Album Terbaik Indonesia Satu Dekade Terakhir

Album Terbaik Indonesia Satu Dekade Terakhir The S.I.G.I.T Jason Ranti Payung Teduh

Menjelang dekade ketiga Abad 21, pendengar musik menjadi saksi berbagai disrupsi. Rekaman fisik—yang sempat diramal bisa bangkit kembali lewat popularitas vinyl—rupanya tak bisa diandalkan musisi menambah pemasukan. Platform streaming amat menguasai pasar, sampai mempengaruhi proses penulisan lagu. Bahkan format MP3 kini nyaris ditinggalkan (adakah dari kalian yang masih mengakses stafaband? Selamat, kalian adalah hipster). Sebuah pertanyaan segera terlintas di benak banyak pihak: buat apalagi tetap bikin album berisi 8-10 lagu, jika melempar single lebih murah dan masuk akal untuk menjaga eksistensi sebagai musisi?

Secara kultural, pergeseran peta konsumen juga terjadi. Sepanjang kurun 2000 hingga 2009, musuh kaum elitis lokal adalah band-band musik pop Melayu yang dianggap lebih rendah dibanding pemain sirkuit pensi. Ironisnya, kini, anak-anak “indie” dengan kredo kopi dan senja berstatus sebagai pariah baru—bahkan sering jadi bahan ceng-cengan.

Videos by VICE

Millenial tua kadang marah kalau ada yang bilang rock perlahan mati di abad ini. Padahal, data keras memang menunjukkan indikasi ke arah sana. Berapa banyak studio musik yang masih bertahan dan disewa jam-jaman oleh remaja tanggung di kota kalian? Di Indonesia, suka tak suka, dekade ini adalah masa kejayaan folk (yang sebetulnya hanya variasi lain dari akustik pop), musisi rumahan yang tak perlu bergaul di kancah, juga dalam derajat tertentu hip hop. Di pasar Amerika Serikat, hip hop resmi memenangkan pertempuran, menjadi genre dominan di kalangan pendengar di bawah 30 tahun. Beberapa media malah sudah menjatuhkan vonis, bagi generasi Z, perbedaan genre tak diperlukan lagi. Makin ekletik suatu musik, makin menarik pula hasilnya.

Begitu banyak perubahan. Begitu banyak disrupsi. Tak ada lagi pensi. Tak ada lagi CD. Tapi masihkan ada musik yang bagus? Jawabannya tentu, “masih.” Justru, musik yang keren lebih mudah diakses sekarang. Bohong besar jika infrastruktur satu dekade lalu memungkinkan kalian menemukan band crust punk oke dari Kediri, band elektronik seru dari Banjarmasin, atau malah unit post-rock asal Polewali Mandar. Dulu hanya lingkaran kecil dengan privilese tertentu yang bisa punya akses seluas itu. Sekarang, siapapun bisa mengakses jutaan musik dalam dan luar negeri asal mau dan punya waktu. Musik kini makin demokratis (dengan catatan, tetap ada pengaruh algoritma, tapi itu dibahas di artikel berbeda saja).

Tapi pertanyaan di paragraf pertama tetap menghantui siapapun yang mencintai musik. Masih perlukah ada daftar merangkum album terbaik dalam kurun tertentu? Jika kalian mengapresiasi pentingnya format album, jawabannya jelas perlu. Masalahnya, apa definisi album musik terbaik menurut kalian? Apakah karena popularitasnya? Atau justru dipengaruhi musikalitasnya? Mungkinkah mengkuantifikasi penentuan album semacam itu?

Redaksi VICE, yang tiga tahun terakhir berupaya konsisten menyusun daftar album Indonesia terbaik, berkutat pada dilema serupa. Apalagi, kali ini cakupannya justru dibikin semakin luas, merangkum album lokal terbaik sepanjang 2009 hingga 2019. Sekilas ini misi mustahil. Sebenarnya iya sih.

Pada akhirnya kami memilih satu patokan berikut: album adalah ajang musisi menampilkan gagasan yang padu. Dia bukan lagi wahana “jualan”, tapi justru menjadi sarana menyajikan idealisme, visi artistik, dan misi tertentu yang mereka percaya sebagai seniman. Menghargai kerja keras musisi lewat sebuah album, lewat sebuah kaleidoskop, sama halnya menghargai visi dan idealisme mereka dalam berkarya. Yang ditakar adalah nyali dalam mewujudkan visi tadi menjadi karya, kekriyaan mereka, dan dampak kutural album tersebut.

Ternyata redaksi VICE mendapat sokongan pihak-pihak yang tak gentar menghadapi misi “mustahil” menyusun album Indonesia terbaik dekade ini. Mereka adalah: Farid Amriansyah (awak 97,5 Play FM Palembang serta pengelola label Rimauman Music), Annisa Maharani & Sabrina Eka Felisiana (personel SARANA dari Samarinda), Ricky Siahaan (gitaris Seringai yang rajin memantau rilisan lokal), serta Dimas Ario (pengamat musik).

Nama-nama di atas menyusun daftar terbaik versi masing-masing (dengan bias personal mereka tentu saja), yang selanjutnya kami susun peringkatnya, terutama untuk mencari album-album yang konsisten disebut dan beririsan dari tiap kontributor. Dengan metode itu, redaksi VICE memperoleh 40-an album, yang lantas kami peram kembali menjadi 20 (karena angka ini menyimbolkan akhir dekade kedua Abad 21).

Prinsip kurasi kami sederhana: makin menarik gagasan estetis, ditambah signifikansi kultural suatu album, maka skornya makin tinggi. Keterwakilan genre juga jadi pertimbangan redaksi. Pada akhirnya, ini rekomendasi yang tidak sepenuhnya diniatkan sebagai kanon acuan, tapi lebih berfungsi sebagai kronik apresiasi terhadap suguhan musik lokal terbaik yang bisa kita nikmati bersama. Daftar final yang kalian baca di bawah sepenuhnya keputusan redaksi VICE, tak lagi terkait kontributor yang kami minta bantuan memperkaya seleksi awal. Meski begitu, catatan maupun ulasan tiap kontributor tetap kami kutip dan sunting untuk keterangan tiap album terpilih.

Berikut daftar 20 album terbaik Indonesia sepanjang 2009-2019 versi VICE. Klik judul tiap album untuk mendengarkan versi lengkap album ataupun cuplikan musiknya.

Selamat merayakan musik (Indonesia) yang membahagiakan dan semoga dekade yang lebih menarik segera kita jelang.

20. The Adams – ‘Agterplaass’ (2019)

1577291606018-adams

Penantian selama tiga belas tahun dari album sebelumnya terbayar lunas, jika hasilnya seperti Agterplaas. Indie rock yang sarat hitungan dalam komposisinya, namun tetap penuh hook. Apakah prematur bila sebuah album baru dirilis di 2019 tapi langsung menjadi salah satu yang terbaik di dekade ini? Tidak. Album ini memang sebagus itu.

19. Kompilasi Musik Elektronik – ‘Dentum Dansa Bawah Tanah’ (2016)

1577291828928-dentum

Dentum Dansa Bawah Tanah (selanjutnya disingkat DDBT) adalah penerus kompilasi legendaris Jakarta Movement ’05, rilisan penanda masa yang berhasil menyulut ketertarikan anak muda ibu kota pada musik elektronik dekade awal 2000-an. Kompilasi ini menyatukan DJ, kolektif dan produser bawah tanah yang memiliki warna khas masing-masing. Mulai dari Future Collective, Maverick, hingga Sunmantra. DDBT baru mewakili secuil artis musik elektronik Indonesia, tapi musik-musik di dalamnya berhasil memberi warna berbeda pada kancah. Jika EDM adalah bentuk paling kentara dari komersialisme scene musik elektronik selama satu dekade terakhir, DDBT antitesisnya: intim, eklektik, dan independen.

18. Morgue Vanguard x DOYZ – ‘Demi Masa’ (2018)

1577292292809-Demi-Masa

Kolaborasi sempurna dalam dunia yang diisi dentuman beat dan rentetan rima. Album Demi Masa seperti cerita dua kawan lama melakoni kilas balik kehidupan masa lampau. Sebuah perayaan nostalgia yang sarat perenungan sekaligus bergelora. Tapi tentu tak sekadar nostalgia. Catatan mengenai kehidupan B-Boys rezim Orde Baru ini sekaligus mengingatkan pendengar muda, bahwa keadaan negara ini tak terlalu berubah pascareformasi. Morgue Vanguard dan DOYZ adalah MC kawakan dalam performa amat prima di album ini. Permainan rima dan delivery mereka yang kontras saling melengkapi. Kehadiran MC tamu macam Iwa K dan Rand Slam juga terasa pas. Album ini akan jadi tetenger hip hop lokal hingga bertahun-tahun ke depan. Menolak lupa ditemani tari kejang tak pernah seasyik seperti yang dihadirkan Demi Masa.

17. Kelelawar Malam – ‘Kelelawar Malam’ (2010)

1577292702286-kelam

Tidak ada band lokal lain yang sukses membawakan punk bertempo sedang dengan pengaruh deathrock, heavy metal, surf-rock, sampai blues diimbuhi lirik film horor (“Suzannakenstein”, “Malam Jumat Kliwon”, dst). Tembang “Bangkit Dari Kubur” adalah sebuah nomor klasik yang akan terus menjadi materi sing-along dari band ini, tentunya ditemani boneka pocong yang merangsek ke dalam mosh pit. Jarang-jarang ada musik “ngeri” se-catchy dan semenyenangkan ini. Kita perlu bersyukur karena dunia horor Indonesia memiliki band seperti Kelelawar Malam dan album debut mereka sebagai penghormatannya. Mudah sekali menuding Kelelawar Malam adalah tiruan lokal atas The Misfits. Namun, Kelelawar Malam yang dibentuk di Jakarta, barangkali lebih bisa bersenang-senang dibanding Misfits, tentunya karena stok cerita horor tak akan pernah habis di negara kita.

16. White Shoes & The Couples Company – ‘Vakansi’ (2010)

1577293006834-vakansi

Bahkan dalam lagu-lagu yang bertempo lambat, pendengar tetap bisa diajak bergoyang. Lagu-lagu di dalamnya seperti diberi mantra. Sepilihan materi pop yang tak lekang oleh waktu, sekaligus menunjukkan WSTCC dalam kondisinya yang paling matang. Berkat Vakansi, WSTCC bisa bertahan hingga dekade kedua Abad 21, bahkan memperoleh regenerasi pendengar. Vakansi layaknya deretan foto Polaroid yang mengabadikan momen dan peristiwa dengan warna-warna klasik, hangat, dan unik. Karenanya, album ini akan abadi.

15. Seringai – ‘Taring’ (2012)

1577293473548-taring

Seringai adalah salah satu band kelas berat dari ranah heavy rock Indonesia. Album kedua mereka, Taring, mempertegas status itu lewat sekumpulan materi kuat. Melebur elemen dari heavy metal, thrash metal, stoner rock, dan hardcore menjadi nomer-nomer antemik yang potensial memecah moshpit kapanpun. Lihat saja efek saat “Dilarang di Bandung”, “Tragedi”, atau “Program Party Seringai” dimainkan. Hebatnya lagi, Seringai tetap sanggup menerjemahkan ambisi artistik di ruang rekaman menjadi energi di atas panggung. Album ini gahar—salah satu yang paling gahar satu dekade terakhir—tapi amat cepat melekat di telinga, bahkan bagi yang tak terlalu mengikuti kancah metal. Higly flammable high octane rock! (Disclaimer: Ricky Siahaan tidak terlibat sama sekali dalam pemilihan album dalam diskusi redaksi VICE).

14. The Kuda – ‘Mystery Torpedo’ (2011)

1577293932334-The-kuda

Rilisan pertama band “dumprak sumbawa 77s rock” asal Bogor, The Kuda, adalah sebuah album klasik hardcore/punk lokal. Durasi singkat, riff start-stop yang cepat nempel dan bikin kepala bergoyang, dan attitude yang tengil jadi bensin utama rilisan utama. Selera humor mereka juga tampak di sini lewat penyelipan klip-klip lagu lokal di sana sini (lagu Ikang Fawzi di tengah ‘Electra Complex’ masih jadi favorit). Hanya dengan proses take live selama satu jam, dan mixing di sebuah warnet, Mistery Torpedo telah membuka jalan bagi mereka yang ingin memainkan retro garage punk dan melejitkan nama The Kuda ke level nasional. Tak banyak band yang seberani mereka di kancah punk lokal selama satu dekade terakhir. Nyali itu patut dihargai.

13. Dialita – ‘Dunia Milik Kita’ (2016)

1577293655043-Dialita

Dunia Milik Kita adalah album yang sangat penting dari sisi konteksnya, sebab Ia akan abadi dalam sejarah musik Indonesia. Di album inilah, luka sejarah bangsa ini diobati kolaborasi sekelompok musisi muda bersama para eks-tahanan politik korban prahara 1965. Mereka membasuh borok hasil propaganda sekian dasawarsa, yang terus coba dipertahankan oleh kaki tangan rezim otoriter. Daya hidup meluber dari album ini. Meletup-letup. Simak saja “Taman Bunga Plantungan” atau “Ujian”.

Jika rezim dan kolaboratornya tak kunjung bersedia memberi permintaan maaf pada korban pelanggaran HAM sejak Orde Baru hingga era Reformasi, sementara pemegang bedil terus mengulang-ulang jargon kosong “bahaya kebangkitan PKI” untuk meresahkan masyarakat, maka hanya seni yang bisa melampaui semua kebebalan itu. Paduan suara para tapol ini menggenapi memoar Pramoedya sekian tahun lalu. Yang mereka lakukan bukan lagi Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Sebab, nyanyian yang tulus dari Dialita bergema dan menggelegar. Kita pasti bisa mendengar suara mereka.

12. Komunal – Gemuruh Musik Pertiwi (2012)

1577294277160-komunal

Komunal adalah heavy metal, dan mereka tak butuh banyak gimmick untuk membuktikannya. Bila di dua album sebelumnya Komunal bermain ganas dan berat, maka di album ketiganya, yang diberi tajuk Gemuruh Musik Pertiwi, musiknya terdengar lebih bluesy dan groovy bukan hanya memancing fistpumping atau headbang tapi juga memaksa pinggul bergoyang. Proses pengerjaan rekamannya sangat santai dengan konsep live studio recording. Konon karena mereka malas berlama-lama di studio tapi hasilnya adalah salah satu rilisan rock kontemporer Indonesia yang tak bisa dianggap enteng. Kalau saja sebuah band yang mengubah sound mereka seolah seperti sedang bertaruh di meja judi, maka Komunal adalah pemainnya, Gemuruh Musik Pertiwi adalah dadunya, dan lemparan terakhir telah membuat band ini kaya raya dari hasil kemenangannya.

11. Tigapagi – ‘Roekmana’s Repertoire’ (2013)

1577386509988-TIgapagi

Sebuah album yang intens, gelap, sekaligus indah yang dirilis bertepatan dengan peringatan tragedi 1965. Melalui album ini, kita disuguhi untaian kisah dari sang tokoh sentral, Roekmana, dengan lagu demi yang terus menyambung tanpa jeda seperti kehidupan yang terus berjalan dari satu cerita ke cerita lainnya. Dari segi musikalitasnya, album ini juga mempertegas cakrawala musik Tigapagi yang berambisi menggabungkan tangga nada Diatonik dengan notasi Damina khas Sunda. Album yang berhasil membius pendengar. Kau akan terserap dan terhanyut di dalamnya.

10. Tulus – Gajah (2014)

1577294860109-Tulus

Melalui album ini Tulus ditahbiskan menjadi penyanyi Pop pria papan atas tanah air melalui sembilan lagu yang ramah telinga, dengan produksi amat mumpuni. Seluruh musik yang ditampilkan dalam album ini terasa sesuai porsinya, penuh perhitungan, dan membuktikan Tulus adalah arsitek musik pop jempolan. Poin kuat lain dari album ini adalah konsep liriknya, yang menyentuh banyak isu. Komitmen, kesehatan mental, hingga bullying, memperluas cinta menjadi topik yang lebih universal. Sekian tahun setelah rilisnya Gajah, musisi pop Indonesia lain berlomba-lomba menghasilkan materi yang lebih konseptual. Kunto Aji, dengan Mantra Mantra salah satu yang terbaik mengesekusinya setelah Tulus. Harus diakui, setelah RAN dan Maliq memperluas batas kemungkinan eksplorasi musik pop sepanjang dekade pertama 2000-an, inovator yang meneruskan upaya tersebut satu dekade terakhir adalah Tulus.

9. Joe Million – Vulgar (2016)

1577295093522-Vulgar

Terobosan menarik mewarnai kancah hip hop Indonesia sepanjang paruh kedua dekade ini. YouTuber latah memproduksi lagu rap, kancah di berbagai kota makin hidup (termasuk di Papua, Bali, Manado, Maluku dan NTT), beef bermutu antar MC terjadi beberapa kali (misalnya yang melibatkan Saykoji, Ben Utomo, dan Xaqhalla), ragam materi pun tambah berwarna, seperti disajikan sosok-sosok terbaik kancah: Tuan Tigabelas, Laze, Matter Mos, Krowbar, Pangalo, DPMB, Insthinc, dan BAP. Tapi Joe Million berada di liganya sendiri. Dengan sekitar 200-an materi rekaman dalam kurun lima tahun terakhir, tak ada rapper lain seprolifik dirinya di Tanah Air.

Joe juga terus menantang dirinya sendiri agar bisa berkembang di departemen lirik saat menggambarkan realita manusia Indonesia modern. Vulgar layaknya serangan blitzkrieg mematikan dari rapper asal Papua ini, apalagi ketika kalian disambut “Persetan”, single utama yang menyambut kalian di awal album. Produksi Senartogok yang gritty dan eksotis melengkapi persona Joe. Beat-beat itu mengamplifikasi braggadocio dan pandangan politik figuratif yang menggambarkan represi warga Papua (dan yang tertindas di manapun), di “Amin” dan “Katamorgana”, dua lagu terkuat album ini.

8. Silampukau – ‘Dosa, Kota, & Kenangan’ (2016)

1577295252788-Dosa-Kota

Konon sastrawan besar James Joyce meniatkan buku kumpulan ceritanya, Dubliners, menjadi panduan darurat andai kota kelahirannya itu hancur di masa depan. Berbekal deskripsi dalam cerpennya, dia berharap orang bisa merekonstruksi Dublin seperti yang dia alami semasa hidup. Joyce mencintai Dublin sedemikian besar. Silampukau pun setali tiga uang pada Surabaya. Tak banyak band lain satu dekade terakhir yang menumpahkan emosi begitu mendalam terhadap satu kota (dalam derajat tertentu, Bangku Taman menulis surat cinta getir kelas menengah yang gagal merantau teruntuk Jakarta dalam Ode Buat Kota). Silampukau melakukannya secara mendalam. Dosa, Kota, & Kenangan adalah rangkuman perjalanan hidup Kharis dan Eki—merekam segala dosa ketika mereka remaja, pengaruh kota pada proses kreatif mereka, pahitnya menghadapi realitas, hingga akhirnya mereka dan pendengar mencapai kedewasaan. Album ini bukan folk. Ini musikalisasi puisi yang gemilang tentang sebuah kota bernama Surabaya.

