Pesan Adik George Floyd untuk Para Demonstran Penolak Rasisme di Seluruh Dunia

Screen Shot 2020-06-06 at 11

Adik kandung George Floyd, lelaki paruh baya yang tewas akibat kekerasan polisi Amerika Serikat akhir Mei lalu sampai menyulut unjuk rasa besar di berbagai negara, mengapresiasi pesan yang digaungkan para demonstran. Philonise Floyd menyatakan solidaritas yang dia lihat dari kebangkitan kembali tagar #BlackLivesMatter meringankan duka keluarganya.

“Saya ingin berterima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi dalam aksi tersebut, sehingga keadilan yang ideal di dunia bisa selangkah lebih jauh diwujudkan,” ujarnya dalam salah satu episode Shelter in Place, acara bincang-bincang khusus televisi VICE dipandu Shane Smith.

Videos by VICE

Dalam episode tersebut, Shane, co-founder VICE, tak hanya ngobrol dengan Philonise melainkan juga aktivis anti-diskriminasi kulit hitam di banyak kota, untuk memahami kenapa kemarahan publik kali ini sangat besar sampai unjuk rasa begitu meluas. Philonise punya jawaban versinya sendiri.

“Sebab, orang-orang kulit hitam punya sejarah ditindas, dan kini ketika seharusnya semua manusia sudah merdeka dan setara, tingkat kematian ras kulit hitam di AS akibat kekerasan polisi masih sangat tinggi,” kata Philonise. “Tak peduli dia lelaki atau perempuan, ada saja kasus warga kulit hitam mati karena ketidakadilan.”

Shane turut ngobrol dengan Sybrina Fulton, ibu dari Trayvon Martin yang ditembak mati polisi dalam kasus salah tangkap pada 2012. Kematian sang buah hati membuat Fulton berkomitmen terlibat gerakan kesetaraan dan mengakhiri kekerasan brutal polisi yang bias rasial terhadap tersangka kejahatan kulit hitam.

Menurut Fulton, demonstrasi serta kerusuhan yang akhirnya terjadi di beberapa kota AS, merupakan skenario yang cepat atau lambat terjadi. Sebab institusi kepolisian Negeri Paman Sam tak kunjung berubah, terkait cara mereka yang berbeda saat menangani tersangka kulit hitam.

“Rasa trauma terhadap kematian George Floyd memicu kemarahan publik yang selama ini terpendam,” kata Fulton. “Ini bukan cuma karena seorang George Floyd. Ini tentang Breonna Taylor. Ini tentang Ahmaud Arbery. Ini tentang Trayvon Martin. Ini tentang Oscar Grant. Ini tentang Jordan Davis. Ini tentang Donte Hamilton. Atau Eric Garner. Semua nama-nama warga kulit hitam itu mati sia-sia akibat tindakan aparat yang semena-mena. Orang-orang melihatnya dan merasa ‘sudah cukup, semua ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi’.”

Unjuk rasa awalnya terkonsentrasi di Minneapolis, lokasi George Floyd diinjak di leher sampai meninggal oleh aparat yang menahannya atas dugaan mengedarkan uang palsu. Sepekan kemudian, unjuk rasa melibat ratusan hingga lebih dari 10 ribu orang berlangsung di New York, Los Angeles, San Fransisco, dan kota-kota besar AS lainnya. Memasuki Juni, solidaritas anti rasisme dan menolak kekerasan aparat meluas hingga kota-kota dunia lain, seperti Paris, Brussels, London, hingga Seoul. Rasisme dan kekerasan aparat adalah problem universal yang dialami banyak bangsa, sehingga kematian George Floyd tak lagi dianggap hanya kasus domestik Amerika.

Di Kota Bristol, pada Minggu (7/6) sore, ratusan demonstran merobohkan patung sosok saudagar besar Inggris Abad 17 yang makmur berkat jadi pedagang budak. Patung Edward Colston itu sejak lama jadi kontroversi untuk sebagian warga, karena menganggap latar belakang kelam Colston tidak patut diabadikan jadi patung kota. Colston diabadikan jadi patung, lantaran berjasa menghibahkan hartanya untuk membangun fasilitas publik di Bristol saat meninggal pada 1721. Masalahnya, kekayaan itu didapatkan Colston dengan menjual 80 ribu budak kulit hitam yang diculik paksa dari Afrika untuk dibawa ke tanah koloni di Amerika.

Adapun di Indonesia, gerakan #BlackLivesMatter turut bergema sebagai dukungan moril untuk warga Papua yang mengalami diskriminasi. Diskusi dan debat mengenai kondisi orang asli Papua akhirnya kembali mengemuka di Tanah Air.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US