Ada sebuah toko online yang memperdagangkan beruang, lynx, sampai unta Baktria layaknya jualan baju. Punya uang banyak? Kamu bisa beli sloth dengan harga $6.000 atau Rp90 juta. Atau kamu suka Walabi? Kamu cukup mengeluarkan $2.500 atau Rp37 juta.
“Dijual anak Beruang Cokelat Kodiak berumur tujuh bulan dan diberi makan pakai botol,” demikian bunyi sebuah iklan online. “Betina. Diberi makan pakai botol, tapi tali kekangnya sudah rusak. Tenang saja, beruang ini jinak!!! Biasa dipakai foto-foto setiap hari, dan sudah sering ditangani. Beruang ini benar-benar unik!”
Videos by VICE
Hewan peliharaan eksotis memang tidak murah, tetapi permintaannya semakin meningkat. Rasanya, orang tajir dan terkenal zaman sekarang wajib memiliki hewan eksotis dalam hidupnya. Di situs media sosial seperti Instagram dan Tinder, harimau dan cheetah yang dirantai dipamerkan bersama Lamborghini, tas Louis Vuitton, dan kapal pesiar mewah—aksesori mahal yang dimiliki segelintir orang saja.
Mike Tyson dikabarkan pernah mengeluarkan uang sebanyak $20.000 atau lebih dari Rp300 juta untuk mendapatkan tiga ekor harimau Bengal. Paris Hilton pernah memasukkan seekor kinkajau, yang diberi nama “Baby Luv” ke dalam rombongannya pada 2016 lalu. Sedangkan Justin Bieber pernah membeli monyet capuchin, kemungkinan besar dengan cara ilegal. Malangnya, monyet capuchin itu ditinggal begitu saja oleh Bieber bersama petugas bea cukai di Kota Munich, Jerman.
Jadi, bisa dibilang, hewan eksotis adalah mainan baru khusus orang-orang super tajir karena hanya merekalah yang sanggup menjalankan roda industri bernilai jutaan Dolar ini. Pertanyaannya kemudian, apakah manusia sudah sejak dulu mengasosiasikan status mereka dengan hewan peliharaan miliknya, atau ini cuma tren yang muncul belakangan?
Dan satu lagi, kenapa sih orang super tajir enggak puas memelihara hewan yang lebih murah, seperti kucing atau anjing gitu?
“Semuanya ada hubungannya dengan ego, sesederhana itu,” kata Lisa Wathne, manajer satwa liar di Humane Society of the United States. “Terutama pada orang yang doyan merantai harimau atau membiarkan ular melingkar di lehernya. Orang-orang macam ini lebih memikirkan dirinya sendiri, ketimbang hewan eksotis yang mereka miliki.”
Ribuan tahun sebelum konsep kebun binatang dikenal manusia, hewan-hewan yang aneh, menawan sekaligus liar hanya bisa dipelihara oleh kaum ultra elit. Bagi orang-orang ini, hewan-hewan itu bukan sekedar koleksi peliharaan biasa. Satwa-satwa ini dikumpulkan untuk mewujudkan impian fantastis mereka: menciptakan Taman Surga di Bumi.
Mari kembali ke masa kira-kira 3.500 tahun SM. Hierakonpolis, ibu kota Mesir saat itu, pernah memiliki tempat penampungan hewan eksotis hasil tangkapan. Ragam hewan yang disimpan di sana bermacam-macam: dari gajah, kuda nil, hartebeest hingga auroch yang kini sudah punah. Semua hewan ini jelas bukan milik rakyat jelata. Semua adalah koleksi berharga bangsawan Mesir kala itu.
Tonton dokumenter VICE mengenai kebiasaan berbahaya orang tajir Timur Tengah memicu harimau dan kucing besar lainnya:
Pompey, seorang jenderal masa Romawi Kuno, konon pernah menggiring 600 ekor singa dan 20 gajah ke dalam Colosseum untuk diadu sampai mati. Kaisar Mongol Kubilai Khan, mengacu catatan perjalanan Marco Polo, memelihara macan tutul, harimau, cheetah, gajah dan sekitar 200 spesies burung di taman pribadinya. Lalu, pada 1210 Kebun Binatang Kerajaan didirikan di Tower of London. Tujuan? Apalagi kalau bukan menyediakan berbagai hewan eksotis untuk hiburan keluarga kerajaan Inggris.
Banyak masyarakat adat di seluruh penjuru dunia yang memperlakukan hewan tertentu dengan hormat atau bahkan memujanya. Suku Awá yang mendiami kawasan hutan Maranhão, Brasil, terbiasa memelihara coatis, monyet capuchin dan monyet howler. Burkitshi, para pemburu dari Kazakhstan, dikenal karena hubungan unik mereka dengan elang emas asli Asia Tengah.
Bagi sebagian kelompok, “binatang, sejumlah tumbuhan dan beberapa obyek meningkatkan status moral pemiliknya. Bagi mereka, semua binatang hidup secara independen dan wajib dihormati,” ujar Dr. Eugene Hunn, seorang etnobiologis dari University of Washington, seperti yang dilansir oleh New York Times. “Ini jelas jauh berbeda dengan praktek pemeliharaan hewan masa kini, yang mereduksi hewan peliharaan menjadi seorang anak.”
Meski demikian, sejumlah organisasi advokasi hak-hak hewan menyatakan bahwa kecenderungan sejumlah orang memelihara hewan eksotis tak sama sekali melanggar etika, malah sebaliknya bermanfaat bagi kelangsungan hidup hewan liar.
