Jerman adalah tim nasional dengan pendukung paling banyak di Cina. Selain dari bukti yang kentara di depan mata—sejumlah besar penduduk Shanghai yang berjalan dengan mengenakan jersey KW tim panser—saya bisa tahu fakta ini setelah membaca hasil jajak pendapat yang dilakukan awal tahun ini berdasarkan pengauan ribuan pengguna medsod di Cina yang mendukung Jerman alih-alih timnas lainnya dalam gelaran Piala Dunia 2014 dan 2010.
Survei di atas—diselenggarakan Center for the International Business of Sport (CIBS), Coventry Universit— juga mengungkap Arsenal adalah klub yang paling punya banyak fan di Cina. Lagi-lagi indikator sederhana: banyaknya orang yang bersliweran memakai jersey kw Arsenal dan viralnya fan art yang menggambarkan Lukas Podolski naik di kuda di medsos dan ramainya acara nobar di Shanghai saban kali The gunners bertanding.
Videos by VICE
Untuk semakin membuktikannya, saya mencoba melakukan wawancara kecil-kecilan saat mampir ke German Center di distrik Pudong, Shanghai. Kejadiannya empat tahun lalu. Saat itu saya mampir awalnya buat menyaksikan laga antara skuad asuhan Joachim Löw kontra timnas Prancis dalam babak perempat final Piala Dunia 2014.
Saya akhirnya dapat penjelasan soal fanatisme pecinta bola di Cina terhadap Timnas Jerman dari Profesor Simon Chadwick, direktur CIBS. “Dukungan terhadap Jerman dan Arsenal di Tiongkok itu saling berkaitan,” ujarnya. “Yang menyamakan keduanya adalah keberadaan tiga pemain: Ozil, Mertesacker, dan Podolski. Ozil khususnya punya tempat spesial karena ada bukti yaang menunjukkan bahwa pemain satu sudah jadi ikon di Cina.”
Ozil mungkin sudah jadi ikon di Tiongkok, tapi saya belum paham kenapa hal itu bisa terjadi. Beberapa pertanyaan di kepala saya belum kunjung terjawab. Misalnya, kenapa penggemar sepakbola Cina lebih memilih midfielder Jerman itu daripada, misalnya, pemain Guangzhou FC, Zhao Xuri atau maestro Adrea Pirlo sekalian?
Apakah mungkin ada semacam solidaritas antara Cina dan Jerman karena secara ekonomi kedua negara adalah raksasa di wilayahya masing-masing? atau karena prestasi timnas Cina yang semenjana di level global (capaian terbaik mereka sekadar tampil di penyisihan grup Piala Dunia 2002)?
“Gara-gara buruknya prestasi timnas Cina, penggemar sepakbola lokal berpaling ke timnas yang lebih prestasinya lebih mentereng,” ungkap Profesor Chadwick. “Selain itu, penduduk Tiongkok kerap mengacu ke brand-brand barat menentukan barang yang hendak mereka konsumsi. Timnas sepakbola dalam sudut pandang ini tak lebih dari brand barat lainnya.”
Nah, bila timnas Jerman tak lebih dari sekadar brand, Feng Jiong Lin (34 tahun) adalah salah satu pemegang sahamnya. Dia rajin membeli pernak-pernik tim panser. Ketika saya bertemu dengannya saat menunggu bus menuju tempat nobar, saya melihat di meja penjual merchandise timnas Jerman menggunakan postur tubuhnya dalam permainan Mr. Potato Head. Setelah menaruh bendera dan drum yang dia pakai agar bisa mencat pipi saya dengan bendera Jerman, dia mengaku sudah mengikuti perjalanan timnas Jerman selama 24 tahun.
“Aku mulai menjadi suporter timnas Jerman sejak Piala Dunia 1990. Awalnya ikut-ikutan ayah doang sih,” ujarnya, sembari menguaraikan teorinya tentang timnas Jerman begitu populer di Tiongkok. “Cewek-cewek sini mikir kalau pria Jerman itu ganteng, khususnya beberapa tahun inilah.”
Tonton dokumenter VICE Sports mengenai perjuangan narapidana Uganda merawat kewarasan dengan ikut turnamen sepakbola meniru tim-tim besar Eropa:
Istri Feng, Song Jie, seorang jurnalis bisnis berusia 34 tahun, memamerkan dua foto keluarga mereka. Foto paling anyar diambil saat momen Piala Dunia 2010. “Aku khawatir suami enggak bisa terima kalau Jerman kalah,” katanya dengan suara yang pelan. “Aku senang bisa hidup bersama seseorang yang terobsesi timnas Jerman. Kamu akan melihat kecintaannya dan passionnya untuk timnas Jerman saat nobar. Begitu melihatnya, kamu juga akan jatuh cinta pada suamiku.”
Setiba di German Center, kami menyerahkan uang sebesar 150 Yuan (sekitar Rp326 ribu) pada lelaki ini—wajahnya bisa dipercaya banget kan?
Uang sebanyak itu sudah mencakup harga tiket masuk, makanan ringan dan bir yang bisa direfill setiap saat. Semua fan Jerman yang ada di sana minum bir dengan mug dan mengenakan kalung bertema bendera Jerman. Kalian bisa ngomong apapun—atau mencerca kalau perlu—tentang pelawak, musik rap dan birokrasi Jerman, yang jelas negara ini tahu cara menghabiskan malam dengan penuh kegembiraan.
