lebih dalam. Kami paham menikah bukan keputusan asal ketok palu. Nyatanya orang tua berkata lain. Dorongan menikah datang begitu kuat dari mereka. Tak mungkin dibantah. Kami pun menikah di sebuah gereja di utara Tapanuli, Tarutung, Sumatra Utara.
Umur kami terpaut tujuh tahun. Aku 24 tahun, sedang ia menginjak 31 tahun saat kami menikah. Seluruh persiapan dilakukan tak lebih dari delapan bulan. Cepat sekali, bukan? Waktu yang sempit tak pernah jadi masalah untuk aku dan mantan suami. Sebaliknya, masalah demi masalah datang setelah pesta usai; kala makanan habis dilahap, para tamu melenggang pulang, riasan dihapus tuntas. Hidup pernikahan kami nyatanya tak lebih lama bertahan dibanding waktu yang habis untuk menyiapkan serba-serbi pestanya.
Videos by VICE
Setelah menikah, muncul pikiran dan rasa ragu. Aku yakin merasa tak siap, dia pun agaknya belum siap. Seakan kami dipaksa menjalani kehidupan pernikahan ini. Awalnya, kita manut saja sama anjuran orang tua. Padahal untuk menjalaninya tentu tak sederhana. Selama delapan bulan menikah, paling hanya dua bulan pertama, artinya ketika bulan madu, pernikahan kami adem ayem. Setelah itu semakin banyak saja masalah yang ada. Beda pendapat kami berdua semakin tak bisa tertolong. Dulu sewaktu pacaran, tiap beda pendapat atau berantem, paling seminggu bisa kelar lalu baikan lagi. Nyatanya sesudah menikah proses macam itu tak bisa kami lakukan.
Selain itu, banyak masalah internal keluarga harus kami telan. Masalah kecil datang, lalu berujung masalah besar. Belum lagi keluarga yang acap kali datang mencampuri rumah tangga kami. Status menikah yang mulanya bahagia, kini berbalik terasa berat bagi kami.
Memutuskan bercerai tak pernah mudah bagi kami. Kiat-kiat mempertahankan pernikahan pun aku praktikkan. Kalau saja ada hal yang boleh ku korbankan untuk mempertahankan hubungan, pasti aku lakukan. Sayang, pernikahan tak bisa hanya dijaga sepihak. Keributan berulang kali mengadang. Semakin lama, aku semakin sering silih pendapat dengan keluarganya. Segalanya jadi terasa lebih berat karena aku dan mantan suami ‘tak boleh’ tinggal berdua saja. Iya, aku harus menetap bersama mertua. Jika sudah begini, bagaimana bisa kami fokus menjaga pernikahan jika kami tak diizinkan hidup mandiri bedua? Kalau dipikir-pikir, ternyata diri kami belum menjadi rumah tangga baru yang satu. Kami masih rupa dua orang yang terikat dengan keluarga masing-masing.
Mau kayak gini sampai kapan? Aku dan mantan suami sama-sama sepakat, keputusan berat harus diambil. Kami memutuskan bercerai.
Penolakan keluarga tentu saja ada. “Coba pertahankan dulu,” kata keluarga besarku. Aku ceritakan seluruh masalah ke papa, mama, dan kedua kakakku. Mereka yang paling aku percaya. Berulang kali lagi aku coba bertahan, tetapi nyatanya keadaan tak kunjung berbalik. Aku, mantan suami, dan keluarga kami masing-masing pun akhirnya paham ini tak bisa dipertahankan.
Aku lebih banyak cerita ke keluarga inti saja. Jarang cerita ke keluar. Aku juga tidak mengkonsultasikan masalahku ke gereja. Aku merasa malas karena merasa hanya akan jadi bahan omongan orang-orang. Belum tentu mereka mengerti yang mereka alami. Aku pun cuma bercerita ke satu dua temen yang paling deket, semacam sharing saja.
Perceraian ini tak pernah terasa mudah. Aku tahu betul, tak sepatutnya seorang Katolik bercerai. Pernikahan itu satu kali seumur hidup. Pernikahan itu sakral. Sumpah, aku tahu betul dan menyekapati doktrin tersebut. Ada pergelutan iman yang sangat dalam selama aku harus menjalani perceraian ini. Apalagi umat Katolik yang nekat bercerai seringkali dipersamakan pezina dan terancam tak diperbolehkan menerima komuni.
Di sisi lain, pemimpin gereja Katolik sebetulnya berubah sikap soal perceraian. Paus Fransiskus pada 2014 menerbitkan beleid yang menyederhanakan proses perceraian penganut Katolik. Melunaknya Tahta Suci untuk topik kontroversial ini tidak otomatis membuatku lebih mudah melalui perceraian.
Selama melakoni proses bercerai, aku lumayan stres. Sering banget kalau di rumah, aku merasa tak mau sendiri. Sebisa mungkin, aku ingin ditemani kakak. Aku beberapa kali juga suka pulang ke rumah di Solo sendirian. Supaya terasa bisa lepas dari masalah di Jakarta.
Tiap kali rasa kalut datang, aku selalu mengambil jam makan siangku untuk duduk dan berdoa di Goa Maria Gereja Santa Theresia, Menteng, Jakarta Pusat. Benarkah jalan yang kuambil? Haruskah aku sudahi pernikahan ini?
Demi apapun, aku rela korbankan hal apapun yang bisa ku korbankan untuk mempertahankan pernikahan ini. Namun, semakin sering aku berdoa, rasanya aku semakin ikhlas melepasnya. Inikah jalan yang terbaik?
Ketika berdoa di Goa Maria itulah, rasanya aku bertambah ikhlas. Aku semakin yakin jadinya bila ini jalan yang diberikan Tuhan. Oleh Tuhan, aku dibantu semakin siap. Sudahlah dijalani saja perceraian ini.
Keputusan sudah bulat. Proses persiapan sidang perceraian memakan waktu yang cukup lama. Bayangkan saja, aku harus bolak-balik ke RT dan RW, Kecamatan, hingga Kantor Wali Kota untuk mengurus surat perceraian. Setelah enam bulan lamanya mengurus seluruh keperluan perceraian, aku dan mantan suami akhirnya menjalani sidang di Pengadilan Negeri pada Februari 2014. Tiga kali sidang, tiga kali ketok palu, dan pernikahan kami yang masih berumur 1 tahun 4 bulan itu pun usai. Kami resmi bercerai.
Kini, empat tahun sudah aku bercerai, menyandang ‘status’ baru, dan menghidupi lembar kehidupan berbeda. Aku sudah bisa ikhlas menerima masa laluku.
Ah, Paskah telah tiba. Aku teringat masa merayakan Paskah bersama keluarga—hmm, maksudku, yang dulu pernah menjadi keluarga. Kini semuanya memang sudah berbeda. Tapi aku selalu percaya, selalu ada titik terang di setiap Paskah.
Iya, aku percaya itu.
Cerita ini disarikan dari wawancara mendalam yang telah disunting agar lebih ringkas dan nyaman dibaca.