Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.
Ada sebuah cerita kesohor tentang John Cena yang selalu muncul di media khusus gulat profesional setiap beberapa tahun sekali. Kabarnya John Cena muda sama sekali tidak laku di kalangan penggemar tayangan Federasi Hiburan Gulat Dunia (WWE). Bermodalkan gimmick murahan, celana ketat standar pegulat, serta wajah yang tidak ganteng-ganteng amat, Cena harus diakui cuma “pegulat pro biasa.” Di satu titik, WWE bahkan pernah berniat memecat Cena, namun Stephanie McMahon—salah satu petinggi WWE yang menentukan skrip untuk setiap pegulat/acara tersebut—tidak sengaja mendengarnya ngerap freestyle di belakang panggung. Stephanie lalu meminta Cena memasukkan elemen rapping ke dalam aksi panggungnya. Saat itu, 2002, adalah kesempatan terakhir untuk Cena. Dia melakukan debut aksi panggungnya yang baru di sebuah momen pertandingan Halloween sambil berkostum ala Vanilla Ice, rapper kulit putih yang sering jadi bahan ejekan. Aksinya disambut meriah malam itu. Selanjutnya adalah sejarah. John Cena menikmati kesuksesan yang bertahan lebih dari satu dekade kemudian.
Videos by VICE
Di event bergengsi WWE, Royal Rumble 2017, Cena kembali menjadi juara dan mengukuhkan dirinya sebagai salah satu pegulat terbaik sepanjang masa: 16 kali juara dunia, menyamai rekor legendaris Ric Flair. Mengingat Cena yang baru berumur 39 tahun, rekor ini sudah pasti akan dia pecahkan beberapa tahun ke depan. Bagi mereka penggemar WWE lawas yang pernah melihat Flair beraksi dalam masa jayanya, pasti tidak akan pernah terpikir bahwa rekor sang legenda suatu hari akan dipecahkan. Apalagi oleh sosok biasa-biasa saja seperti Cena. Maka dari itu, mari kita coba mengkaji rekam jejak dua pegulat pro ini lebih mendalam.
Tentunya rekor dunia Cena cuma skenario doang. Semua drama dan konflik dalam dunia pro wrestling itu dibuat-buat. Semua cerita yang disajikan di atas panggung biasanya hasil dari negosiasi di belakang panggung, kerja keras tim skenario, lengkap dengan intrik politik, pengkhianatan, ditambah upaya masing-masing pegulat cari muka ke keluarga McMahon selaku pemilik perusahaan WWE. Inilah alasan pegulat-pegulat era lama seperti Flair, Hulk Hogan, atau Kevin Nash selalu berusaha keras menghindari kekalahan di atas panggung memakai cara yang dianggap tidak bermartabat. Konon mereka sampai melobi skenario cerita WWE agar menguntungkan citra masing-masing. Dunia di belakang layar itulah justu kompetisi yang sebenarnya bagi para pegulat. Pro wrestling adalah dunia bisnis kotor dan sulit dimengerti bagi orang-orang awam seperti kita.
Tapi jangan salah, pro wrestling tidak hanya melibatkan elemen drama macam opera sabun, tapi juga atletisitas—paling tidak yang kasat mata. Anda tidak mungkin bisa menjadi juara kalau anda payah di atas ring. Anda harus benar-benar atletis. Anda harus tahan mengalami gebukan yang awalnya pura-pura, dan lama-lama sungguhan setiap malam. Semua beban fisik itu masih ditambah padatnya persaingan politik antar pegulat yang terjadi di balik layar, membuat pertaruhan karir para pegulat menjadi “sungguhan” di atas panggung.
Ric Flair sadar akan hal ini. Itulah kunci suksesnya di industri pro-wrestling. Tapi Flair hidup di era berbeda. Biarpun semua penggemar WWE kenal namanya, tapi harus diakui bahwa ketenarannya kini sedikit meredup. Sekarang dia tidak lebih dari seorang lelaki tua penuh nostalgia di layar kaca yang kerap kita dengarkan podcast-nya. Flair biasanya menangis setiap kali dia mengenang masa jaya atau mendengar kabar kawan lama sesama pegulat pro yang meninggal. Matanya bersinar penuh tangis bangga setiap kali dia di atas panggung bersama anak perempuannya, Charlotte, atau ketika dia membahas hubungannya yang rumit dengan WCW—federasi pro wrestling yang populer era 90-an—tempat dia berjaya dulu. Flair terkenal memiliki masalah dengan uang, alkohol, dan perempuan. Kematian anak lelakinya, Reid, juga sempat menjadi bahan pembicaraan pecinta gulat profesional.
