Setiap kali menikmati konten true crime, Shamvabee Chakraborty kerap bertanya-tanya, “Bisakah saya bertindak sekeji itu?”
Pikiran semacam ini pastinya juga memenuhi benak para pencinta genre tersebut, dan mungkin menjadi alasan mengapa kisah kejahatan amat digandrungi di seluruh dunia.
Videos by VICE
Namun, bagi perempuan 28 tahun yang berprofesi guru di Kolkata, India, dia baru memahami daya tariknya sejak pandemi. Chakraborty mengonsumsi serial true crime sebagai cara mengatasi kecemasan terhadap ketidakpastian. “Entah mengapa, ketegangan yang hadir karenanya mampu menenangkanku. Ada semacam perasaan menyerah yang muncul, serta penerimaan fakta bahwa banyak kejadian di sekitar kita yang tidak masuk akal, tapi nyatanya itu benar-benar terjadi.”
Meski telah lama diminati, popularitas true crime kian melejit beberapa tahun terakhir, sebagian berkat podcast jurnalisme investigasi Serial yang mengudara pada 2014.
Ketertarikan kita pada sisi tergelap manusia dapat ditelusuri kembali hingga ke abad ke-16. Kala itu, berkas-berkas yang mendokumentasikan kejahatan berat diproduksi secara besar-besaran di Inggris. Peningkatan angka melek huruf, yang dikombinasikan kehadiran teknologi cetak, mendorong lonjakan penerbitan informasi seputar kejahatan pada masa itu. Reportase, proses peradilan hingga balada — bentuk syair yang menceritakan peristiwa tertentu — hanyalah beberapa contohnya. Publikasi ini umumnya mengangkat kasus pembunuhan domestik, pembunuhan terkait seks dan berita kriminal yang melibatkan perempuan.
Buklet ini dilengkapi woodcut (teknik memahat gambar pada permukaan papan kayu) yang mengilustrasikan kejahatan paling sensasional di negara itu, seperti mutilasi, penganiayaan dan praktik ilmu sihir. Minat publik akan kisah-kisah mengerikan terus tumbuh sejak saat itu.
“Obsesi ini menyentuh dorongan mendasar dalam diri manusia. Hampir [seolah-olah] penonton memperoleh kesenangan yang luar biasa dari menyaksikan betapa ekstremnya pikiran manusia,” terang penulis skenario Ankur Pathak. Dia menambahkan, dorongan inilah yang sulit diakses oleh manusia, terkecuali kita siap menghadapi konsekuensi atas tindakan kita. “Ini merupakan area abu-abu. Sifat karakter yang bertentangan menjadi hal paling menarik disaksikan dalam tontonan true crime. Sering kali, psikopat atau sosiopat hanyalah manusia biasa dan ‘normal’ seperti kebanyakan orang. Yang menakutkan justru memanusiakan psikopat dan menyadari betapa hal-hal sepele dapat memancing emosi seseorang.”
Inilah tantangan terbesar bagi para pelaku industri film yang tertarik menghasilkan tontonan true crime. Mereka harus bisa menyediakan detail yang memikat penonton, tapi tanpa melakukannya secara berlebihan. “Sebagai orang yang menyaksikan dan memproduksi konten, kamu akan menyadari kapan kamu telah melakukannya secara berlebihan. Walaupun itu kisah nyata, kamu harus bisa menahan diri,” ujar Samira Kanwar, kepala VICE Studios APAC yang memproduksi serial dokumenter true crime Indian Predator di Netflix. “Kami harus selalu bisa memberikan sensasi kepada penonton, tanpa membuat mereka bersikap acuh tak acuh terhadap kekerasan. Tujuan utamanya adalah menggugah perasaan penonton.”
Sutradara Ayesha Sood sangat menyadari pentingnya mempertahankan kepekaan penonton pada saat ia menggarap musim pertama Indian Predator: The Butcher of Delhi, dokumenter yang mengikuti pengejaran seorang pembunuh berantai yang tindak kejahatannya dimotivasi oleh dendam terhadap sistem yang tidak adil. “True crime memungkinkan kita mengamati banyak hal yang terjadi dalam kehidupan manusia: hubungan, konteks sosial-ekonomi, negara asalmu, serta aspek psikologis dan sosiologis, yang saya rasa akan selalu menarik bagi penonton. Itulah mengapa penting sekali bagi kita untuk memperhatikan kepekaan orang, [terutama] saat menyangkut kasus yang terjadi secara brutal.”
Kaum perempuan merupakan konsumen utama true crime di seluruh dunia. Kebanyakan dari mereka cenderung memperlakukan genre ini sebagai bahan pembelajaran, agar mereka tetap waspada dengan keadaan sekitar dan dapat menghindari situasi berbahaya. “Kita menonton tayangan true crime supaya bisa memahami pola kejahatan yang kerap menimpa perempuan, serta cara berpikir pelaku kejahatan. Kita bisa menjadi lebih waspada karenanya,” tutur Kanwar.
Psikolog forensik Aditya Sundaray mengamini pandangan ini. “Video semacam itu dapat membantu orang mengidentifikasi risiko, serta menunjukkan tanda-tanda agar bisa mengenali isu seperti ini di masyarakat,” jelasnya dalam artikel VICE lain. “Mungkin ini bisa membantu penonton mengenali orang seperti apa yang dapat berbuat kejahatan, atau sebatas mengetahui gelagat pembohong.”
Akan tetapi, terlalu waspada juga tidak baik untuk diri kita. Neuropsikolog Jasdeep Mago Jethani menyebut paparan yang berlebihan terhadap tindakan biadab, serta obsesi kita mengetahui segala tetek bengek permasalahannya, dapat menyebabkan paranoia, kegelisahan, mudah terkejut dan sistem saraf yang terlalu aktif. “Kamu akhirnya gampang tegang dan merasa selalu terancam. Apa yang kamu takutkan mungkin hanya ada dalam bayanganmu, tapi itu dapat merugikan kesehatan fisik dan mental,” terangnya. Apabila menelan konten true crime telah membuatmu super parno, maka itu artinya kamu perlu mengurangi atau bahkan berhenti mengonsumsinya.