Perempuan ini bernama Yang Houqing, tenaga pemasaran berusia 29 yang rela menempuh perjalanan sejauh 100 mil untuk nonton bareng laga timnas Jerman di Shanghai. “Aku suka keperkasaan timnas Jerman sih,” ujarnya. “Penggemar sepakbola di Cina umumnya mengaku mendukung timnas Cina. Cuma ya gitu pretasinya biasa saja. Jadi mereka menemukan hiburan, ketenangan dan kepuasaan dengan nonton timnas negara lain.”
Yang menambahkan kalau pemain Jerman favoritnya adalah Bastian Schweinsteiger, yang dijuluki “babi kecil” di Cina. “Aku mengikuti sepak terjangnya sejak 2005—kami seumuran,” katanya. “Saya sih merasa kami tumbuh dewasa bersamaan—kayaknya, dia teman saya saat beranjak dewasa.”
Selepas ngobrol tentang hubungan konseptual antara Yang dan Bastian yang sudah mereka arungi selama sembilan tahun, sekarang saatnya penonton berbaris menyanyikan lagu kebangsaan Jerman. Kumpulan fan yang dipimpin Feng saling mengaitkan tangan dan mengibarkan bendera Jerman dan komat-kamit mengikuti lirik “Das Lied der Deutschen” yang diputar keras lewat pengeras suara.
Aneh rasanya melihat sekelompok suporter timnas Jerman menunjukkan perhormatan mendalam terhadap negara yang mungkin tak pernah mereka kunjungi.
Saya tak perlu menunggu lama untuk menyaksikan apa yang dimaksud Song Jie dengan passion besar suaminya akan timnas Jerman. Pertandingan baru berjalan 12 menit saat sundulan Mats Hummels mengoyak gawang Perancis dan membawa Der Panzer unggul 1-0. Gol ini disambut dengan kibaran bendera dan gebukan drum yang bertalu-talu. Jangan tanya yang Feng dan kawan-kawannya lakukan. Mereka menggila.
Saya memang sudah membaca hasil survei CIBS, tetap saja saya dibikin terkagum-kagum oleh luapan emosi di German Center. Mulanya, saya pikir hasil penelitian CIBS dan ramainya dukungan terhadap Jerman di media sosial cuma menunjukkan satu hal: penduduk Cina mendukung timnas negara asing lantaran prestasi timnas negaranya cupu. Nyatanya, setiap orang yang saya ajak ngobrol mengaku sudah mengikuti sepak terjang timnas Jerman selama beberapa tahun, bahkan dekade. Sejumlah orang malah mengemukakan kenangan yang bikin mata berair tentang kali pertama melihat
Kahn, Klinsmann, Brehme, Matthäus, dan pemain Jerman lainnya di TV. Sebagian besar juga mengaku punya tim kesayangan di Bundesliga.
Pria yang satu ini, Jin Keng namanya, seorang PNS berusia 35 tahun, menarik saya saat pertandingan masih berlangsung cuma untuk menunjukkan foto tim amatir tempat dia bermain. Jersey tim Jin penuh dengan pernik-pernik timnas Jerman—dari mulai kaos kaki hingga bagian lainnya.
“Banyak dari kami suka Bayern Munich,” Katanya. “Aku sudah jadi pendukung Jerman dan Bayer Munich dari 1990. Fan Jerman biasanya loyal. Kalau malam ini Jerman keok, mereka akan nangis. Iya nangis sampai keluar air mata.”
Dua puluh menit terakhir malam itu berlangsung tegang. Kesebalasan Perancis seperti akan membobol gawang Jerman kapan saja. Akhir pekan, semua yang nonton bareng malam itu bisa kacau balau kalau Perancis sampai bisa menjaringkan bola. Untungnya, tembok pertahanan Jerman sangat kokoh dan mereka melangkah ke final. Hasil yang ditingkahi teriakan kegembiraan dari semua penonton dalam German Center.
Saya langsung teringat perkataan Profoser Chadwick, “Fan sepakbola Cina lebih berhati-hati memilih apa yang mereka konsumsi dari apa yang kita bayangkan. Mereka punya alasan saat memilih mendukung timnas Jerman.“
Ketika saya bertanya pada para fan di German Center apa yang membuat mereka mencintai timnas Jerman. Jawabannya variatif kendati berkutat pada tiga frase: “kekuatan,” “disiplin,” dan “taktik yang keren.” Susah untuk tak sepekat dengan mereka. Apa yang disuguhkan oleh skuad Der Panzer memang tak seindah permainan tim-tim Amerika Selatan—serta beberapa tim Eropa.
Meski demikian, permainan Jerman selalu bisa diandalkan untuk menghadirkan kemenangan—atau menghindari kekalahan. Jadi, kalau kamu ingin menghabiskan waktu dan uangmu untuk mendukung timnas negara yang terletak 8.000 km dari tempatmu hidup, pastikan timnas negara itu bisa lolos—minimal—sampai babak semifinal turnamen internasional apapun.
“Tugas saya adalah menciptakan atmosfer yang keren dengan genderang saya jadi semua orang bisa ikut menunjukkan dukungannya pada timnas Jerman,” kata Feng, ketika bus yang membawa meninggalkan German Center. “Saya sendiri enggak bakal bisa pergi ke Jerman, makanya yang saya bisa lakukan adalah berada di sini dan menggunakan kesempatan ini untuk mendukung tim favoritku. Sebagai seorang fan Jerman yang ditugasi memimpin dan menciptakan atmosfer yang menyenangkan, saya sudah bangga.”
Jamie Fullerton adalah seorang jurnalis lepas asal Inggris. Tulisannya pernah dimuat di Times, Sunday Times, Independent, dan berbagai surat kabar lainnya.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK