Aku menghempaskan tubuh ke sofa, dan meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. “Enaknya buka apa ya?” batinku sambil menggeser layar. Tanpa sadar jariku membuka folder belanja dan memilih salah satu aplikasi toko online. Aku nge-scroll barang-barang hasil rekomendasi, membaca ulasan dan deskripsi, lalu memasukkannya ke keranjang. Kasur kucing ini murah. Celana pendeknya bagus. Tatakan gelasnya lucu. Itu hanyalah segelintir alasan yang aku buat setiap kali melihat barang bagus di online shop. Tapi dalam banyak kasus, aku memasukkan barang belanja tanpa ada niatan membelinya.
Aku membiarkannya menggunung begitu saja di keranjang, sampai lupa pernah memasukkan barang itu. Begitu ingin membeli sesuatu, aku kaget melihat daftar keranjang yang penuh dan akhirnya menghapus satu-satu — menyisakan barang yang dibutuhkan saja. Terkadang aku baru ingat pernah memasukkan barang ke keranjang setelah notifikasi aplikasi mengingatkan aku belum membayar belanjaannya.
Videos by VICE
Kebiasaanku window shopping di toko online semakin menggila sejak pandemi. Aku rasanya ingin punya segalanya, tapi selalu mempertimbangkannya kembali sebelum checkout. Aku beli barang ini karena butuh atau cuma lapar mata? Walaupun aku termasuk beruntung masih memiliki pekerjaan di tengah pandemi, aku harus tetap mengirit pengeluaran untuk jaga-jaga. (Ditambah lagi, ada cicilan KPR yang mesti kutanggung *sad.)
Semacam ada kepuasan tersendiri setelah melihat-lihat barangnya dan membandingkan harga dengan toko lain. Enggak masalah belum bisa memilikinya. Masih ada lain waktu, pikirku, meski ujung-ujungnya enggak jadi beli juga.
Aku yakin bukan satu-satunya yang melakukan ini. Buktinya sampai ada istilah khusus untuk menggambarkan kebiasaan seseorang yang suka memasukkan barang ke keranjang belanjaan olshop tapi enggak pernah membeli barang tersebut. Di dunia jual beli online, fenomena ini biasa disebut “cart abandonment”.
Saking seriusnya masalah ini di Amerika Serikat, berbagai situs dan blog menjabarkan alasan kenapa orang enggak jadi belanja di suatu toko, serta tips dan trik mengurangi cart abandonment dan meraih keuntungan maksimal.
“Data secara keseluruhan menunjukkan peningkatan tajam dalam ‘cart abandonment’ (kebiasaan mengisi keranjang belanjaan tapi tak dibeli) pasca-Covid-19. Data dari awal pandemi tahun ini menunjukkan tingkat 94,4 persen dibandingkan dengan 85,1 persen pada periode yang sama tahun lalu,” kata Jordan Elkind, wakil presiden retail insight untuk platform Amperity, saat diwawancarai Today.
Seseorang mengurungkan niatnya untuk belanja online mungkin karena biaya pengiriman yang mahal, atau sebatas belum pasti ingin membeli. Lalu bisa juga mereka mau membandingkan toko mana yang harganya lebih murah dan kelupaan membeli sampai mereka tak lagi tertarik dengan barang tersebut. Namun, masalah ekonomi tetap menjadi faktor utama.
Sebagaimana dijelaskan Jon Chang, pakar consumer insight AS untuk layanan belanja online Klarna, kepada Today, pandemi corona mengubah gaya hidup dan kebiasaan berbelanja manusia. Mereka enggak bisa sembarangan belanja online karena perlu menghemat dan mengendalikan pengeluaran. Chang mengatakan calon pembeli sekarang pintar-pintar mencari pilihan terbaik dan menahan diri sampai menemukan yang paling pas dengan anggarannya.
Aleph* rajin melihat-lihat pakaian yang dijual di toko baju online sejak masih kuliah, jauh sebelum corona melanda dunia. Dia berpikir cuci mata dari aplikasi jauh lebih murah karena enggak perlu mengeluarkan biaya seperti saat pergi ke pusat perbelanjaan. Akan tetapi, hobinya menjadi lebih intens sepanjang tahun ini. Aleph mengaku sering khilaf memasukkan belanjaan ke keranjang hanya untuk menghapusnya kembali setelah sadar.
“Barang yang dijual jauh lebih variatif, jadi kadang suka gelap mata masukin ke kantong belanja [tapi] ujung-ujungnya enggak beli,” pegawai BUMN ini memberi tahu VICE.
Kalaupun enggak jadi membeli barang yang diinginkan, Aleph enggak menyesal sama sekali cuma bisa menyimpannya di keranjang. Menurutnya, lihat-lihat baju di toko online tak perlu mengeluarkan ongkos.
