Tahun 2017 baru saja berakhir. Ini saat yang baik untuk mengenang kembali pengalaman-pengalaman musikal kita dua belas bulan kebelakang. Musik bisa berfungsi sebagai potret dari sebuah kejadian tertentu dalam hidup, dan selamanya dalam ingatan kita terekam sebagai soundtrack dari fase tersebut.
Sayangnya, kalau ngomongin rilisan musik Indonesia selama 2017 ini, khususnya album penuh, otak saya serasa mampet untuk bahkan mengingat siapa saja yang merilis karya tahun ini. Bukan berarti tidak banyak musik berkualitas yang diluncurkan tentu saja, namun formatnya lebih bervariasi, seperti EP, single, split, kompilasi dan sebagainya. Ya semoga saja artinya banyak musisi sedang sibuk menggodok karyanya di studio, dan lebih banyak rilisan bisa dinikmati tahun 2018.
Videos by VICE
Dalam semangat berbagi—dan mungkin pamer selera—tergantung bagaimana kamu melihatnya, kami para staf redaksi di VICE Indonesia, yang juga manusia dan doyan mendengarkan musik, seringkali dengan earphone di kantor ketika sedang stres, mengumpulkan berbagai rilisan dan tembang yang kami putar berulang kali selama tahun ini.
Tentu saja sama seperti daftar-daftar VICE lainnya, pilihan kami sangat objektif, alamiah dan tidak bisa didebat. Alih-alih hanya melontarkan opini pribadi semata, semua musik yang kami pilih sudah melalui proses selektif, komprehensif dengan tingkat kurasi tertinggi: telinga masing-masing.
Selamat menikmati.
ALBUM (LP)
Future Collective – Mundo Animal (Pepaya Records)
Album ini enak didengerin kapan aja, sambil ngapain aja—sambil diem bisa, dijogetin dikit juga bisa. Mendengarkan album ini, rasanya gue berasa ada di scene film di mana gue jadi hot divorcees mapan in my mid 40s yang lagi sippin on a drink in my mansion’s balcony yang ada di kota metropolis science fiction 80an gitu thinking about life and everything. —Dini Lestari
Melancholic Bitch – NKKBS Bagian Pertama (Trauma Irama)
Apa jadinya jika ibu-ibu diberikan pisau lipat buat bermain-main? Ide buruk. Setidaknya itu yang hendak dijawab Melancholic Bitch dalam album penuh ketiga mereka yang memuat 11 lagu. Album konsep ini menyitir soal propaganda dan keluarga kecil bahagia yang dikerangkeng dalam sekat-sekat memori personelnya yang rata-rata tumbuh di bawah represi rezim Orde Baru. Delapan tahun dihabiskan oleh Ugoran Prasad dkk untuk merilis album ini. Penantian sepanjang itu terbayar sudah. NKKBS Bagian Pertama menunjukkan repertoar klasik Ugo yang masih menyanyi seolah-olah sedang mendeklamasikan puisi karya Widji Thukul. —Adi Renaldi
Rand Slam – Rimajinasi (Def Bloc)
Sesuai judulnya, album dari rapper kelahiran Jayapura ini adalah upaya merayakan sekaligus menguji batas-batas eksplorasi rima—salah satu elemen terpenting hip hop. Rand Slam membuktikan, batas itu hanyalah imajinasi. Semua teknik diterapkan, serta dimaksimalkan dalam Bahasa Indonesia, seakan-akan Rand ingin menghasilkan MC-ing 101 bagi para rapper lokal di luar sana: mulai dari metafora, multi-syllables, imagery, rhyme scheme, sampai internal rhyme konstan menghantam telinga pendengar dari awal sampai akhir album. Wajar bila bertebaran braggadocio nyelekit buat MC wannabe dari Rand Slam di sekujur album ini: “skill kami fermentasi, mereka jadi permen basi” atau “Sini kubayar skill-mu harga grosir, lunas di depan kasir//Takdir hip hop dalam wujud paling mutakhir paksa kalian buka tafsir mimpi //(mu) kubuat anyir// —Ardyan M. Erlangga
Danilla — Lintasan Waktu (Ruang Waktu Musik)
Ketika Danilla Riyadi membuka diri serta membagikan pikiran-pikiran gelapnya, kita mendapatkan Lintasan Waktu. Album keduanya ini adalah catatan penuh rasa gamang ketika seseorang mencoba keluar dari zona nyaman. Tak ada lagi upaya bermanis-manis. Termasuk untuk perkara eksperimentasi vokal, saat Danilla berupaya mencapai nada-nada tinggi, yang sebetulnya bukan kekuatan alamiahnya, seperti di nomor ‘Meramu’. Begitupula aransemen pop yang kaya warna dibanding album debutnya tiga tahun lalu. Ada persoalan corak penulisan lirik yang terlampau seragam, namun sulit dibantah bila Lintasan Waktu adalah album pop yang berusaha keras menyekap siapapun terbejak masuk dalam Laguland. Tak banyak musisi pop tahun ini punya nyali sebesar Danilla. -Ardhyan Erlangga-
Barefood – Milkbox (Anoa Records)
Melanjutkan kesuksesan Sullen EP, Barefood masih terus melanjutkan formula mereka: musik rock alternatif catchy berbalut distorsi gitar. Bedanya, di Milkbox, Barefood tidak malu-malu menunjukkan sisi manis/ballad mereka seperti di nomor “Amelie” atau “Sugar” (ngingetin sama Yuck kadang). Biarpun secara level energi, album ini tidak seenergik rilisan mereka sebelumnya, variasi lagu dan penulisan yang solid membuat sulit untuk ngeskip album yang sangat empuk di kuping ini. Tidak banyak album indie rock/pop lokal yang mempunyai daya crossover lintas generasi: biasanya entah sound/estetikanya kelewat 90an dan dinikmati oleh kita yang sekarang berumur 20an akhir atau lebih tua, atau cenderung sangat kekinian dan cater ke penonton Laneway. Lewat Milkbox, Barefood mungkin berhasil menerobos batas tersebut. —Yudhistira Agato
ALBUM (EP)
Vengeance – Stagnant Circle EP
Trio hardcore punk/dark punk asal Jakarta merilis sebuah EP yang memuat 6 lagu plus satu intro pada September lalu. Pergerakan post/dark punk global sudah menggeliat sejak beberapa dekade lalu, namun agak direspon lambat oleh pegiat musik Indonesia. Namun paling tidak Vengeance bisa menunjukkan bahwa punk bisa dibawa ke level lebih lanjut dengan formula sederhana. EP ini sebuah bentuk penghormatan untuk band-band Killed by Deathrock, The Wipers, dan tentu saja Crisis. —Adi Renaldi
Goatmaster – The Ones God Left Behind
The Ones That God Left adalah bukti cinta paling tulus bin catchy Yhonico Cs terhadap speed metal dan New Wave of British Heavy Metal. Menyambat band-band lawas macam Merciful Fate, dan Exciter, Goatmaster bersenang-senang dengan memamerkan semua pakem speed metal/heavy metal awal ‘80an: vokal yang melengking, drum yang digebuk menggebu-gebu serta solo-solo gitar panjang yang aduhai. The One That Gods Left bicara tentang hal-hal yang klise menyangkut iblis, setan dan sekutunya. Liriknya berkisar tentang kebangkitan setan, keruntuhan keraajaan surga hingga janji setia pada Lucifer (seperti dalam The Oath, lagu milik Merciful Fate yang mereka cover). Kalian boleh mikir lirik macam ini cuma b-aja atau gimmic belaka. Cuma, kalau kredo-kredo tentang setan ini digeber dengan komposisi heavy metal/speed metal paling catchy di ranah lokal tahun ini, rasanya banyak orang terancam jadi satanist setelah berkali-kali menyetel album pendek ini. Pesan saya: rahasiakan album ini dari guru ngajimu! —Abdul Manan Rasudi
Flowr Pit – Sweet Summer Slam Dance XP
Flowr Pit salah satu band yang menurut gue lebih seru ditonton aslinya daripada didengerin di mobil atau di rumah. Kok rasanya abis nonton mereka dengkul gue dan teman-teman nggak pernah nggak biru-biru. Gue kurang paham sih kenapa mereka mendeskripsikan musiknya sebagai ‘college rock’, tapi emang seru banget kok, jadi bebas~ Oh ya, pengakuan. Setiap bagian chanting ‘everything is alright in the end’ di akhir lagu “Flowr Powr (All is the Cure)”, mata gue selalu berkaca-kaca. Dah ah malu. —Katyusha Methanisa
SINGLE
Taring – Slaptika
“Slaptika” nyaris jadi single hardcore yang biasa saja—atau minimalnya tipikal hardcore Grimloc banget. Pada dasarnya, Taring masih patuh dengan pakem metallic hardcore ‘90an yang belakangan kembali dirilis Grimloc: Gebeg masih menggebuk drum dengan rapat. Hardy masih menyalak, meneriakkan bait-bait lirik yang tak akan jelek dipasang di pamflet pembangkangan di mana pun di Indonesia ( Yang uyah yang kalah, yang menyan yang setan). Beruntung, Taring mengambil opsi-opsi songwriting yang krusial: Angga meluaskan palet riffnya dengan memasukkan anasir-anasir non hardcore yang dicuplik dari koleksi riff band-band seperti Soundgarden, Mastodon dan bahkan Tool. Kepatuhan Taring pada pakem hardcore dan pilihan-pilihan penulisan lagu yang berani—serta produksi ciamik yang digawangi Eben (Burgerkill) dan Zoteng (Forgotten)—menghasilkan track hardcore paling menyenang, inovatif—kalau bukan yang terbaik—tahun ini. —Abdul Manan Rasudi
Goddess of Fate – The String’s Eclipse
Tak ayal, begitu Goddess of Fate merilis single baru mereka, “The String’s Eclipse”, saya gembira. Pasalnya, Goddess of Fate keluar dari stigma lama musisi prog-rock lokal: sekumpulan musisi lulusan kursus musik macam Farabi yang pengin jadi Dream Theater KW-182. The String’s Eclipse adalah komposisi sepanjang 8:31 menit yang menyuguhkan prog rock/metal modern—subtil, tak lebay serta kental dengan nafas karya-karya pangeran prog rock modern Steven Wilson. The String’s Eclipse punya riff-riff melodic death metal ala Opeth (era album Backwater Park), sempilan part-part folk ala Subterranean Masquerade (atau lagi-lagi dari Opeth), solo-solo yang agak Gilmour-esque dan vokal bersih di chorus yang sendunya bukan kepalang—mirip karya Steven Wilson. Berarti, Goddess of Fate cuma KW-nya Opeth dan Steven Wilson dong? Bodo amat! Wong, bagi saya, itu sudah lebih dari cukup mendapuk The String’s Eclipse sebagai salah satu single paling penting tahun ini kok. —Abdul Manan Rasudi
MukaRakat – Ellyas Pical
Lipooz, MC asal Flores yang sudah sejak lama bermukim di Bali, sukses mengembangkan komunitas rapper dari daerah kelahirannya: Ruteng. Tahun ini, kolektif yang diberi nama MukaRakat (diperkuat veteran macam Dirty Razkal dari Goldvoice dan MC-MC muda lain) semakin matang merevitalisasi sound boombab. Mereka sukses menggabungkan sound 90’an (tentu Wu Tang masih terasa di sana-sini) dengan delivery dan pilihan rima yang secara seimbang menggabungkan lokal dan yang global. Ada deretan single-single berbahaya dari Mukarakat sepanjang 2017, tapi yang paling bikin KO adalah tribut mereka untuk petinju legendaris Indonesia, Ellyas Pical. Petarung asal Saparua ini pada masa jayanya dekade 1980-an memberi kebanggaan besar bagi para penduduk wilayah Timur Indonesia dari arena tinju. Mukarakat dalam ‘Ellyas Pical’ memberi pendengar berbagai rima, metafor, dan aliterasi yang menarik memakai referensi dunia tinju. Setelah ‘Nombok Dong’ nyaris dua dekade lalu, akhirnya hip hop Indonesia menghasilkan anthem olahraga yang nampol seperti ini. —Ardyan M. Erlangga
Mardial X Joe Million – Sakaratul
2017 adalah tahun sibuk bagi Mardial. Produser asal Jakarta ini makin meraih reputasi sebagai Youtuber edgy dengan julukan ‘Mamang Kesbor’. Untunglah musik elektronik tetap fokus utamanya. Senang rasanya melihat dia tak pernah absen menghasilkan kolaborasi maut bersama rapper lokal. Mulai dari Yacko, Laze, dan tentunya Joe Million, yang dua tahun terakhir mengobrak-abrik kancah hip hop lokal. ‘Sakaratul’, track yang digarap bersama Joe adalah karya Mardial yang paling matang. Signature Mardial terasa di sana-sini, menyeruak berbeda dari karakter produser hip hop lokal lain. Plus ini track yang panas, bercerita soal upaya gagah melawan stagnasi hidup di kota besar yang terancam membuat seniman mati gaya. Melihat hasil sepanas ini, colab Mardial X Joe Million dalam bentuk EP atau LP sangat layak dinantikan. —Ardyan M. Erlangga
