Alasan Nelayan Indonesia Bertaruh Nyawa ke Malaysia, Meski Rentan Diculik Abu Sayyaf

RC04_ABU_SAYAF_STILLS

Artikel ini adalah bagian kedua sekaligus terakhir liputan khusus VICE memetakan pola operasi kelompok teror Abu Sayyaf yang rutin menculik nelayan Indonesia. Fokus kali ini membahas penyebab nelayan dari Tanah Air terus mempertaruhkan keselamatan dengan migrasi ke perairan Malaysia. Laporan sebelumnya mengulas pengakuan nelayan selama 20 bulan disekap kelompok teror tersebut. Dokumenter kami tentang tema ini sudah tayang dan bisa kalian saksikan di YouTube.


Kabar penculikan seorang nelayan asal Indonesia segera merebak ke seantero Sandakan, Malaysia. Syahir, lelaki yang berpuluh tahun menetap di Sandakan sebagai nelayan, adalah orang pertama ditelepon oleh keponakannya bernama Subandi, beberapa saat setelah diculik kelompok teroris Abu Sayyaf pada 2017.

Videos by VICE

“Saat pertama kami mendengar kabar itu, nelayan di sini panik. Ada yang ingin segera pulang [ke Tanah Air] karena takut. Saya bilang ‘tidak usah [takut], mau apa kita pulang karena kita ini sudah dikawal pemerintah di sini’,” kata Syahir.

Di malam Subandi dan dua awak kapal dikepung perompak, Syahir berada tak jauh dari lokasi penculikan. Menjelang pagi, tak ada kabar dari kapal Subandi. Syahir meraih radio di kapalnya, mencoba mengontak Subandi. Tapi tak ada jawaban di ujung sana. Baru dua hari kemudian, Subandi menelepon, mengatakan dirinya kini berada di hutan. Sambungan telepon lantas terputus sebelum Syahir menanyakan kabar. Syahir semakin yakin kemenakannya diculik Abu Sayyaf.

Rumor kebengisan kelompok Abu Sayyaf sejak lama beredar di lingkaran nelayan Sandakan. Pada 2016, dua nelayan asal Buton, Sulawesi Tenggara diculik Abu Sayyaf di dekat Sandakan. Petugas patroli air Malaysia akhirnya kerap mewanti-wanti mereka agar selalu waspada dan tak melewati batas perairan. Namun Syahir mengaku baru kali ini mendengar kabar penculikan di ladang pencaharian mereka, dan sialnya musibah itu menimpa rekan serta kemenakannya sendiri.

Syahir menduga anak buah kapal Subandi tertidur lalu terbawa arus hingga perairan Filipina, sebab jarak Sandakan hingga batas Filipina hanya 28 km. Syahir mengatakan, setiap kapal pukat dilengkapi Inshore vessel monitoring systems (IVMS), sebuah sistem berbasis jaringan GSM yang dapat di-install di ponsel, buat memonitor pergerakan tiap kapal.

1586850368751-RC04_ABU_SAYAF_STILLS00_14_00_04Still005
Pemandangan dari dermaga di Pelabuhan Sandakan, Malaysia.

Tiap kapal juga punya radar GPS yang menampilkan grafik pulau dan perbatasan. Jika Subandi memperhatikan itu semua, penculikan itu tak bakal terjadi, kata Syahir. “Sebab penculik itu tak akan berani masuk ke perairan Malaysia,” kata Syahir.

Keyakinan Syahir ini terbukti keliru.

Syahir maupun Subandi lahir dan besar di Liukang Loe, sebuah pulau kecil di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Bulukumba kondang sebagai daerah pembuatan perahu Pinisi, yang oleh UNESCO masuk dalam daftar ‘Mahakarya Warisan Budaya Turun Temurun.’ Bertolak belakang dari hingar bingar predikat itu, nama Liukang Loe nyaris tak pernah terdengar. Pulau itu berada 5 km sebelah selatan pantai Tanjung Bira. Luasnya hanya 5.67 km2, setara delapan kali luas lapangan sepakbola dan dihuni 218 kepala keluarga. Saking kecilnya, mungkin pulau ini tak bakal terlihat di atlas.