Patricia suka refleks memasukkan belanjaan ke keranjang tanpa pikir panjang. Dia enggak ingat sudah tanggal tua, atau memikirkan apakah dia membutuhkan barang tersebut. Itulah kenapa dia membiarkan belanjaan begitu saja di keranjang sampai uangnya cukup atau sudah yakin mau beli, meski beberapa kali barangnya sudah keburu habis sebelum di-checkout.
“Biasanya pengin banget suatu barang, [jadi] langsung memasukkannya ke keranjang. Tapi kadang anggaran belanja sudah habis atau masih mau pikir-pikir dulu sambil cari yang lain. Setelah beberapa hari baru sadar ternyata enggak butuh-butuh amat, ya udah enggak jadi bayar,” tutur perempuan 25 tahun asal Tangerang Selatan.
Lain ceritanya dengan Shabrina yang berkecimpung di bidang business development. Dia justru lebih sering cuci mata dan belanja online secara impulsif sebelum WFH. Di awal masa PSBB, dia masih mudah tergoda dengan printilan seperti casing HP, perhiasan murah dan barang-barang lucu lainnya. Tapi semakin ke sini, Shabrina mulai menyadari tak ada gunanya membeli pakaian dan pernak-pernik kalau enggak bisa ke mana-mana.
“Enggak tahu kenapa,” tutur perempuan 24 tahun itu saat ditanyakan alasannya. “Tapi aku merasa ingin punya dan takut kehabisan saat melihat barang lucu—apalagi kalau diskon.”
Aleph dan Shabrina sepakat promo besar-besaran yang diberikan berbagai platform marketplace setiap bulannya mendorong seseorang untuk memasukkan belanjaan mereka ke keranjang, atau menandakannya sebagai wishlist, dari jauh-jauh hari. Kalau ternyata barangnya enggak diskon atau harganya enggak sesuai harapan, tinggal dihapus saja.
Waitatiri, 26 tahun, merasakan kegiatan window shopping-nya di internet meningkat drastis sejak bekerja dari rumah. Sebagai pribadi yang aktif menciptakan konten baru, dia mengisi waktu luang dengan mencari barang-barang yang bisa mengusir kebosanannya. Tapi dari sekian banyak barang yang menarik perhatiannya, hanya segelintir yang dia beli — seperti buku sketsa untuk belajar gambar atau alat rajut untuk membuat selimut buat sang pacar.
Copywriter yang berdomisili di Jakarta ini sepemikiran dengan Manzila, 31 tahun, yang mengecek aplikasi marketplace karena ingin belanja tapi akhirnya jadi cuci mata. Mereka berdua tak tergiur sama sekali dengan yang namanya promo.
“Barangnya butuh dibeli tapi enggak urgent, [tapi] seringnya enggak jadi checkout karena dipikir-pikir belum butuh banget atau masih bisa diakali dengan barang lain,” ujar Manzila. Dia bahkan pernah enggak jadi beli apa-apa setelah melihat total harganya mahal jika diborong semua.
Meskipun demikian, kesulitan ekonomi bukan satu-satunya alasan orang enggak jadi meng-checkout belanjaan. Sebagian orang window shopping murni karena bosan dan ingin menyenangkan hati selama masa-masa yang penuh ketidakpastian. Kalian enggak bisa main bareng teman, dan enggak ada kegiatan juga selama di rumah. Apalagi yang bisa dilakukan selain belanja online, ya kan?
Imam Thamyiz bekerja di bagian event promotion. Perusahaan tempatnya bekerja enggak bisa menggelar pameran untuk memasarkan produknya karena terhambat PSBB di awal pandemi. Dengan berkurangnya pekerjaan, Imam menjadi semakin sering melihat-lihat bermacam situs e-commerce.
Dia tak jarang belanja secara impulsif, dan baru akan berhenti ketika keuangan menipis. Di saat-saat seperti ini, dia membiarkan belanjaan menumpuk di keranjang. Kesibukannya sekarang sudah kembali seperti semula, sehingga dia tak sempat buka-buka aplikasi olshop lagi.
Apakah barang-barang tersebut lantas diabaikan begitu saja dan enggak dibeli sama sekali? Tergantung. Bagi Waitatiri dan Patricia, mereka akan mendiamkannya di keranjang selama beberapa hari. Keduanya baru checkout jika mereka enggak bisa berhenti memikirkan barang incaran, terlepas penting atau enggak benda tersebut.
Lain halnya dengan Manzila. Butuh berbulan-bulan bagi ibu satu anak itu untuk meyakinkan diri memang membutuhkan barangnya. Dia sambil tetap mencari pilihan yang jauh lebih murah atau menunggu sampai ada teman yang menjual.
Aku menimang keranjang belanjaan untuk terakhir kalinya. Hm, kayaknya kucingku belum tentu mau tidur di kasur. Celana pendek di rumah juga masih banyak yang bagus. Untuk tatakan gelas… tinggal dilap kalau mejanya basah sehabis minum es kopi. Jempolku bergerak menghapus satu per satu barang yang barusan aku tambah ke keranjang, dan memindahkannya ke wishlist. Siapa tahu saja suatu saat nanti bakalan butuh…