ROXANO, kependekan Responsible Exotic Animal Ownership, misalnya menyatakan: “Penangkapan hewan liar untuk dipelihara telah menyelamatkan banyak hewan dari kepunahan karena telah menambah jumlah hewan tersebut. Di sisi lain, ini mengurangi tekanan terhadap spesies hewan tersebut di alam liar. Pada akhirnya, domestifikasi hewan liar bisa menyelamatkan keberadaan hewan itu sendiri.”
Kelompok pembela hak-hak hewan ini juga berpendapat bahwa hanya hubungan personal yang dekat dengan hewan liar yang bisa menyelamatkan eksistensi hewan tersebut. Implikasinya, ROXANO menganggap sirkus dan kegiatan pameran hewan-hewan liar berfaedah bagi pengunjung dan hewan di dalamnya.
Demi memahami industri hewan peliharaan eksotis, yang kadang berada di area abu-abu antara industri legal dan pasar gelap, saya menghubungi beberapa penjual hewan yang cukup punya nama di jagat internet. Saya ingin tahu bagaimana mereka dapat barang dagangan mereka, siapa saja pelangggannya dan segampang apa sih beli hewan eksotis, kalau kocek kita cukup tebal.
Dari enam penjual yang saya hubungi lewat telepon, tak ada satupun mau menjawab pertanyaan di atas. Sebagai catatan, orang-orang yang saya hubungi adalah makelar hewan berlisensi USDA. sebagian dari mereka mengaku bisa diajak ngobrol jika kita berniat memiliki hewan peliharaan yang kurang umum. Salah satu makelar, seorang perempuan dari Florida yang mengkhususkan diri menjajakan monyet squirrel, mengatakan bahwa dia hanya jadi makelar bagi orang yang mencari hewan eksotis yang banyak dijumpai hutan Amerika Tengah dan Selatan itu. Perempuan ini menolak memberikan keterangan lebih lanjut karena, menurut pengakuannya, hewan-hewan eksotis ini telah “melewati perjalanan udara yang kurang mengenakan.”
Saya lantas mencoba cara lain. Kali ini, saya mengirim email pada beberapa penjual lain, yang saya jumpai di laman website yang sama. Dalam email itu, saya berpura-pura hendak membeli satu satwa eksotis. Ternyata, email saya dibalas dalam satu hari. Beberapa makelar bahkan langsung membeberkan harga dan ketersedian hewan yang saya cari. Hanya satu orang yang mau repot-repot menanyakan apa saya pernah memelihara hewan “eksotis” sebelumnya.
“Tak ada yang pernah mencatat berapa jumlah hewan eksotis yang dipelihara di AS. yang kita miliki cuma perkiraannya saja,” imbuh Wathne. Menurut estimasi yang paling bisa dipercaya, saat ini ada sekitar 500-700 harimau yang dijadikan peliharan di seantero Negeri Paman Sam dan kurang dari 400 di antaranya berada di kebun binatang resmi. Untuk primata, angkanya bisa mencapai 15.000, bahkan mungkin bisa lebih dari itu.
“Dalam industri perdagangan hewan, monyet dijual sebagai pengganti anak. Makanya, pemiliknya kerap memakaikan popok. Primata seharusnya bergelantungan di tubuh induknya. Tapi, lantaran sudah dipisahkan dengan ibunya dari kecil, hewan itu mau saja merangkul siapapun yang menggendongnya.”
Lantas, kenapa manusia (terutama mereka yang tajir) bisa begitu tertarik sama hewan-hewan eksotis? Jawabannya atas pertanyaan ini ternyata sama bikin mumetnya dengan sejarah evolusi manusia. Beberapa antropolog berpendapat interaksi sosial antara manusia dan binatang, misalnya melalui praktek pemeliharaan, memungkinkan kita mengembangkan pengetahuan tentang penggunaan perkakas sehari-hari dan biologi. Serigala dipercaya sebagai hewan yang pertama kali didomestifikasi oleh manusia, sekitar 30.000 sampai 10.000 tahun silam di kawasan Eurasia. Sejak saat itu, manusia dan serigala telah menjalani hubungan yang saling menguntungkan.
Terdapat pula dugaan bahwa memelihara hewan memiliki efek terapeutik psikologis pada manusia, meski belum betul-betul terbukti secara ilmiah.
Tapi saya menduga salah satu daya tarik utama memelihara hewan eksotis, entah itu singa atau beruang, justru terletak pada fakta bahwa hewan-hewan ini sukar dijinakkan. Meski masih berkerabat dekat, singa tak punya gen sebagai hewan peliharaan layaknya kucing. Tak seperti anjing, beruang kunjung jadi jinak apalagi manis setelah dipelihara oleh manusia. Hewan-hewan eksotis ini kerap langka. Namun, yang lebih penting, hewan-hewan ini adalah binatang.
Barangkali bagi mereka yang duitnya tak punya nomor seri, sisi liar dari hewan eksotis adalah komoditas tersendiri. Selama beberapa milenium, manusia adalah makhluk paling dominan di Bumi, meski kita baru belakangan ini benar-benar menaklukan bumi. Alhasil, apa coba yang lebih menggiurkan dari hewan liar yang mengingatkan kita akan begitu berkuasanya manusia di planet ini?
Jadi, kalau kalian punya harta yang cukup melimpah, kalian bisa saja membangun kerajaan hewan kalian sendiri. Tentu saja, kalian yang jadi rajanya. Menyedihkan memang, tapi kurang mewah apa coba?
Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard