Publik kadung hafal, media sosial terbukti efektif memaksa otoritas bergerak cepat menangani kasus kriminalitas yang tadinya mangkrak. Tak terkecuali dalam kasus kekerasan seksual. Sejumlah kasus kekerasan seksual bahkan berhasil dibawa ke jalur hukum, mulanya karena postingan medsos. Tak ayal, kerja ekspos-mengekspos di internet ini kadang jadi tumpuan pembela korban ketika tak puas dengan otoritas.
Belakangan, muncul “inovasi” untuk mengekspos predator seksual ini. Beredar akun Instagram bernama @ugm.cabul yang menyatakan akan khusus mengunggah laporan kekerasan seksual di lingkup Universitas Gadjah Mada. Akun tersebut masih baru dan bahkan belum mengunggah satu pun postingan seperti akun sejenis, namun keberadaannya sudah memicu diskusi.
Videos by VICE
Di kolom komentar, warganet berdebat apakah akun semacam ini bermanfaat bagi korban. Juga ada pertanyaan lanjutan seperti: bagaimana cara paling tepat agar pengungkapan kasus kekerasan seksual tidak malah membangkitkan trauma korban? Bagaimana cara menghindari akun semacam ini disalahgunakan?
Untuk mendapat perspektif korban, VICE lantas menghubungi Noval Setiawan, pendamping LM, penyintas kasus kekerasan seksual di Universitas Riau. Kepada Noval kami meminta pandangannya tentang fenomena ini.
Pertama-tama, Noval melihat gerakan mengekspos pelaku sebagai bentuk kekecewaan pada relasi kuasa yang timpang dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Menurutnya, akun semacam @ugm.cabul bisa jadi dibuat untuk mendorong otoritas yang menangani kasus, agar menciptakan ruang aman bagi penyintas.
Noval sendiri mengakui, tekanan dari publik sangat bermanfaat dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual. “Dalam hal mendorong penindakan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual, itu [ekspos media sosial] cukup berpengaruh, juga untuk meningkatkan awareness dan perhatian publik terhadap kasus kekerasan seksual. Publik harus diikutkan dalam mendukung penyelesaian kasus,” ujar pengacara publik dari LBH Pekanbaru itu kepada VICE.
Ia memberi catatan untuk akun medsos khusus ekspos predator seksual: admin wajib mendapat persetujuan korban sebelum mengunggah konten predator.
“Memposting pelaku tentu harus dengan persetujuan korban dan melakukan verifikasi informasi yang didapat. Jangan sampai men-trigger kembali trauma yang dialami oleh korban. Publik juga harus mengawasi, sumber harus fakta yang valid dan telah diverifikasi dan persetujuan korban,” tambahnya.
Idealnya, imbuh Noval, postingan di akun macam itu adalah kasus yang sudah dalam proses penanganan dari institusi berwenang.
Tentu saja, inisiatif-inisiatif jenis ini punya risiko yang sudah bisa ditebak: dilaporkan balik pakai UU ITE pasal pencemaran nama baik. Advokat Nelson Simamora yang kami hubungi mengonfirmasi potensi hukum ini.
Namun, Nelson melihat ekspos tetap penting dilakukan agar lebih banyak orang tahu dan mengambil sikap atas kekerasan seksual. Setelah publik tahu, harapannya tergalang solidaritas untuk korban, mengingat kasus kekerasan seksual sulit diadvokasi secara hukum karena kendala relasi kuasa, bukti lemah, dan ketiadaan saksi.
“Urusan [UU ITE] itu nantilah. Kalau kita berkutat pada risiko, justru advokasi-solidaritas akan jalan di tempat dan kita akan begini-begini saja. Risiko ada, tapi kalau publik bersama korban, pasti penegak hukum akan keder juga. Bisa mungkin nanti admin media sosialnya akan memakai inisial saja, tapi nama kampus dan jurusannya disebutkan lengkap. Ada banyak cara [untuk menekan kemungkinan dilaporkan UU ITE],” ujar Nelson kepada VICE.