Perseteruan berlarut-larut antara dua influencer Kartika Putri dan dr. Richard Lee kini berkembang jadi pertanyaan serius tentang prosedur penyelidikan polisi. Pertanyaan ini muncul usai video tangkap paksa yang menimpa Richard Lee tersebar di media sosial.
Selain karena situasi penangkapan yang terekam sangat tak menyenangkan ditonton, alasan tangkap paksa ini terdengar absurd bagi awam hukum: karena dr. Richard Lee melawan hukum dengan mengakses akun Instagram pribadinya, yang saat itu berstatus barang bukti sitaan polisi. Well, sejak kapan akun media sosial bisa jadi barang bukti?
Videos by VICE
Sebelum menjawab pertanyaan itu, bagi pembaca yang awalnya enggak peduli mungkin mau tahu kronologi sengketa Kartika Putri dan Richard Lee ini.
Mulanya Agustus tahun lalu. Richard mengulas lewat video di Instagramnya bahwa menurut hasil pemeriksaan laboratorium, satu merek krim pemutih yang pernah dipromosikan Kartika Putri berbahaya. Krim itu mengandung zat penghilang bercak hitam hidrokuinon dalam jumlah tinggi sehingga penggunaannya perlu resep dokter.
Oleh Kartika, pesohor dengan 1,3 juta pengikut di YouTube dan 13,7 juta di Instagram, pernyataan ini dianggap menyinggung. Pada Desember 2020, ia melaporkan Richard, dokter domisili Palembang dengan 2,6 juta pengikut di YouTube dan 700 ribu di Instagram, ke Polda Metro Jaya. Tuduhannya adalah melanggar UU ITE pasal pencemaran nama baik.
Richard kemudian diperiksa sebagai saksi pada Februari 2021. Bulan itu pula ia melaporkan balik Kartika menggunakan pasal yang sama ke Polda Sumatera Selatan. Sementara kasus Richard di Polda Metro Jaya berjalan, aparat menyebut akun Instagramnya disita sebagai barang bukti, dan karena itu tak boleh digunakan sementara.
Menurut polisi, larangan mengutak-atik barang bukti ini dilanggar Richard sehingga ia ditangkap. Pada 6 Agustus kemarin, Richard rupanya login ke akunnya sendiri untuk mengunggah beberapa video endorsement. Ia juga menghilangkan postingan yang sedang dalam pelaporan.
“Penyidik menemukan beberapa bukti yang kami sita telah dihapus oleh yang bersangkutan. Oleh sebab itu, kami melakukan penangkapan,” kata Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Rovan Richard Mahenu, Kamis (12/8), dilansir Tempo.
“Padahal secara sadar, saudara R mengetahui akun tersebut telah disita berdasarkan surat penyitaan tanggal 5 Agustus Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, dikuatkan dengan penetapan penyitaan dari PN Jaksel tanggal 8 Juni 2021 yang kemudian dibuatkan berita acara penyitaan pada tanggal 10 Juni 2021,” tambahnya.
Richard ditangkap di rumahnya di Palembang, pukul 7 pagi kemarin (11/8). Kuasa hukumnya, Razman Arif Nasution, mengaku sempat dihubungi korban dan meminta polisi menunggu ia tiba di lokasi. Namun, Richard tetap dicokok polisi. Kini pengacara dan keluarga berencana melaporkan balik proses penangkapan paksa tersebut ke propam.
Richard Lee kini disangkakan dengan dua pelanggaran, Pasal 30 UU ITE tentang akses ilegal (masuk ke akun yang sedang disita) dan Pasal 231 KUHP tentang penghilangan barang bukti (penghapusan konten sengketa).
Pada konferensi pers 11 Agustus 2021, Ditkrimsus Polda Metro Jaya Auliansyah Lubis menyatakan akun media sosial yang sedang disita tidak boleh diakses karena sedang dalam kuasa penyidik. Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus menganalogikan kesalahan Richard dengan contoh kasus rumah yang sedang dipasangi garis polisi, namun pelaku tetap masuk ke rumah sehingga dianggap melanggar hukum.
Keterangan tersebut menjadi informasi baru tentang penggunaan UU ITE. VICE menghubungi Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu untuk meminta opini pembanding. Apa benar akun media sosial kita bisa disita polisi dan kita tidak bisa mengaksesnya selama kasus berjalan?
“Pertanyaannya bukan boleh atau enggak [akun media sosial disita polisi], tapi apa yang harusnya disita. Instagramnya Richard ini kan disebutkan kasusnya penghinaan. Yang jadi alat bukti itu postingan kan, kontennya, bukan [akun] IG-nya,” kata Erasmus kepada VICE.
“Barang bukti perlu disita karena ditakutkan bisa dihilangkan atau berubah bentuk. Postingan di Instagram itu kan enggak bakalan hilang. Pada saat [dulu] dia [polisi] menyita harusnya langsung uji forensik, divalidasi. Bagian mana [dari] kontennya [yang bermasalah]? Itu kan sudah lama masalahnya. Misalkan saya bunuh orang pakai pisau dari dapur, masa kamu sita rumahnya? Kan logikanya enggak masuk akal,” tambahnya.
Erasmus menganggap pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah polisi sudah melakukan validasi forensik atas konten yang dipermasalahkan. Ia menilai kasus ini jadi adalah preseden berbahaya untuk masa depan.
“Instagram ini kan tempat dia mencari makan, apa urgensinya melakukan penyitaan? Makanya, saya nilai ini udah enggak ada kontrol sama sekali, udah lepas kendali. Kewenangan [polisi] terlalu besar makanya kami rekomendasikan untuk revisi KUHP,” tutup Erasmus.