Sebagai seseorang yang lebih doyan ngendon di kamar dan memikirkan cara semesta bekerja, saya terobsesi dengan yin dan yang. Kalau sesuatu punya kelebihan, maka pasti ada kekurangannya. Segampang itu. Nah, dalam sepakbola, ada sebuah klub bernama Read Madrid. Grup kaya ini punya segalanya, kit yang mengkilat, stadium megah sekelas Santiago Bernabeu dan sekumpulan pemain kelas dunia di dalam skuadnya. Pertanyaannya: kalau ini yin-nya, apa dong yang-nya Madrid?
Dalam kasus Real Madrid, bagian yang-nya adalah klub ini punya fan paling brengsek, paling intoleran dan paling gampang mencemoooh pemain—bahkan pemain Madrid sendiri.
Videos by VICE
Coba bayangkan dosa apa yang harus dilakukan Sergio Aguero agar dia bisa dicemooh oleh Fan Manchester City? Susah kan menjawabnya. Menyerang dan mengatai-ngatai Noel Gallagher di luar Stadion Etihad sambil pakai Jersey Van Persie? Mungkin. Tapi, kalaupun itu terjadi, mereka toh akan segan melakukannya, minimal mikir dua kali deh. Pasalnya, di stadion, mereka masih perlu mengelu-elukan nama Aquero, sebenci apapun mereka pada pemain satu ini.
Tapi coba deh bandingkan dengan nasib Gareth Bale. Bale menyumbang satu gol dalam laga final Liga Champions melawan Atletico Madrid 2014 yang berakhir dengan skor 4-1 bagi Los Blancos. Bale pula yang mencetak gol penentu dalam laga pamungkas Copa Del Rey yang mempertemukan Madrid dengan seteru abadinya Barcelona di tahun yang sama. Berkat sumbangan golnya, Madrid keluar sebagai kampiun dengan skor tipis 2-1. Namun, apa yang terjadi selang sebulan setelahnya? Bale dicemooh fan Madrid.
Daftar target cemoohan tak berhenti di Bale. Pelatih sekelas Carlo Ancelotti, kiper legendarsi Iker Casillas hingga Cristiano Ronaldo pun juga pernah dicemooh fan Madrid. Ini bikin kita bertanya-tanya. Jangan-jangan fan Madrid memang dilahirkan untuk mencemooh semua orang.
Ada omong kosong yang coba dibangun di Madrid. Omong kosong itu bernama senorio, yang bisa diterjemahkan secara bebas sebagai “nilai-nilai kejantanan.” Luis Gomez dari surat kabar Spanyol El Pais pernah menjabarkan konsep senorio lewat kalimat berikut: “elemen utama konsep senerio mencakup kesederhanaan, kerja keras, kejujuran dan kerendahan hati.” Dengan demikian, ada baiknya kita memahami tackling berbahaya Ramos terhadap Salah pada final Liga Champions 2018 sebagai sebuah tindakan yang melambangkan kesederhanaan, kejujuran, kerja keras dan kerendahahan hati, bukan sebagai perbuatan yang kurang terpuji.
Jujur, saya tak tahu apakah nilai-nilai senorio benar-benar ada. Curiganya sih, tak ada sama sekali. Kalau benar seperti itu, ini toh bukan kasus pertama sebentuk kuasa hegemonik—bentuknya bisa negara hingga klub sepakbola—menciptakan konsep adiluhung macam ini, meski pada praktiknya mereka melakukan hal-hal yang benar-benar bertolak belakang. Inggris misalnya sebagai bangsa yang menghargai fair play dan kehormatan, termasuk ketika mereka mengebiri orang Kenya dengan obeng.
Contoh lain, orang Amerika yang katanya menjunjung tinggi demokrasi itu datang mengacak-acak Irak layaknya seorang pebisnis yang cari untung belaka. Kita mungkin bisa berargumen bahwa cemoohan fan Madrid pada tim kesayangannya justru muncul karena Los Blancos justu sudah tak sejalan lagi dengan prinsip Senorio. Misalnya, alih-alih berhemat, klub malah rajin belanja pemain. Padahal, skuad Madrid sudah sesak dengan pemain kelas dunia. Artinya, para Fan Madrid tak sedang marah, tapi cuma sedang mengungkapkan kekecewaannya.
Tapi, kalau lebih jujur, kegarangan fan Madrid pada klubnya sendiri terjadi bukan karena mereka kecewa atau marah. Masalah utamanya adalah fan Madrid di abad 21 ini mirip sekumpulan anak manja. Bagi mereka, Madrid harus menang dan kesuskesan adalah keniscayaan yang bisa diraih tanpa melewati kekalahan dan kesalahan sedikitpun. Alhasil, mereka memuja-muja bintang-bintang kelas atas yang pernah menumpuk di Santiago Bernabeu kalau mereka sedang peduli saja. Selebihnya, mereka adalah bahan olok-olok semata.
Sampai titik tertentu, kita tak bisa menyalahkan fan Madrid. Bagi pendukung klub lain, kesempatan menyaksikan Wesley Sneijder, Arjen Robben dan Rafael van der Vaart di puncak kejayaaan mereka adalah berkah yang harus dirayakan. Masalahnya, semua pemain keren tadi berada di Madrid saat pemegang kuasa di Los Blancos masih doyan gonta-ganti pemain. Mereka lekas diganti dengan kaka dan lalu Ronaldo (ingat ini Ronaldo kedua yang pernah membela Los Blancos).
Makanya, tak aneh jika cara klub memperlakukan pemain menurun pada suporter Madrid. Bagi pendukung yang manja ini, barisan pemain keren ini cuma menarik sampai pemain kelas atas baru bergabung dengan skuad Los Blancos. Dan begitu ketertarikan mereka pada pemain-pemain ini luntur, perlakuan fan pada mereka terbagi menjadi dua: yang sopan (mencemooh tiap gerakan mereka di lapangan) atau yang kurang sopan (menunggu di luar stadion agar bisa menendang kaca mobil pemain Madrid yang mereka benci).
Uniknya, Sergio Ramos kadang mencoba berdiskusi dengan fan-fan Madrid. Malangnya, Ramos tak sadar bahwa dia berhadapan dengan fan paling ngehe di dunia. Di dunia yang ideal, mungkin fan Madrid bisa mengesampingkan segala pertandingan betulan yang harus dihadapi Madrid, dan berharap Madrid meraih trofi demi trofi bergengsi untuk memuaskan keinginan mereka.
Sayang, mereka hidup di dunia yang kurang ideal. Di sini, Madrid harus lebih dulu melewati pertandingan-pertandingan betulan dan Los Blancos bisa kalah kapan saja. Ini, barangkali, yang bikin fan Madrid jadi sekumpulan penonton sepakbola yang gampang ngambek.