Tokoh kartun cewek kerap digambarkan dengan kesan imut seperti anak-anak, tapi penampilannya sangat vulgar. Penggambaran yang menampilkan anak-anak secara seksual telah dilarang di berbagai negara, kecuali Jepang.
Di negara yang industri manga dan hentai-nya berkembang pesat, seruan untuk melarang kartun vulgar menerima berbagai pertentangan.
Videos by VICE
“Kami menentang kebijakan yang menekan kebebasan berekspresi,” tegas videografer Jepang Taisei Sugiyama ketika dihubungi VICE World News.
Sugiyama mengaku tidak pernah mengonsumsi jenis komik dan tontonan ini, tapi akan membela hak para penggemarnya. Dia bahkan sampai membandingkan mereka dengan kelompok minoritas yang tertindas di Jepang, seperti komunitas LGBTQ. Dia lebih lanjut menyalahkan “kebangkitan feminisme” atas tekanan yang meningkat untuk melarang konten semacam itu.
Tak sedikit beranggapan melarang manga yang menggambarkan anak-anak secara seksual sama saja dengan membungkam kebebasan berekspresi. Pandangan ini sebagian besar didukung oleh partai yang berkuasa. Pada 2014, Jepang menjadi negara terakhir dari 38 negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi yang sepakat untuk melarang kepemilikan materi yang sarat akan pelecehan anak. Namun, negara itu bungkam ketika menyangkut penggambaran vulgar anak-anak di manga dan anime, yang merupakan simbol budaya Jepang.
Pegiat anti-pelecehan anak memperingatkan, keengganan untuk melarang gambar yang menseksualisasikan anak-anak secara keseluruhan dapat menjadi celah untuk mewajarkan kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Pada 2015, utusan khusus PBB untuk perlindungan anak mendesak agar Jepang segera melarang manga yang menjadikan anak-anak objek seksual, dengan alasan media ini bisa merugikan khalayak yang masih di bawah umur. Jepang menuntut agar utusan khusus PBB mencabut pernyataan mereka dan mempertanyakan buktinya.
Perdebatannya kembali naik ke permukaan awal tahun ini, setelah Partai Komunis Jepang mengusulkan pembatasan lebih lanjut pada penggambaran pelecehan anak. Usulan ini memicu reaksi keras para netizen, yang menuding partai telah menodai reputasinya sebagai pembela kebebasan berekspresi. Lainnya mengklaim mereka “menghina konten kreator”.
Namun, mereka yang mendukung larangan berpendapat sebaliknya. Penggambaran vulgar anak-anak dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko pelecehan seksual terhadap anak-anak oleh mereka yang ingin mewujudkan fantasinya, sebuah pandangan yang masih diperdebatkan di kalangan peneliti. Ada juga yang khawatir anak-anak akan menganggap seksualisasi sebagai hal yang wajar karena sudah terbiasa disuguhkan media yang tidak diatur ini, sehingga mereka rentan menjadi korban sexual grooming.
Ketika Jepang melarang pelecehan anak pada 2014, polisi—yang mendukung larangan tersebut—mengungkapkan jumlah kasus kejahatan yang melibatkan produksi dan peredaran gambar pelecehan anak telah meningkat 10 kali lipat sejak 2000, kemungkinan diperburuk oleh internet. Dua tahun sebelumnya, pemerintah kota Tokyo memberlakukan larangan serupa dalam upaya mengekang tindakan yang, menurut gubernur, mempromosikan pedofilia.
Sugiyama melihat usulannya diajukan demi mendulang dukungan dari kalangan feminis menjelang pemilihan umum, dan sikap partai komunis berbanding terbalik dengan nilai-nilai mereka yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
“Partai akan terlihat baik jika mengatakan ingin ‘menuntaskan pornografi anak’, dan dapat menarik dukungan dari pegiat hak perempuan. Tapi bagi saya, mereka hanya mengikuti arah angin,” tandasnya.
Industri manga Jepang bernilai sekitar 1,6 triliun yen (Rp199 triliun) pada 2020, sedangkan konten yang sarat akan pelecehan anak hanya mencakup sebagian kecil darinya. Walaupun begitu, komik yang menggambarkan anak-anak secara seksual tersebar luas di internet dan banyak ditemukan di toko buku.
Shinichiro Harata, sosiolog dan profesor media yang mempelajari ilustrasi pelecehan anak, menyebut para seniman lebih mengkhawatirkan larangan menyeluruh yang dapat memengaruhi semua genre manga.
“Tak seperti di AS yang memasarkan anime dan manga untuk kalangan remaja, media ini jauh lebih ekspresif di Jepang, baik secara seksual maupun kekerasan,” dia menerangkan kepada VICE World News.
“Mengelompokkan semua konten dalam satu istilah ‘manga’ dan memberlakukan larangan dapat merusak keragaman yang terlihat dalam seni,” imbuhnya, menjelaskan ketakutan akan “lereng licin” yang secara bertahap dapat mengarah pada komik lain yang kurang pantas.
Selain itu, kreator sering menekankan kurangnya bukti konklusif yang menghubungkan pelecehan anak di manga dengan peningkatan kasus di dunia nyata. Misalnya, pada 2002, Mahkamah Agung AS mengakui kemungkinan gambar virtual menjadi penyebab meningkatnya kekerasan anak, tapi mengatakan tidak ada bukti yang menunjukkan hubungan sebab akibat.
Bagi para pendukung larangan, ada banyak bukti anekdot yang menghubungkan gambar pelecehan anak dengan tindak kejahatan nyata. Contoh paling terkenal yaitu Tsutomu Miyazaki, seorang otaku yang dengan sadis memerkosa dan membunuh empat anak perempuan dalam rentang satu tahun.
Polisi menemukan ribuan video anime dan pelecehan anak, serta jasad bocah lima tahun yang telah membusuk, ketika menggeledah rumahnya. Kala itu, sosiolog berpandangan obsesinya terhadap ilustrasi semacam itu telah memotivasi kejahatannya.
Setelah usulannya menimbulkan kegemparan, Partai Komunis Jepang membuat klarifikasi atas kebijakannya. Meski mereka mengubah penggunaan istilah “pornografi anak” menjadi “penggambaran pelecehan seksual terhadap anak”, partai komunis menegaskan tidak mendukung larangan menyeluruh atas materi semacam itu.
Perwakilan Partai Komunis Jepang mengatakan bahasa yang direvisi menjadi “seruan bagi berbagai pihak terkait untuk terlibat dalam diskusi ekstensif, dan mencapai kesepakatan yang tidak menjadikan anak-anak sebagai sasaran pelecehan dan eksploitasi seksual,” terangnya melalui email.
Partai Demokrat Liberal mengambil sikap yang sama ambigunya. Partai menyambut perdebatan lebih lanjut terkait isu tersebut, tapi mendukung RUU yang menyatakan manga pelecehan anak tidak perlu dilarang pada 2014.
Beberapa pejabat partai telah mengajukan petisi untuk mengubah undang-undang yang mengatur media semacam itu, tapi upaya tersebut gagal.
Namun, ada masalah baru yang muncul bahkan sebelum perdebatan tentang ilustrasi pelecehan anak diselesaikan. Menurut Kouya Takara, asisten profesor studi media yang menulis penelitian tentang penggambaran anak secara seksual, sudah ada yang menciptakan teknologi deepfake—pemalsuan gambar menggunakan kecerdasan buatan (AI)—untuk mengakali larangan terhadap gambar yang menseksualisasikan anak-anak.
“Beberapa sudah mulai menggabungkan wajah anak-anak dengan tubuh orang dewasa, sehingga sulit untuk menentukan itu gambar anak-anak atau orang dewasa, yang berarti peraturan pornografi anak tidak dapat diterapkan,” Takara memberi tahu VICE World News.
Peraturan saat ini hanya mengilegalkan gambar nyata anak-anak dengan latar seksual, yang berarti menunjukkan alat kelamin atau bagian tubuh mirip anak-anak. Dengan logika ini, ilustrasi pelecehan anak tetap legal dan dapat membuka peluang terciptanya gambar buatan AI yang menyiratkan pelecehan anak-anak.