Lanskap Liukang Loe berupa batu karang dengan tanaman bakau di sebelah selatan. Tak ada jalan raya di pulau itu. Hanya jalanan sempit berkonblok yang menghubungkan rumah ke rumah. Hampir semua warga tak punya kendaraan bermotor. Sebab hanya perlu waktu kurang dari satu jam untuk pergi mengelilingi rumah-rumah warga. Betul-betul sepi.

Para warga menggantungkan hidupnya dari industri pariwisata, dengan menyediakan kapal penyeberangan, atau menangkap ikan secara tradisional menggunakan jaring atau pancing. Komoditas utama di sana adalah ikan yang tinggal di karang, seperti kerapu, cepa, dan baronang. Hasil tangkapan itu lantas dijual di pantai dan pelabuhan Bira, atau dijual antar tetangga. Rata-rata satu orang nelayan Liukang Loe hanya menangkap 5 kilogram ikan per hari. Lebih sering, mereka menggantungkan uang kiriman dari sanak famili yang merantau sebagai pelaut di negeri jiran.

Subandi, yang bernasib nahas diculik teroris ketika merantau, adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Hampir semua kakaknya merantau ke luar pulau, menyisakan seorang adik perempuan di kampung. Bapaknya, Sattu, adalah nelayan tradisional Bugis yang semasa mudanya kerap berlayar dari Laut Jawa hingga Laut Arafura. Penghasilannya tak menentu. Jika sedang bagus, dia bisa mendapat 20-30 kg ikan dan mengantongi Rp200 ribu per hari. Tak cukup buat modal melaut dan menghidupi delapan orang anak. Subandi lantas hengkang dari bangku SMP dan melaut secara penuh waktu ikut bapaknya.

Sejak 10 tahun terakhir Subandi menjadi nakhoda kapal pukat milik seorang pengusaha Tionghoa di Sandakan, Sabah, Malaysia. Dia sudah melaut sejak usia 10 tahun mengikuti bapaknya mencari ikan. Umur 17 tahun, dia telah mahir mengemudikan kapal. Subandi datang ke Sandakan di usia 30-an bersama istrinya, mengikuti jejak para nelayan Bulukumba yang telah bermigrasi ke Sabah sejak booming industri perikanan di era 1990-an. Dia pergi lewat Makassar menuju Nunukan, Kalimantan Utara menumpang kapal feri. Perjalanan itu ditempuh 3 hari 3 malam. Dari Nunukan, mereka pergi ke Sandakan lewat jalur darat.

“Waktu mereka kecil itu setengah mati mengurus mereka,” kenang Sattu, yang meski telah berusia hampir 80 tahun, masih kerap memancing ikan tanpa joran dengan perahu cadiknya. “Dulu waktu anak-anak masih sekolah saya selalu bilang, sekolahlah baik-baik biar jadi orang, tapi mereka lebih senang ke laut, berenang dan menyelam.”



Sattu ingin anak-anaknya memiliki profesi selain nelayan, seperti guru atau pengusaha. Tapi tradisi dan takdir berbicara lain. Darah pelaut kadung mengalir di nadi anak-anaknya. Sattu kini tinggal bersama anak perempuan dan suaminya di sebuah rumah panggung sederhana berkelir biru muda tepat di bibir pantai. Istrinya sudah lama meninggal. Rumah itu sepi. Suami putrinya juga turut dalam pelayaran perahu wisata Pinisi sebagai pelayan.

“Waktu mereka beranjak dewasa, memang mereka sudah menjadi nakhoda kapal. Tidak ada yang suruh,” kata Sattu.

Suku Bugis memang terkenal sebagai pelaut dan penyelam ulung. Mereka adalah perantau alami. Keturunan Bugis tersebar di hampir semua kota pelabuhan di Indonesia. Begitu pula Subandi yang tak memiliki rencana untuk menetap di kampung halamannya. Sejak kecil ia mahir menyelam sambil memanah ikan. Di kampungnya, para nelayan menggunakan kompresor sebagai alat bantu pernafasan agar bisa menyelam lebih lama hingga dasar laut.

