Kita semua pengin dihibur, terutama ketika sedang mengalami masa-masa kurang menyenangkan. Wajar dong? Tapi aku gak pernah tuh misalnya sedang stres di kantor kepikiran “Wah butuh asupan foto anjing nih”, terus aku nge-twit, “hei mutualku, bagi foto binatang lucu dong.”
Kenyataanya banyak sekali model orang seperti ini. Mereka hobi ngetwit atau ngepost di Facebook yang isinya minta kenalan di medsos mengirimkan foto-foto binatang lucu (anjing, kucing, burung, spesiesnya bebas, yang penting unyu) agar mood mereka membaik.
Videos by VICE
Kalau kamu enggak tahu apa yang kumaksud, berikut beberapa contohnya:
Kenapa sih orang bisa berperilaku kayak gini? Kalau memang rasa sedihmu dapat disembuhkan foto-foto anjing dan kucing, kan ada mbah Google. Tinggal masuk ke Google, ketik “kucing lucu” atau “cute dogs”, udah deh, kamu langsung kebanjiran foto-foto binatang yang dianggap lucu sama algoritma. Instagram pun sama saja.
Di Twitter malah banyak akun-akun yang khusus dibuat seolah mereka dijalankan oleh anjing beneran, lengkap dengan pengejaan kata yang ‘imut’. Nih contohnya:
Apa akunya aja manusia yang kelewat serius dan berhati dingin? Jangan-jangan aku brengsek? Tapi aku memang selalu merasa risih ketika membaca twit seseorang memohon sesama netizen agar mengirimkan foto hewan imut, hanya karena dia “having a bad day”. Geli bacanya.
Sialnya memang benar, ternyata hatiku mungkin beku. Ini dikonfirmasi beberapa peneliti sosial dan psikolog. Aku punya beberapa teori sendiri mengenai ini sebelum mulai menulis artikel ini. Ternyata menurut parah ahli, semua teoriku ngawur.
Salah satunya bahwa googling sendiri foto imut binatang tidak sama dengan meminta orang lain mengirimkan foto lucu binatang, karena yang orang inginkan itu sebetulnya sensasi dopamin dari munculnya notifikasi. Like, love, atau balasan-balasan lain itulah yang sebetulnya kita dambakan.
Lagi-lagi aku (sedikit) salah.
“Koneksi sosial adalah salah satu kebutuhan mendasar manusia. Jadi terlepas dari efek dopaminnya, respons orang lain membuat kita merasa lebih terhubung dan tidak sendirian,” ujar Pamela Rutledge, direktur lembaga penelitian independen non-profit Media Psychology Research Center.
“Meminta kiriman foto lucu binatang it sama seperti meminta hal-hal lain yang dianggap lucu atau membuat hati adem, intinya mereka meminta sesuatu yang membuat mereka senang,” ujarnya. “Binatang imut, terutama anjing kecil, memicu respons biologis yang hangat dalam tubuh manusia karena efeknya sama dengan melihat bayi, ditandai dengan karakteristik mata dan kepala yang besar. Ini memicu insting kita sebagai pengasuh.”
Di titik ini, tampaknya hatiku lah yang kelewat dingin karena mempermasalahkan kiriman foto kucing dan anjing imut. Tapi aku butuh opini kedua, maka aku bertanya ke psikolog Erin Vogel.
“Melihat hal-hal imut cenderung membuat perasaan manusia lebih baik,” ujar Vogel. Sains sudah mendukung teori ini. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2015 menunjukkan bila aktivitas menonton video kucing di internet membuat rasa cemas, sedih dan bete penonton berkurang.
Vogel menambahkan bahwa meminta asupan binatang imut alih-alih mengeluhkan hari yang buruk bisa menjadi cara mengubah sesuatu yang negatif menjadi positif. “Membutuhkan perhatian dan dukungan adalah sesuatu yang alami, tapi kadang norma-norma yang berlaku di media sosial bias terhadap orang-orang yang meminta dukungan,” ujarnya.
Penjelasan Vogel lagi-lagi mematahkan teoriku (yang ngawur) tentang fenomena meminta foto imut binatang: bahwa itu semacam tes loyalitas, dan tidak ada bedanya dengan postingan berantai yang sering meminta orang terdekat mengunggah ulang postingan tersebut sebagai bukti bahwa postingan itu dibaca. Yaelah, memangnya kalau aku enggak mengirimkan foto kucing gendut, berarti aku teman yang buruk?
Sebetulnya, ini justru cara untuk berinteraksi dengan tingkat komitmen rendah. Si peminta foto secara tidak langsung mengakui bahwa mereka sedang mengalami hari yang buruk, dan teman-temannya mendapatkan undangan terbuka untuk mengunggah foto binatang peliharaan kesayangan mereka. Ini adalah cara untuk terus terhubung.
“Bukan hanya faktor tampang imut binatang yang membuat kamu senang, tapi kamu juga merasa bahwa orang tersebut mendukung kamu… Mengirimkan foto binatang imut adalah satu cara kreatif untuk menunjukkan dukungan di dunia maya,” ujar Vogel. “Dukungan sosial datang dalam banyak bentuk, mulai dari mendengarkan masalah seseorang hingga mengirim uang ke seseorang. Mengirimkan foto imut bisa menjadi cara untuk menunjukkan simpati dan kepedulian.”
Aku harus mengakui sebetulnya dulu pernah meminta secara privat ke teman untuk mengirimkan foto binatang peliharaan mereka ketika mood sedang buruk, atau ketika aku selesai berkeluh kesah tentang situasi dalam hidup dan ingin menyalurkan energi tersebut menjadi sesuatu yang lebih positif. Teman-temanku tidak pernah lalai mengirim, karena mereka orang-orang baik, dan seringkali kami jadi ngobrol tentang kucing dan keanehan-keanehan mereka.
Seringkali internet membuka dan memperburuk sisi gelap masyarakat kita—kesepian, kekerasan, dan kesedihan—dan tentunya sebuah foto kucing tidak akan bisa menggantikan peran percakapan dan dukungan. Tapi foto binatang imut di internet bukanlah bagian dari masalahnya.
Aku bertanya ke Ken Klippenstein, yang bertanggung jawab atas tweet di atas, kenapa dia merasa tergerak untuk meminta netizen mengirimkan dia foto-foto binatang imut. “Entah ya, mungkin memang aku suka banget anjing, tapi melihat pemilik binatang sayang banget dengan peliharaannya juga menyentuh,” ujarnya. “Saya jadi terhibur.”
Oke deh. Aku akan belajar supaya ke depan tidak sering jadi manusia brengsek.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.