Hobi

Butuh Hobi Baru? Tak Ada Kata Terlambat Menekuni Kerajinan Tanah Liat

Tak sedikit orang meninggalkan hobi masa kecil mainan clay setelah mereka dewasa, karena takut dianggap kekanak-kanakan.
Hilary Pollack
Los Angeles, US
mangkuk keramik
Foto: Špáta via Pixabay

Grow up, dong!” adalah hinaan paling menyebalkan, yang biasanya ditujukan kepada orang dewasa yang masih sibuk meributkan hal-hal enggak penting. Tapi sekarang, aku enggak mau jadi orang dewasa sama sekali. Sejak swakarantina, aku baru menyadari kebiasaan dan hobi waktu kecil bisa sangat terapeutik saat dilakukan ketika dewasa. Jadinya aku ogah memusingkan masalah dunia yang terus berdatangan, dan lebih suka melakukan hal-hal sepele yang bikin hati senang. Salah satunya seperti main tanah liat.

Iklan

Semasa kecil dulu, ibu enggak pernah setiap kali aku dan saudara laki-laki mengubah ruang makan kami menjadi istana clay. Kami suka membuat restoran mini yang menjual burger dan hot dog, atau toko baju yang petugasnya (diberi nama seperti Percy dan Furbus) memakai kostum bunga atau koboi. Kami bahkan pernah membentuk dua miniatur bintang pop bernama Beaver Deluxe dan Beaver Supreme. Kenapa namanya seperti itu? Karena mereka berang-berang.

Aku enggak ingat tepatnya kapan kami berhenti main clay, tapi kemungkinan saat menginjak umur sembilan atau 10 tahun. Namun, semuanya berubah satu bulan lalu. Aku menyentuh kembali mainan yang sudah lama ditinggalkan.

Oke, sejujurnya aku pernah ikut kelas kerajinan keramik di studio POT tahun lalu. Itu pengalaman yang sangat menyenangkan. Hasil ciptaanku lucu-lucu banget!

1593637812494-IMG_0142

Aku bisa bikin mangkuk sebagus ini berkat bimbingan pelatih Amber di POT.

Tapi sayangnya, aku harus menyewa studio keramik kalau ingin menekuni kerajinan ini. Ditambah lagi, peralatannya sudah dipakai orang lain. Mengingat saat ini sedang pandemi, latihan ke studio keramik bukan ide yang bagus. Jadilah aku beralih ke tanah liat. Alasanku melakukannya pun simpel saja. Aku iseng ingin mengerjakan sesuatu, dan penasaran akan seberapa kreatif diriku nanti saat membentuk clay. Yang paling penting lagi, bermain clay bisa mengalihkan perhatianku dari berita-berita buruk dan drama sosmed yang tak ada hentinya. Aktivitas ini juga mengingatkan seperti apa rasanya bisa membuat sesuatu yang memang kita sukai, tanpa memedulikan apa kata orang lain.

Iklan

Aku pribadi habis bikin tiga asbak/wadah bermotif catur, berhiaskan piña colada dengan motif macan tutul dan bunga kembang sepatu, dan bergambar emoji tersenyum. Selain itu, aku juga bikin kepala serigala yang dicat warna biru keunguan.

1593637803518-IMG_7177

Abaikan saja perintilan dan alat makan plastik yang memenuhi meja makanku.

Aku memakai clay merek Sculpey, masih sama seperti dulu. Clay ini enggak terlalu mahal, tersedia dalam berbagai pilihan warna, dan bisa dipanggang pakai oven biasa. Tapi kali ini, aku memilih clay warna putih supaya bisa dicat sendiri. Setiap goresan yang tergurat di permukaan clay mampu menenangkan pikiranku.

Clay polimer lebih enak digunakan karena bisa berubah jadi plastik, yang artinya lebih tahan lama, bisa diwarnai dengan akrilik, dan enggak gampang pecah atau retak. Selain itu, sisa-sisa yang menempel juga mudah dibersihkan.

Intinya, mainan clay melatih kita untuk berkreasi sesuai keinginan sendiri. Kita melakukannya karena senang, bukan untuk dipuji atau apalah itu. Jadi enggak masalah sama sekali kalau hasilnya kurang sempurna atau enggak sebagus yang dijual di pasaran. Karena pada dasarnya, apa yang diciptakan dari hati hasilnya pasti akan bagus juga.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US