Banyak tetangga saya memelihara kucing, dan mereka membiarkannya berkeliaran di jalanan. Awalnya tidak ada masalah. Saya suka mengajak kucing-kucing mereka masuk rumah untuk bermain dengan kucing peliharaan keluarga kami. Saya pun sering memberi makan ketika mereka nongkrong di depan rumah.
Lambat laun, saya mulai memperhatikan jumlah kucing di sekitar gang makin lama makin banyak. Tingkah kucing-kucing ini pun jadi bandel. Ada kucing tabby jantan yang sering masuk rumah sembarangan, menghabiskan makanan jatah kucing keluarga kami.
Videos by VICE
Keluarga saya mulai amat terganggu dengan kucing tetangga, ketika salah satunya rutin pup di pot tanaman. Ibu saya awalnya masih memaklumi, dan membuang kotorannya. Ibu mencoba mengakalinya dengan menutup pot pakai papan triplek tipis. Rupanya tidak mempan. Selalu saja ada kucing entah dari mana yang berak depan rumah. Selanjutnya burung peliharaan tetangga—yang sebenarnya suka memberi makan saat ada kucing masuk rumah—mati karena diserang kucing tanpa asal-usul jelas.
Lama-lama di lingkungan rumah kami banyak yang jengkel melihat sebagian tetangga masa bodoh dengan perilaku kucing-kucing mereka. Tetangga saya ada yang gemar mengawinkan kucing, tapi tidak pernah mau mengurus anak-anaknya yang baru lahir. Mereka melepaskan semua kucingnya ke luar rumah tanpa pengawasan sedikit pun.
Saya akhirnya meminta ibu memberi tahu tetangga agar mensteril kucing yang sudah dewasa. Sayangnya saran ibu tidak pernah digubris. Bahkan ada tetangga yang menyindir, saat tahu kucing saya sudah disteril. Mereka bilang sterilisasi melanggar kodrat, menyiksa dan segala macamnya.
Berbagai masalah di atas: kucing antah berantah merusak tanaman, mematikan binatang lain, menjebol atap rumah, hingga pup sembarangan, dalam satu dua kali insiden memang perkara sepele. Tapi ketika makin sering terjadi, sebetulnya itu menandakan adanya situasi ekosistem yang tidak ideal.
Di titik ini, sterilisasi sebetulnya pilihan terbaik menghentikan berbagai problem yang lazim terjadi ketika populasi kucing melonjak berlebihan di suatu wilayah. Setidaknya itu yang diyakini oleh pakar kesehatan hewan.
Muhamad Jami Ramadhan, dokter hewan untuk klinik Dr. Jami’s Pet Care di Kota Bandung, menjelaskan overpopulasi kucing dapat mengganggu keseimbangan ekosistem lingkungan dan mengancam keanekaragaman hayati di suatu wilayah. “Kucing pada dasarnya karnivora dan pemangsa, bisa mengusik kehidupan hewan liar lain seperti burung dan serangga,” kata Jami kepada VICE. “Fungsi burung dan serangga yang umumnya sebagai pembantu penyerbukan pada tanaman bisa berkurang bila populasinya terusik.”
Pendapat serupa diajukan Muhammad Reza Ramadhani, dokter hewan dari Enzo Petshop and Clinic di Kota Depok. Reza, yang kliniknya berlokasi di daerah Kelapa Dua, menyatakan kucing bisa menjadi hama bagi manusia apabila pertambahan jumlahnya “tidak diimbangi dengan wilayah, keadaan tempat dan asupan makanan yang sesuai,” ujarnya pada VICE.
Sterilisasi sendiri merupakan proses pengangkatan sebagian organ reproduksi hewan. Setelah dikebiri atau dimandulkan, hewan takkan lagi mengalami siklus birahi karena hasrat kawin sudah hilang. Berhubung sudah tidak ada keinginan mencari pasangan, kucing cenderung lebih sering bermain dan tidur.
Tindakan operasinya tergantung pada jenis kelamin. Jami, yang lebih dikenal @djamtjoek di Twitter, menerangkan, kebiri pada kucing jantan (neuter) terjadi di luar yakni membuang organ testikelnya. Dia menegaskan organ yang diambil hanyalah buah zakar atau biji kemaluannya, sehingga kastrasi tidak akan menghambat kucing jantan pipis sama sekali. Sementara itu, sterilisasi pada kucing betina (spay) melibatkan pengangkatan sebagian besar organ rahim dan kantung sel-sel telur. Ketika kucing jantan bisa pulih dalam beberapa hari, kucing betina membutuhkan setidaknya dua minggu hingga bekas operasi pada bagian perut benar-benar sembuh.
“Pengangkatan rahim kucing betina memerlukan waktu yang tidak sebentar karena prosesnya tidak semudah kucing jantan,” ujarnya.
Pemilik tidak bisa asal mensterilisasi hewan peliharaannya. Untuk menghindari komplikasi, sterilisasi harus dilakukan saat anabul dalam kondisi sehat. Pemilik perlu berkonsultasi terlebih dulu ke dokter hewan untuk menentukan waktu dan prosedur terbaik. Dokter juga wajib memastikan hewan yang akan disteril sedang tidak bunting atau birahi agar operasinya tidak semakin rumit dan memakan waktu lebih lama. Menjelang hari operasi, ada baiknya pemilik memberi tahu anak kaki empat bahwa mereka akan disteril supaya tidak stres saat dan setelah menjalaninya.
Pada dasarnya, pengebirian dilakukan demi kesejahteraan hewan dan juga pemilik. Namun, masih banyak orang memelihara kucing sebatas karena lucu. Mereka kerap tidak memikirkan akan seperti apa ke depannya, dan tidak mempertimbangkan apakah sanggup merawat banyak hewan untuk jangka panjang.
Dalam banyak kasus, ketika pemilik tidak siap memelihara banyak kucing akibat kehamilan yang tidak diinginkan, mereka sangat mungkin membuang hewan peliharaannya. Kucing yang lapar diam-diam memasuki rumah orang dan mencuri makanan di dapur. Bahkan ada juga yang menyerang hewan piaraan seperti ayam atau burung, menurut Reza.
Keputusan mensterilisasi kucing akan selalu kembali lagi pada pemilik. Sebenarnya tidak masalah kalau pemilik tidak mau mensteril kucingnya. Yang terpenting, menurut Reza, “mampu merawat, memberi makan, dan meluangkan waktu untuk sebanyak anak dan anak dari anak-anaknya [kucing mereka],” tandasnya.
Dengan kata lain, jangan sampai kucing peliharaan menjadi telantar dan tidak terawat begitu pengeluaran membludak.
Biaya yang mahal menjadi alasan sejumlah orang ogah mensteril kucing. Ini argumen yang problematis, mengingat perawatan peliharaan justru menjadi jauh lebih mahal apabila hewan kesayangan sampai beranak. Ditambah lagi, kucing berpotensi terkena penyakit jika birahi tapi tidak segera dikawinkan.
Merujuk beberapa penelitian, kucing betina umumnya mulai mengalami birahi pada usia enam bulan, tapi terkadang bisa hamil sejak usia 4-5 bulan. Permasalahannya adalah banyak risiko mengintai kucing yang bunting sebelum memasuki usia dewasa satu tahun. Jami mengungkapkan, kucing yang bunting saat masih kitten punya risiko keguguran, susah lahiran dan anak terlahir cacat. Tambah berabe jika anaknya lahir normal, tapi induk belum siap menjadi ibu. Induk akan meninggalkan atau tidak mau mengakui anaknya, sehingga pemilik sendirilah yang harus memberi asupan susu agar kitten tidak mati.
Membiarkan kucing betina terlalu lama dalam keadaan birahi dapat memicu infeksi rahim yang disebabkan oleh penumpukan nanah (pyometra). “[Ada risiko muncul] tumor kelenjar susu karena pengaruh hormonalnya”, ujar Jami kepada VICE.
Sementara itu, pada kucing jantan, Jami menyebut ada peluang terjadinya pembesaran prostat. “Pengaruh hormonal akan mempersempit saluran pipis, sehingga bisa menjadi salah satu penyebab sakit pipis,” terangnya. Selain berisiko terkena tumor testis dan prostat, kucing jantan akan lebih rentan mengalami penyakit kulit, seperti infeksi bakteri atau jamur, karena produksi kelenjar minyak pada kulit meningkat—khususnya di bagian ekor. Walaupun penyakitnya belum tentu muncul dalam waktu dekat, kita tetap tidak bisa mengesampingkan fakta ini.
Kucing yang telah disterilisasi juga jauh lebih tenang. Berkurangnya sifat agresif mengecilkan kemungkinan kucing terluka akibat berkelahi untuk memperebutkan wilayah kekuasaan dan pasangan.
Yang paling mengkhawatirkan dari keengganan mensterilisasi anabul adalah jumlah populasi kucing menjadi tidak terkendali. Satu induk kucing bisa melahirkan 4-6 ekor anak dalam satu persalinan, dan bisa bunting lagi tak lama setelah lahiran. Kehamilan kucing berlangsung selama dua bulan, sehingga dalam setahun hewan itu bisa tiga kali hamil dengan masa birahi setiap dua atau tiga minggu sekali. Dengan demikian, kucing betina berpeluang memiliki 12-18 ekor anak dalam satu tahun saja. Kalian bisa membayangkan sendiri berapa ratus ribu kucing yang berkeliaran dalam empat tahun.
Data yang dirilis oleh Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Perikanan (DKPKP) pada 2018, dikutip Kumparan, memperkirakan ada 29.504 ekor kucing liar dan peliharaan di Jakarta sepanjang tahun itu. Perkiraan di atas belum tentu akurat karena mendata kucing tidak gampang.
Meledaknya populasi kucing liar di ibu kota sempat mendorong terjadinya razia kucing pada Januari 2019. Pemprov DKI Jakarta sebenarnya memiliki maksud yang bagus, yaitu menuntaskan penularan rabies dan menjaga populasi. Namun, upaya pemerintah menyulut emosi penyayang binatang karena penangkapannya hanya menggunakan jaring.
Organisasi penyelamat hewan, seperti Let’s Adopt Indonesia (LAI), telah menggalakkan program TNR (trap–neuter–return) atau steril massal pada kucing liar di wilayah Jabodetabek sejak Agustus 2019. Berdasarkan data yang diperoleh VICE, totalnya ada 605 ekor kucing yang disteril tim LAI hingga April 2021. Pada Februari tahun lalu, program mereka menjangkau Kota Malang dengan 109 ekor. Mereka akan merawat kucing-kucing itu hingga pulih sebelum dilepasliarkan. LAI rutin mengadakan TNR guna mencegah populasi yang berlebihan dan mewujudkan lingkungan yang lebih sehat.
Reza lebih lanjut mengutarakan, hewan telantar dapat menularkan penyakit ke manusia, seperti penyakit kulit scabiosis atau scabies, jamur ringworm dan leptospirosis—penyakit yang menyebar melalui air yang terkontaminasi urine hewan yang terinfeksi. Begitu juga dengan rabies. Penyakit ini tak hanya menyebar dari gigitan anjing saja, melainkan juga dari kucing sakit yang tidak pernah divaksin. “Dengan tidak adanya ‘kontrol populasi’, maka kontrol penyakit menular tersebut juga akan sulit,” kata Reza.
Reza berulang kali menekankan sterilisasi menguntungkan kedua belah pihak. Di satu sisi, kucing lebih sehat. Di sisi lain, hidup manusia lebih nyaman. Lingkungan pun menjadi damai karena tak ada lagi kucing jantan yang bertengkar mempertahankan teritori, atau kucing betina yang mengeong butuh kawin.
“Sterilisasi ini juga akhirnya akan erat hubungannya dengan kesejahteraan hewan dan juga, sebagai prinsip dokter hewan di Indonesia: menyejahterakan manusia melalui kesehatan hewan,” tuturnya. “Dengan hewan yang sehat terjamin di sekitar manusia, diharapkan manusia pun kesehatannya terjamin.”