Tapi tetap saja, dengan metode apapun, mereka tetap miskin. Sebab agar menghasilkan profit yang besar, mereka juga perlu mengeluarkan modal besar, itu berarti sebuah kapal besar dengan persediaan yang cukup untuk bekal melaut selama berhari-hari.

Itupun harus didukung infrastruktur industri yang memadai, seperti pasar ikan, fasilitas pendingin, dan alur transportasi logistik. Nelayan Liukang Loe tak punya itu semua. Rata-rata perahu yang dimiliki warga Liukang Loe bermesin kecil yang hanya sanggup melaut hingga 30 km dari pantai. Subandi sadar, jika ingin hidup berkecukupan dia harus hengkang dari pulau itu.

Perlahan semua anak muda yang cukup usia untuk bekerja meninggalkan pulau kecil itu. Menyisakan para orang tua, perempuan dan bocah-bocah.

Salah satu nelayan yang mengalami surutnya industri perikanan Bulukumba adalah Sunawir. Dia adalah tetangga sekaligus teman masa kecil Subandi. Usia mereka terpaut lima tahun. Sunawir merasakan sepinya kampung itu, ketika para pemuda berbondong-bondong mengemasi barang mereka untuk bekerja di Sabah. Dia sendiri ikut hijrah ke Sandakan menyusul kawan-kawannya.

Setelah hampir 20 tahun di Sabah, Sunawir memutuskan pulang ke Liukang Loe, membangun rumah bertembok batu bata dan membuka warung kelontong dari hasil menyisihkan gaji selama di Sandakan. Dari penghasilannya melaut, dia bisa menguliahkan anaknya sampai lulus. Kini Sunawir masih melaut di sekitaran Teluk Bone dan Laut Flores menjual apapun yang mampir ke jaring nelayannya.

“Teman-teman itu banyak yang ke sana [Sandakan],” kata Sunawir. “Akhirnya saya tinggal sendiri di kampung ini. Di sini tak ada apa-apa. Dari segi pengalaman pun kurang. Maka saya pergi buat mencari pengalaman. Saya pergi waktu masih membujang. Istilahnya pergi ke sana cuma sekedar mencari uang rokok.”

Industri perikanan Bulukumba memang belum serius dikembangkan. Pemerintah Kabupaten justru fokus pada budidaya ikan air tawar. Sementara pemerintah pusat tak juga turun tangan. Total produksi perikanan di kabupaten itu mencapai sekira 54 ribu ton pada 2014. Bandingkan dengan Sabah, yang rata-rata setiap tahun bisa mencapai 200 ribu metrik ton, dan menyumbang 2.8 persen dari total GDP di Sabah. Padahal dengan luas pengelolaan laut mencapai 950.000 km2, potensi perikanan di Bulukumba tentu tak kalah besar.

“Kami menunggu bantuan dari pemerintah,” kata Sunawir. “Karena kami ini sebagai nelayan, sebenarnya harus dilengkapi. Kami punya [alat] tetapi terkendala oleh biaya perlengkapan. Sehingga kami tidak bisa maksimal.”

Sandakan adalah kota kedua terbesar di Sabah setelah Kota Kinabalu. Topografi Sandakan berupa perbukitan landai yang menjorok ke laut, membentuk lanskap kota pesisir yang indah. Kota seluas 2.266 km2 tersebut dihuni sekira 150 ribu jiwa. Terletak di bagian timur Sabah, Sandakan punya sejarah panjang dan punya peranan penting bagi legitimasi kekuasaan pemerintah kolonial.

Di akhir abad 19, pemerintah kolonial Inggris menjadikan Sandakan sebagai pusat perdagangan dan mendorong transmigrasi warga Tionghoa dari Hong Kong untuk menggenjot perekonomian. Tak lama kemudian Sandakan mendapat julukan Little Hong Kong.

Sandakan adalah kota pelabuhan penting dalam industri perikanan Malaysia. Kota itu cukup dekat Laut Cina Selatan yang memiliki stok ikan melimpah sepanjang tahun. Nelayan cuma butuh waktu sekitar 3-4 jam untuk mencapai lokasi yang kaya akan ikan. Setidaknya 50 hingga 100 spesies ikan diperdagangkan di Sandakan. Pada 2016, total tangkapan nelayan Sandakan mencapai hampir 25 ribu metrik ton, dengan nilai mencapai hampir 78 juta ringgit, atau setara Rp257 milyar. Komoditas tersebut diekspor antara lain ke Hong Kong, Tiongkok, Jepang, Arab Saudi, dan Brunei Darussalam.

Salah satu tempat yang paling ramai dikunjungi setiap hari adalah pasar ikan Sandakan. Setiap pagi, puluhan kapal membongkar muatan di pasar itu, menyediakan bermacam ikan mulai dari tuna sirip kuning yang langka hingga hiu. Pada 2015, pemerintah Sabah berencana membangun fasilitas pendingin ikan terbesar di negara bagian itu, yang menelan dana 2,5 juta ringgit atau setara Rp8 milyar, demi memenuhi permintaan ekspor.

1586850191158-RC04_ABU_SAYAF_STILLS00_00_21_19Still008
Abu Sayyaf dalam cuplikan video latihan mereka di salah satu Kepulauan Sulu, Filipina.

Dengan tata kota khas jajahan Inggris, Sandakan sekilas terlihat dan terdengar cukup damai dan makmur. Namun kedamaian di kota itu terpaksa tunduk di bawah ancaman penculikan Abu Sayyaf.

Sejak 2000, penculikan Abu Sayyaf kerap terjadi di Sabah, di perairan maupun di darat. Setidaknya 32 orang telah diculik Abu Sayyaf dalam kurun 2000-2015 di negara bagian itu. Pada malam hari 14 Mei 2015, empat orang anggota Abu Sayyaf berpakaian ala militer lengkap dengan bedil laras panjang dan pistol menyatroni restoran seafood Ocean King yang terletak di bibir pantai Sandakan dan menculik manajer Thien Nyuk Fun dan tukang listrik Bernard Then.

Thien bebas enam bulan kemudian dengan uang tebusan 30 juta peso atau Rp8 milyar. Sementara Then mengalami nasib mengenaskan. Kepalanya ditemukan terbungkus di dekat sebuah kantor pemerintah di Jolo. Then menjadi warga negara Malaysia pertama yang diculik dan dibunuh oleh Abu Sayyaf.

Pasca kejadian itu, Ocean King berubah menjadi bangunan terlantar berlumut yang ditumbuhi tanaman liar. Sepertinya tak ada orang yang mau mengambil risiko untuk membuka restoran itu kembali dan mengharap musibah datang untuk kedua kalinya.

Bahkan saking maraknya, pemerintah Malaysia mengklaim telah menggagalkan 40 percobaan penculikan di Sabah hanya dalam kurun Januari tahun ini saja. Kota Sandakan seketika berubah menjadi mencekam setiap malam. Sejak 2016 hingga sekarang, pemerintah Sabah masih memberlakukan jam malam dari pukul 6 sore hingga 6 pagi di beberapa kota, termasuk Sandakan. Suasana berubah menjadi tegang ketika matahari terbenam, sebab tak ada yang pernah tahu kapan penculikan akan terjadi lagi.

Kendati patroli maritim terus digalakkan di sekitar Laut Cina Selatan dan Laut Sulu, para nelayan itu bergelut dengan nasib sendirian. Kendati pemerintah Malaysia telah memasang delapan radar pesisir canggih, jumlah personel polisi maritim di Malaysia tak cukup buat mengamankan garis pantai Sabah timur yang mencapai 1.400 km. Pemerintah Indonesia juga tak bisa menjamin keamanan nelayan WNI, dan hanya bisa memberikan imbauan untuk tidak melaut saat situasi tidak kondusif.

Lantas apa yang membuat ribuan nelayan asal Indonesia bertaruh nyawa di negeri jiran alih-alih melaut di negeri sendiri? Selain uang, juga kestabilan dan kesejahteraan. Yang membedakan industri perikanan Sabah dan Indonesia adalah peraturan dan infrastruktur, yang pada akhirnya akan menentukan kesejahteraan nelayannya. Malaysia tak melarang praktik penggunaan kapal pukat harimau di perairan sekitarnya, serta memiliki peraturan yang longgar bagi pengusaha ikan dan nelayan.

Dari data Departemen Perikanan Sabah, negara bagian itu memiliki 1.442 kapal pukat pada 1998. Angka itu diprediksi naik lima kali lipat pada dekade awal 2000. Rata-rata kapal pukat tersebut berukuran sedang dan memiliki panjang jaring hingga 20 meter dan lebar 10 meter. Di kiri dan kanan jaring dipasang satu bilah papan yang berfungsi sebagai pemberat.

Kapal pukat di Sabah kebanyakan beroperasi di laut dalam, mengambil apapun dari dasar laut seperti bebatuan, karang, ikan kecil, udang, dan ikan besar. Maka nama pukat harimau tak berlebihan dipakai, sebab tidak ada yang lolos dari jaringnya. Hasil tangkapan itu kemudian dipilah berdasarkan jenis. Ikan kecil biasanya diolah menjadi bakso ikan atau pakan ternak. Sementara ikan besar dan udang berakhir di pasar ikan atau kontainer ekspor.

Di Indonesia, kapal pukat sudah dilarang sejak 1980-an. Alasannya, pukat dianggap merusak ekosistem tempat tumbuhnya organisme atau jasad renik yang menjadi makanan ikan dan juga merusak terumbu karang. Terlebih dia juga menangkap ikan kecil, yang berpotensi mengancam stok ikan di laut. Menurut data WWF Indonesia, sekitar 60-82 persen hasil pukat adalah tangkapan sampingan yang memiliki nilai pasar kecil.

1586850448018-RC04_ABU_SAYAF_STILLS00_16_19_05Still006
Subandi sudah kembali menyelam dan melaut setelah bebas dari penculikan Abu Sayyaf.

Sejak menteri Susi Pudjiastuti berkuasa pada 2014, sederet peraturan baru diterapkan, termasuk penegasan kembali larangan pukat. Susi memberlakukan moratorium penggunaan kapal eks-asing dan izin menangkap ikan bagi kapal asing di seluruh perairan Indonesia, alasannya moratorium itu efektif mencegah pencurian ikan. Menteri tersebut juga melarang transhipment alias bongkar muat di tengah laut, sebab berpotensi terjadi kecurangan (unreported fishing).

Sayangnya, sederet peraturan tegas itu (termasuk penenggelaman kapal asing yang tertangkap basah mencuri ikan di perairan Indonesia) tak dibarengi pembangunan infrastruktur yang memadai yang terkendala ruwetnya birokrasi.

Dari data United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia memiliki potensi kelautan mencapai US$2,5 triliun per tahun. Sebanyak 25 persen penduduk di pesisir dari total populasi juga menggantungkan hidupnya dari laut. Potensi itu, sayangnya, baru bisa dikelola sebesar 7 persen saja.

Meski Indonesia mengklaim bahwa neraca perdagangan ikan naik sejak pemberlakuan moratorium, dalam roadmap yang disusun oleh Kamar Dagang Indonesia (Kadin) kurun 2015-2019, Indonesia belum optimal dalam mengelola potensi perikanan pulau-pulau kecil. Pembangunan sarana pendukung, ketersediaan BBM, serta sarana pengolahan ikan juga masih kurang di sejumlah daerah.

Salah satu sentra industri perikanan yang terkena dampak ketatnya peraturan Susi dan kurangnya pengembangan infrastruktur adalah Bitung, Sulawesi Utara. Kota di bagian paling ujung Sulawesi itu berjuluk Kota Cakalang dan menjadi salah satu tulang punggung industri perikanan Indonesia. Setiap tahun Bitung bisa menghasilkan rata-rata 45.000 ton ikan. Bitung terkenal dengan produk tuna kalengan yang diekspor ke mancanegara. Melimpahnya stok itu, sayangnya, tak didukung adanya fasilitas pendingin (cold storage).

Djefri Sagune, Ketua Himpunan Pengusaha Kecil Nelayan (HIPKEN), adalah orang yang paling vokal dalam mengkritik kebijakan Susi. Djefrie pernah memimpin ratusan nelayan dalam demonstrasi menentang kebijakan Susi di DPRD Bitung pada 2014. Baginya kebijakan moratorium penggunaan kapal eks-asing hanya membuat nelayan kehilangan pekerjaannya. Peraturan itu melarang penggunaan kapal berbobot di atas 30 gross ton buatan asing, lantaran sulit untuk memantau izinnya.

“Sejak 2014 diperkirakan ada ratusan kapal yang tak bisa melaut karena tak mendapat izin dari pusat,” kata Djefrie di dermaga Bitung. “Fasilitas pendingin dan sarana transportasi pendukung distribusi juga tak maksimal.”



Karena tidak adanya fasilitas pendingin yang cukup, kata Djefrie, para nelayan terpaksa bongkar muat di laut (biasa disebut transhipment) di perairan Filipina, dekat kota pelabuhan General Santos yang menjadi salah satu sentra industri perikanan terbesar di Asia Pasifik. Tujuannya semata agar ikan tangkapan tak membusuk di tengah perjalanan. Tapi itu pun juga belakangan dilarang oleh Susi. Kebanyakan hasil tangkapan nelayan dari Bitung langsung dijual ke pengepul, yang memiliki fasilitas pendingin sendiri. Karena transportasi logistik juga kurang, sekira 35 persen dari total tangkapan berakhir sebagai wasted commodity karena tak layak konsumsi.

“Soal cold storage sudah beberapa kali saya usulkan ke Kementrian Kelautan dan Perikanan,” kata Djefrie. “Saat ini belum terealisasi. Dulu ibu Menteri [Susi] selalu bilang ingin mengembangkan Bitung seperti General Santos di Filipina. Kapan itu bisa terjadi, kalau fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan ini tidak menunjang?”

Djefrie yakin seandainya potensi perikanan dan infrastruktur diolah secara optimal, nelayan Indonesia tak perlu lagi mengais rezeki ke negeri tetangga.

“Kalau fasilitas penunjang kapal yang ada cukup banyak, para pekerja tidak perlu lagi mencari [ikan] ke tempat lain,” tandas Djefrie.

Ancaman penculikan sewaktu-waktu di kota itu rupanya tak membuat para nelayan di pelabuhan Sandakan untuk melaut. Sore hari ketika VICE menyambangi pelabuhan itu September tahun lalu, para nelayan tengah seru bermain judi dadu. Lainnya bersantai di kapal masing-masing, sambil menelepon sanak famili di kampung atau sekedar mengaso.

Puluhan kapal pukat berjejer rapi, menanti giliran melaut. Ada sekitar 6.000 hingga 7.000 nelayan asal Indonesia di Sabah menurut data Kementerian Luar Negeri. Media Malaysia bahkan meyakini, bila nelayan Indonesia di Sabah berhenti melaut, industri perikanan di negara itu bakal lumpuh.

Syahir tak punya rencana pulang ke Bulukumba meski keluarganya terus memaksa. “Yang penting lebih berhati-hati lagi [ketika melaut],” tukasnya.

Sebelum pemerintah benar-benar fokus mengembangkan industri perikanan Bulukumba dan wilayah dengan potensi ekonomi serupa di Tanah Air, maka muda-mudinya yang melaut—seperti Sunawir dan Subandi beberapa tahun lalu—bakal terus bermigrasi ke negeri jiran. Nama pulau Liukang Loe juga tetap samar di telinga masyarakat, dan sekadar menjadi setitik hitam, yang seolah tak memiliki arti apapun, di peta industri perikanan Indonesia.