Life

Realitas Sedih: Fitur Medsos Makin Gak Kreatif dan Cuma Ngikutin Aplikasi Sukses

Ilustrasi logo aplikasi medsos dicampur aduk

Aku menyentuh tombol hati di kanan bawah Instagram untuk mengecek notifikasi, tapi malah dibawa ke laman marketplace. Bingung, aku memastikan enggak salah buka aplikasi. Beneran Instagram, kok. Aku menyadari tak lama kemudian kalau rupanya tombol notifikasi sudah pindah ke atas. Hal yang sama terjadi ketika aku ingin mengunggah foto ke Instagram. Aku memilih tombol tambah, tapi yang keluar justru Reels — fitur video 15 detik yang baru diluncurkan platform tersebut. Aku enggak mau buka Reels atau belanja. Aku cuma kepengin main Instagram.

Dewasa ini, hampir semua aplikasi media sosial yang kita gunakan semakin mirip fitur dan fungsinya dengan satu sama lain. Pada Mei, Instagram merilis Instagram Shop yang gaya dan fungsionalitasnya mengingatkanku pada aplikasi Depop. Reels diluncurkan Agustus lalu, dan pada dasarnya enggak jauh beda sama TikTok. Jejaring sosial Twitter bahkan ikut-ikutan bikin Fleets, fitur ala Instastory yang ngikutin Snapchat dan diplagiat Facebook Stories. Intinya, kalian sekarang menggunakan berbagai aplikasi untuk tujuan yang sama.

Videos by VICE

Kalau boleh jujur, semua kesamaan ini cukup membingungkan. Setiap aplikasi medsos dulu punya manfaatnya masing-masing. Instagram cocok buat orang-orang yang hobi pamer selfie dan foto liburan. Di Twitter, kalian bisa berkeluh kesah sesuka hati atau berlagak seolah-olah orang paling pintar sedunia. TikTok adalah tempat terbaik melarikan diri dari kegilaan dua aplikasi tersebut. Apa sebenarnya manfaat bikin fitur yang sudah ditawarkan platform lain? Kenapa raksasa jejaring sosial enggak berpegang teguh pada fitur andalan mereka saja?

Profesor Christian Fuchs, yang menulis buku Social Media: A Critical Introduction, berpendapat platform semacam Twitter dan Instagram ingin meningkatkan lama waktu pengguna membuka aplikasinya.

“Platform media sosial bersaing satu sama lain untuk menarik pengguna, klik dan khususnya pendapatan iklan,” Fuchs memberi tahu VICE UK. “Media sosial bergantung pada iklan dan sudah sangat terkonsentrasi sekarang. Perkembangan ini kemungkinan akan terus berlanjut karena kapitalis memiliki kecenderungan memonopoli sesuatu.”

Plagiarisme menjadi tindakan yang dimaklumi selama bisa membawa keuntungan sebesar-besarnya. Snapchat memiliki sekitar 143 juta pengguna aktif ketika Instagram memperkenalkan Instastory pada 2016. Dua tahun kemudian, jumlah pengguna harian aktif Instastory mencapai 400 juta di saat tingkat pertumbuhan Snapchat melambat. Pada tahun yang sama, Snapchat melaporkan kehilangan tiga juta pengguna selama tiga bulan — penurunan pertama dalam sejarah platform tersebut.

TikTok kini dibuat ketar-ketir oleh Instagram. Pada Maret, TikTok menjadi aplikasi non-game dengan jumlah download terbanyak sebesar 115,2 juta di seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Instagram diunduh sekitar 111,5 juta kali setiap tiga bulan pada 2019. Jadi enggak heran kalau Instagram lapar mata dengan kesuksesan aplikasi berbagi video tersebut, dan akhirnya meluncurkan Reels setahun kemudian. Fitur-fitur baru jadi cepat membosankan, dan aplikasi terus berlomba untuk tetap segar.

Dr Mark Wong adalah dosen kebijakan publik dan metode penelitian di Universitas Glasgow yang sering meneliti media sosial dan interaksi digital. Dia mengatakan aplikasi meniru satu sama lain bukan hanya untuk “mengalahkan pesaing”, melainkan membuat basis penggunanya lebih beragam “untuk meningkatkan serta memperluas data dan infrastruktur algoritme yang menghasilkan uang”. Sebagian besar pengguna Twitter adalah generasi milenial tua dan jurnalis. Harapannya platform ini bisa menjangkau generasi yang lebih muda dan kasual dengan fitur Fleets. Dari situ, Twitter mendapatkan data audiens yang lebih luas untuk dijual.

Bagaimana jadinya jika semua aplikasi medsos punya fitur yang sama? Akankah pengguna bosan memainkannya? Masa depan sulit diprediksi, tapi jika kita bergerak mundur ke masa lalu, aplikasi baru cenderung menenggelamkan aplikasi lama. Friendster dan MySpace pernah berjaya pada masanya, sebelum akhirnya disingkirkan oleh Facebook dan Tumblr. Begitu saja seterusnya. Aplikasi apa yang akan menjadi korban selanjutnya?

Wong berujar kita seharusnya khawatir melihat aplikasi medsos punya banyak sekali fitur. Bukan hanya karena aplikasinya memanen data kita, tetapi juga karena algoritme dan desain fitur ini menguntungkan pihak tertentu saja. Awal tahun ini, Instagram dikecam habis-habisan karena menghapus foto orang kulit Hitam berbadan gemuk. September lalu, eksperimen foto di Twitter mengungkapkan teknologi AI-nya punya bias rasial. Sejumlah aplikasi media sosial bahkan dituduh menganaktirikan pekerja seks. Untuk kasus terakhir, Twitter dan Instagram mengklaim mereka hanya menegakkan pedoman komunitas, bukan menargetkan industri tertentu. “Siapa saja bebas menggunakan Twitter asalkan mereka mematuhi peraturan dan persyaratan layanan Twitter,” kata juru bicara perusahaan kepada VICE Canada pada 2018.

Wong punya pendapat lain. “Peneliti telah menunjukkan kekhawatiran seputar keadilan algoritmik dan desain platformnya yang berpotensi bias rasial dan gender,” terangnya. “Jika fitur ini semakin tersebar tapi masalah etika belum sepenuhnya ditangani, potensi implikasinya bisa menjadi bencana — terutama bagi mereka yang suara dan identitasnya terpinggirkan di suatu platform dan semakin diabaikan di platform lain.”

Sejumlah aplikasi telah mengambil langkah untuk mengurangi diskriminasi pada fitur dan algoritmenya. Instagram memblokir konten pro-terapi konversi awal tahun ini, sementara Instagram dan Facebook berjanji mengatasi bias rasial pada platform mereka — meski staf Facebook membeberkan Juli lalu bahwa manajemen berulang kali mengabaikan riset bias rasial internal. Wakil presiden analitik Facebook Alex Schultz menjelaskan kepada NPR, analisis dan riset terkait ras sangat penting bagi Facebook. Hanya saja “topik ini sangat penuh muatan”, sehingga harus dilakukan secara ketat.

“Akan selalu ada orang yang tak puas dengan kecepatan kami mengambil tindakan,” lanjutnya, menambahkan Facebook “telah meningkatkan investasi kami secara besar-besaran” dalam memahami ujaran kebencian dan bias algoritmik. Tapi tetap saja, kenyataan aplikasi lebih gesit mengeluarkan fitur baru daripada menangani masalah etika di platformnya cukup mengkhawatirkan.

Menurut Wong, aplikasi media sosial seharusnya lebih sadar diri dan hati-hati ketika merilis fitur baru.

“Platform harus mempertimbangkan ulang sebelum mengeluarkan fitur yang ‘trendi’ dan populer,” tuturnya. “Mereka wajib memikirkan fitur-fitur ini bermanfaat untuk siapa saja, dan apakah fiturnya akan semakin membungkam suara dan mendiskriminasi kelompok yang terpinggirkan.”

Satu-satunya solusi terbaik adalah berhenti main medsos, tapi aku sadar cara ini sulit diwujudkan. Terlepas dari betapa menyebalkannya aplikasi-aplikasi ini, kita masih membutuhkannya baik untuk pekerjaan maupun untuk tetap terhubung dengan dunia di luar sana.

@daisythejones