“Pulang ke Indonesia itu overrated, ya,” ucap Briani* memulai perbincangan bersama VICE.
Mengacu kontraknya, jabatan Briani adalah asisten peneliti. Tiga tahun terakhir, ia melakukan kerja penelitian untuk sebuah institusi pendidikan bergengsi dalam negeri. Dengan nada kesal, Briani menceritakan sulitnya menghapus kata “asisten” di jabatannya karena alasan administratif.
Videos by VICE
Aturan lembaganya: peneliti haruslah dosen. Perempuan 38 tahun itu mesti puas mentok dilabeli sebagai “asisten” dengan kontrak kerja tahunan sebagai konsekuensi keengganannya mengambil tugas mengajar mata kuliah.
Sebagai lulusan sekolah pascasarjana di Amerika Serikat, kegemaran Briani meneliti terbentur tembok administrasi. Briani bersedia menceritakan keluhannya ini kepada VICE asal identitasnya tak dituliskan detail. “Jadi, kami para asisten peneliti udah ada yang hampir doktor, banyak yang S-2, tapi jabatan tetap asisten peneliti. Enggak bisa di-hire sebagai peneliti non-dosen, enggak ada [aturannya],” ungkapnya. “Jobdesc-ku peneliti. Tapi, di atas kertas yang peneliti itu harus dosen, aku asisten. [Padahal] aku yang kerja.”
Briani tanpa pikir panjang mau saja berkarier jadi peneliti di luar negeri, masalahnya ada alasan keluarga yang bikini a harus menetap di Jakarta. “Kalau enggak ada tanggungan sih, aku bakal cabut forever. Stop romanticizing Ibu Pertiwi, there is no such thing,” gerutunya.
Sentimen mirip Briani mudah ditemukan di tengah kontroversi peleburan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Per 1 September 2021, Kemenristek diintegrasikan dengan empat lembaga ilmu pengetahuan milik pemerintah nonkementerian lain ke bawah BRIN. Termasuk Eijkman di dalamnya.
Penyatuan ini menyebabkan para peneliti honorer dan kontrak LBM Eijkman terkendala “mekanisme pengalihan”, yang berujung pemutusan hubungan kerja. Diskusi klasik betapa intelektual kita, yang sebagian lulusan kampus terbaik mancanegara “kurang dihargai” di negara sendiri, kembali bergulir di medsos.
Tudingan itu dibantah Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dengan menyebut selama ini Eijkman kerap melakukan perekrutan tak sesuai prosedur. “Perlu dipahami bahwa LBM Eijkman selama ini bukan lembaga resmi pemerintah dan berstatus unit proyek di Kemenristek. Hal ini menyebabkan selama ini para PNS periset di LBM Eijkman tidak dapat diangkat sebagai peneliti penuh dan berstatus seperti tenaga administrasi,” kata Laksana dalam keterangan tertulis pada Detik.
“Sehingga benar bahwa ada proses pemberhentian sebagai pegawai LBM Eijkman, tetapi sebagian besar dialihkan/disesuaikan dengan berbagai skema di atas agar sesuai dengan regulasi sebagai lembaga pemerintah.”
Penjelasan soal mengapa mekanisme pengalihan tersebut problematis dijelaskan panjang lebar lewat Twitter oleh mantan staf Eijkman, @artmisk. Satu contoh yang ia singgung ialah periset non-S-3 di Eijkman diminta buru-buru mencari peluang studi doktoral.
“Bulan Oktober kemarin kami dapat kabar bahwa apabila mau stay di Eijkman yang saat ini di bawah BRIN, segera dapatkan LoA [letter of acceptance] di kampus mana pun, ditunggu paling lambat akhir tahun. Ya gimana ya, gue tanya deh di sini yang udah atau sedang S-3, emang ujug-ujug membuat keputusan [melanjutkan S3] dalam waktu kurang dari satu bulan?” tulisnya.
Kekhawatiran publik terhadap sepak terjang BRIN dikaitkan dengan duduknya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah. Kehadiran politisi partai berkuasa di lembaga riset ditakutkan menggoyang independensi institusi riset. Apalagi, meski “hanya” sebagai pengarah, wewenang Megawati cukup besar.
PP 78/2021 tentang BRIN Pasal 7 ayat 3 menyebut: Ketua Dewan Pengarah punya kewenangan khusus memberi arahan, masukan, evaluasi, persetujuan, atau rekomendasi kebijakan. Dalam keadaan tertentu, Ketua Dewan Pengarah bisa membentuk satuan tugas khusus untuk mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsi pelaksana.
Kehadiran politisi dalam dunia riset ini dianggap Briani memperparah posisi periset dalam negeri. Menurut pengalamannya, rekomendasi peneliti sering kali dipandang sebelah mata apabila tidak sejalan dengan kepentingan politisi.
“Beberapa teman peneliti cerita mereka sering rekomendasi ke pemerintah dan hampir enggak ada yang dijalankan. Misal, beberapa kecelakaan tol terjadi karena konstruksinya emang salah. Itu udah ada risetnya yang bener gimana, tapi [enggak digubris]. Ada temanku bikin formula ngitung gimana kemacetan Jakarta bisa berkurang drastis, udah presentasi ke mana-mana, [formulanya] enggak diterima. Mungkin karena banyak yang berkepentingan di situ,” ujar Briani. Sementara iklim ilmiah dalam negeri tak mengenakkan, para diaspora peneliti justru kerap “dituntut” pulang.
Hal macam ini dialami Dinye Syafitri pakar people development asal Lampung yang kini berdomisili di Jerman, setelah menyelesaikan pendidikan sarjana dan pascasarjana di sana. Kata Dinye, nyaris di setiap webinar yang ia hadiri, terkhusus acara pemerintah, selalu ada pertanyaan apakah dirinya berencana pulang ke Indonesia.
“Gue bisa ngerasain judgmental undertone dari pertanyaan macam itu bahwa gue harusnya pulang ke Indonesia. Padahal itu kan personal banget ya,” cerita Dinye kepada VICE.
Maka, kemudian muncul pertanyaan, di balik segala keterbatasan Indonesia menghargai profesi peneliti, apakah para intelektual Indonesia tetap berkewajiban secara moral untuk pulang demi “membangun negaranya”?
Untuk menjawabnya, VICE menghubungi peneliti ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan ekonomi makro Asep Ahmad Saefuloh. Asep pernah menulis pada 2012, artikel jurnal ilmiah berjudul “Kebijakan Reverse Brain: Mengapa Penting dan Alternatif Pendekatan”. Kajian itu membahas migrasi intelektual Indonesia ke luar negeri dan urgensinya untuk merayu mereka pulang.
Saat artikel itu terbit, Asep menyebut setidaknya 2.000 WNI intelektual memilih menetap di luar negeri dan di sana mereka menempati posisi-posisi strategis. Situasi ini membuat Indonesia berada pada situasi brain drain alias kekurangan jumlah intelektual dalam negeri.
Seturut dengan keluhan Briani, ekosistem dalam negeri yang belum “terbentuk” jadi satu alasan WNI intelektual enggan pulang. Kepada Asep kami bertanya: hari ini, 9 tahun setelah artikel itu ditulis, apakah keadaannya masih sama? Terutama setelah perkembangan teknologi makin pesat dan memunculkan korporasi-korporasi unicorn yang aktif berburu lulusan luar negeri.
“Data sekarang, masih ada 477 [WNI intelektual di luar negeri] dan kebanyakan di Asia Tenggara. Kalau di AS, itu sekitar 105 ilmuwan Indonesia di sana. Tentu ini hal yang positif bagi perkembangan keilmuan maupun pembangunan karena artinya sumber daya dan ekosistem kita membaik,” ujar Asep saat dihubungi VICE. Asep kini menjabat sebagai Kepala Pusat Kajian Anggaran di Sekretariat Jenderal DPR RI.
Salah satu pendorong pulang kampungnya ilmuwan belakangan, kata Asep, adalah kenaikan gaji peneliti hampir empat kali lipat dibanding kisaran 2014. “Ini mendorong berkurangnya kondisi brain drain tadi. Perkembangan IT juga membuat penerapan keilmuan para intelektual lulusan luar negeri jadi lebih bagus.”
Terkait diskusi soal harus-tak harus pulang, Asep meyakini fokus pertanyaan sebaiknya bukan ke sana. Sebab, semua berhubungan dengan pilihan hidup masing-masing orang. Yang lebih penting, lelaki 50 tahun tersebut meminta kita lebih fokus mendesak negara untuk memperbaiki ekosistem ilmiah dalam negeri, seperti pembentukan badan riset, pembangunan infrastruktur, sampai tawaran kemapanan finansial kepada ilmuwan. “Tidak usah dipaksa, tapi bagaimana kita bisa membuat pull factor yang mampu menarik mereka pulang.”
Meski gaji minim dan ekosistem yang belum siap sering disebut sebagai dua alasan utama intelektual Indonesia di luar negeri enggan pulang, Raisa* tidak sepenuhnya sepakat. Soal gaji misalnya, PNS periset yang bergabung di lembaga pemerintah sejak 2015 tersebut mengatakan gaji minim tidak melulu bisa dijadikan alasan bahwa intelektual dalam negeri tidak dihargai di Indonesia.
“Kalau masalahnya materi, harusnya tahu kalau semua profesi kayak gitu. Dokter di Indonesia lebih kecil bayarannya dari gaji dokter luar [negeri], begitu juga karyawan di bank,” kata Raisa. “Jadi, gue pikir enggak bisa dijadikan parameter soal ‘penghargaan’.”
Mengenai skillset lulusan luar negeri yang terlalu advanced sehingga tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia akibat ekosistem yang belum siap, Raisa merasa harusnya para peneliti sudah memikirkan saat memilih jurusan atau bidang yang mereka pelajari, apakah bisa diterapkan di Indonesia?
“Enggak fair kalau elo sekolah tinggi-tinggi dengan teknologi tinggi, spesifik, inovatif, tapi ketika elo ngeliat Indonesia, elo bilang, ‘Indonesia enggak ngasih gue pekerjaan.’ Itu naif banget,” kata Raisa.
Raisa memandang asumsi setiap intelektual punya kewajiban tak tertulis untuk “pulang untuk membangun negara” tidak relevan, sebab perjuangan itu bisa dilakukan dari mana saja. Ia mencontohnya para sejawat peneliti dari Singapura, Malaysia, atau Taiwan yang berkarier di AS, dan malah mampu membuka akses anak-anak muda di negara masing-masing untuk belajar di bawah asuhannya di universitas negara maju. “Bisa dibilang itu membangun bangsa juga kan. Berkarier di luar negeri enggak ada salahnya.”
Konsultan biologi molekuler yang kini menjadi pengajar Universitas Yarsi, Ahmad Rusdan Utomo, sepakat dengan Raisa. Sekecil-kecilnya kontribusi, para diaspora Indonesia bisa menyediakan tempat tinggal bagi mahasiswa di negara tempat ia tinggal, membantu membuka wawasan sekaligus jejaring di sana.
“Istilah membangun negara jangan artikan harus balik ke Indonesia. Tapi, kalau mau pulang ya pulang, enggak usah nyalahin fasilitas di sini. Justru waktu kuliah di luar itu kan testing ground, seberapa baik kamu dilatih dalam segala keterbatasan dan tantangan. Sama kayak di sini, kalau kamu benar-benar committed, kamu akan suka,” kata Ahmad.
Ahmad meninggalkan kenyamanannya di Boston, Amerika Serikat, pada 2007 dipicu alasan prinsipil. “Karena ingin membesarkan anak dengan mendengar suara azan. Di saat itu juga [kami] kena dampak [diskriminasi akibat] 9/11,” cerita Achmad mengenang keputusannya pulang meski sudah memegang Visa H1 hasil berkarier lebih dari 17 tahun. Di pekerjaan pertamanya di Indonesia, gajinya turun tiga kali lipat.
Saat kami tanya seputar apa yang bisa diperbaiki untuk lebih merayu intelektual cemerlang Indonesia berkarier di negeri sendiri, Ahmad berkisah tentang Kuba. Pengalaman bekerja sama dengan peneliti industri teknologi dari Kuba membuka mata Ahmad bahwa peneliti bisa menjadi pekerjaan prestisius.
“Semua peneliti Kuba 100 persen kembali. Mau [tadinya kuliah] ke Stanford atau kampus top-notch lain, semua kembali. Meski secara numeral gaji tetap lebih rendah, tapi mereka diperlakukan seperti raja [di Kuba], pemerintahnya all-out,” urai Ahmad. “Publikasi didukung, ikut konferensi di mana-mana dikasih transportasi first-class, anak-anak mereka diberikan kesejahteraan, asuransi kesehatan. Jangan tanggung, berikan kemudahan. Peneliti pasti payback kok dengan kerja keras mereka,” kata Ahmad.
Dinye juga menyadari alasan penting lain terkait hambatan intelektual muda Indonesia di luar negeri untuk pulang. “Pulang ke Indonesia akan lebih berat buat kelompok terdiskriminasi. Banyak kelompok LGBT dan Chinese-Indonesian bilang kalau enggak ada rencana pulang karena merasa hidupnya akan sengsara,” cerita Dinye.
Mencoba cosplay jadi moderator webinar lembaga pemerintah, VICE mengakhiri obrolan bersama Dinye dengan menanyakan kapan ia akan pulang ke Indonesia. Ia terkekeh dan langsung membicarakan kekhawatirannya kaget dengan budaya kerja Indonesia.
“Di Jerman, hidup gue tuh chill banget. Hari libur setahun ada banyak, kerja bener-bener cuma 40 jam per minggu karena diatur sama undang-undang. Gue denger banyak cerita teman-teman di Jakarta yang kerja sampai malam dengan beban kerja yang berat banget. Kalau pulang, masa gaji gue jadi lebih sedikit, kerja jadi lebih banyak?”