Sugarsting – Chasing Pony
Gue terobsesi sama lagu ini sejak nonton Sugarsting pertama kali di acara Opam vs Satan di Xabi Space, walaupun sampe sekarang nggak tau liriknya sehingga gue ngarang aja kalo nyanyiin. Sepulangnya gue dari sana masih terngiang-ngiang terus, apesnya lagu ini belum diupload di kanal YouTube mereka waktu itu. Bener deh, “Chasing Pony” tuh secatchy-catchynya lagu. Nggak sabar denger lagu-lagu baru Sugarsting tahun depan! —Katyusha Methanisa
Tarrkam – Codename DK
Begitu Tarrkam merilis album penuh debutnya di 2018 nanti (semoga), kuartet ini akan menjadi band punk lokal terbaik senusantara. Single terbaru mereka, “Codename DK” merupakan indikasi yang nyata. Gitar surf dan bassline yang nakal, aransemen lagu yang kreatif dan kadang sulit ditebak, ditambah vokal Ape yang menyahut dan bergumam memaksa telinga pendengar menaruh perhatian. Memang demo pertama mereka masih sangat jelas pengaruh Dead Kennedys-nya, tapi mereka sedikit demi sedikit mulai berhasil keluar dari kurungan “versi Indonesianya band A, atau B” yang sering kali terjadi. Gilanya lagi, mereka semua masih berumur 20an awal (kalo gak salah ada yang belum lolos kuliah, alamak). —Yudhistira Agato
Bedchamber – Out of Line
Jujur, di Perennial EP, menurut gue Bedchamber masih terdengar seperti karikatur band-band yang mempengaruhi mereka (hingga estetika video musiknya juga)—dan memang ini wajar, mengingat band ini masih sangat muda. Di “Out of Line”, mereka menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda, dan mungkin ini arah yang benar. Lebih direct, tidak bertele-tele, tidak semua instrumen basah dalam reverb, dan melodi vokal yang lebih dinamis membuat “Out Of Line” menonjol. Penasaran dengerin album penuhnya nih. —Yudhistira Agato
Beeswax – The Loaded Ashtray
Dibanding sound album baru American Football (yang sudah jelas salah satu pengaruh terbesar band Malang ini), sekarang Beeswax justru terdengar lebih American Football dibanding AF itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, Malang kerap dijuluki sebagai lokasi bibit-bibit baru kebangkitan skena emo di tanah air. Masalahnya, dari beberapa band yang saya dengar, kebanyakan masih lagi-lagi terdengar kelewat mirip dengan influence mereka, entah dari sisi sound, penulisan lagu hingga tema lirik. Namun lewat single “The Loaded Ashtray”, Beeswax menunjukkan saya bahwa potensi mereka untuk terus berkembang sangat besar. Penulisan lagu yang baik, riff twinkle yang menarik (pasti tau yang gue maksud yang mana), membuat saya memutar lagu ini beberapa kali tahun ini. —Yudhistira Agato
Murphy Radio – Sports Between Trenches
Jujur, gue gak tau banyak tentang skena musik independen Samarinda atau bahkan Kalimantan secara keseluruhan. Maka jelas gue kaget bukan kepalang ketika mendengar single “Sports Between Trenches” dari trio Samarinda, Murphy Radio. Lagu instrumental math-rock dengan tone gitar bening dan variasi time signatures drum ini terdengar dinamis lumayan segar, lengkap dengan produksi yang baik dan mengingatkan akan banyak band-band Jepang dengan sound yang serupa. Tidak adanya vokal berhasil ditutupi oleh banyaknya pergantian parts dari lagu. —Yudhistira Agato