Di masa mudanya, Flair adalah pegulat luar biasa yang selama 30 tahun berhasil memenangkan 16 gelar juara dunia. Dia tidak bisa terbang tinggi seperti Jeff Hardy ataupun tampak perkasa seperti Big Show, namun dia ahli memainkan psikologi lawan di atas panggung. Setiap langkah dan gerakannya menceritakan sesuatu. Kata-kata dan video promosi hampir tidak dibutuhkan ketika Flair bergulat. Dua hal itu adalah bukti kehebatannya. Namun ada satu hal yang pasti: Ric Flair benar-benar seorang pegulat yang mahir. Apabila anda menonton video-video lamanya bergulat, anda akan menyadari betapa hebatnya dia. Terkadang kita lupa hal ini jika sekedar membandingkan jumlah sabuk juara dunia dengan pegulat yang lebih muda dari Flair.
Cena menyamai rekor 16 gelar dunia Flair di umur 39 tahun. Bandingkan dengan Flair yang memenangkan gelar terakhirnya di umur 51. Memang betul Cena memenangkan jumlah gelar yang sama dalam rentang waktu lebih pendek, tapi Cena mendapatkan uang yang lebih sedikit dan rating televisi yang lebih rendah.
Berikut fakta yang tidak bisa dibantah soal karir gulat John Cena: sebagian besar masa kejayaan Cena justru terjadi ketika pro wrestling tidak lagi populer di seluruh dunia. Cena memenangkan banyak gelar karena tidak ada pegulat WWE yang lebih baik darinya (atau lebih berkarisma) di antara kurun 2006 hingga 2012. Dia ‘hanya’ menghadapi Triple H yang sudah tua, Batista yang sudah tidak niat menang, dan Edge yang jauh menurun kondisi fisiknya. Plus di era kejayaan Cena, manajemen WWE mulai cenderung ingin memiliki satu figur pegulat dominan saja. Alhasil Cena berhasil memenangkan 16 gelar karena tidak ada persaingan yang ketat.
Walau penilaian ini agak merendahkan, tapi sebetulnya dominasi Cena beberapa tahun ini menarik. Bukti kehebatan Cena bukan terletak di jumlah gelarnya atau jumlah penjualan merchandise-nya yang tinggi, tapi dampak yang dia ciptakan bagi WWE.
Sulit membayangkan WWE tanpa kehadiran Cena. Ini jugalah sebab mengapa sinar karir Cena tidak seterang Flair, jika sama-sama dibandingkan di masa jaya. Karena tidak ada yang bisa menyaingi Cena sepanjang paruh kedua dekade 2000-an, maka tidak ada juga yang bisa menggantikannya ketika Cena absen. Contohnya, sebelum pergelaran Royal Rumble 2008, Cena terpaksa absen selama setahun karena otot dadanya robek. Saat bos besar WWE, Vince McMahon, mengumumkan cedera Cena, banyak penggemar—yang sudah bosan dengan dominasi Cena sepanjang 2006—malah bersorak kegirangan.
Mendadak tiga bulan kemudian, Cena menyelinap diam-diam ke atas panggung WWE, dan sambutan yang dia dapatkan merupakan salah satu yang paling ramai dalam sejarah pro wrestling. Semua penggemar gulat yang membencinya, yang mengancam akan protes apabila dia kembali menang—justru menyorakinya penuh dukungan.
Kejadian ini mengkonfirmasi fakta bahwa figur John Cena sendirian merepresentasikan citra WWE. Sulit membayangkan akan seperti apa WWE apabila Cena jadi dipecat pada 2002, karena memang tidak ada figur lain yang bisa menggantikannya. Tahun itu, Hulk Hogan baru saja meninggalkan dunia pro-wrestling. Stone Cold Steve Austin umur karirnya sudah tidak panjang. The Rock beralih menjadi aktor Hollywood. Pegulat lainnya entah kurang keren atau membosankan. Hanya Cena yang bertahan.
Sulit untuk benar-benar menilai Cena karena dia bukanlah pegulat terhebat di atas panggung. Dia juga bukan yang paling mudah dipromosikan. Tapi sulit membantah jika dia spesial. Sayangnya, dia bukan pegulat yang akan diingat penggemar WWE ketika membicarakan sosok terhebat sepanjang masa. Lain halnya jika kita membicarakan konsistensi dan keawetan, jelas dia tidak kalah dari Ric Flair.
Mungkin inilah sifat sekaligus kesamaan Cena dan Flair yang paling menonjol: tidak peduli apapun yang terjadi di seputar gulat pro, mereka berdua terus bertahan.