7. Frau – ‘Starlit Carousel’ (2010)

1577295504536-frau

Album ini memperkenalkan sosok vokalis, penulis lagu sekaligus pemain piano, Leilani Hermiasih asal Yogyakarta, kepada publik Indonesia. Sesudah satu dekade berkarya, ternyata posisi Frau masih sulit dijangkau musisi pop lokal lainnya. Apalagi jika komponis pop lain harus berkompetisi dengan “Mesin Penenun Hujan” atau “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa”. Frau sanggup menghadirkan komposisi mudah dicerna yang tetap penuh cerita, melankolis dalam takaran pas, efisien. Karyanya cenderung filmis, dengan lirik yang terasa visual, melengkapi melodi dan harmonisasi jemarinya saat menjamah Oscar—nama piano kesayangan Leilani. Happy Coda adalah album Frau yang lebih matang, tapi cetak birunya tetaplah album debutnya ini. Mahakarya dalam lanskap pop Indonesia.

6. Jason Ranti – ‘Akibat Pergaulan Blues’ (2017)

1577295609979-akibat

Seorang juru selamat telah datang. Dia menyelamatkan kita semua dari nuansa sendu tren folk senja yang melanda kancah musik independen sejak 2014. Dia memporak-porandakkan hujan, kopi, langit, serta berbagai elemen syahdu lainnya—menggantinya dengan John Kei, Hercules Tenabang, bibir rasa stroberi, gele’, vodka Rusia, hingga sayur genjer yang jadi target propaganda antikomunis pemerintah parnoan. Seiring popularitasnya meroket, Jeje—panggilan akrab Jason Ranti—perlahan dibebani ekspektasi oleh pecinta musik berkat pendekatannya yang tak lazim dalam menulis lagu, lebih-lebih saat membawakannya. Mereka merindukan Iwan Fals baru. Tak sedikit yang menuntut Jeje jadi manusia super. Untunglah dia tak berpretensi ke arah sana. Jeje, seperti teraba dari lirik-liriknya, justru ingin jadi W.S Rendra era “Nyanyian Angsa” minus deklamasi meriah. Hanya Jeje rasanya—ditemani Danto Sisir Tanah dan Iksan Skuter—yang luwes mengeksplorasi bermacam pengemasan lagu “protes” untuk pendengar kiwari, dalam lirik yang menabrak semua pagar bikinan Balai Bahasa. Mengingat sang juru selamat masih tertarik menjalankan tugasnya, semoga kita bisa terus melihat kerja-kerja rohani seorang Jason Ranti pada dekade mendatang.

5. Senyawa – ‘Sujud’ (2018)

1577295833608-Sujud

Senyawa adalah salah satu kejutan musik terbesar satu dekade terakhir. Lahir dari kancah musik eksperimental/noise Yogyakarta, duo Rully Shabara dan Wukir Suryadi meracik elemen musik tradisional dengan sound neo-tribal yang heavy dan rancak, sebagian besar hanya dengan menggunakan vokal dan bambuwukir—sebuah instrumen string bambu yang dibuat sendiri oleh Wukir. Sujud berhasil menghadirkan elemen drone and soundscape build-up yang naik dan turun secara subtil. Contohnya lewat track ”Tanggalkan Di Dunia” dan sound neo-tribal mereka yang khas, seperti di “Penjuru Menyatu,” hadir secara koheren tanpa melelahkan kuping pendengar. Album ini menunjukkan betapa Senyawa semakin matang dalam komposisi, dan lihai memainkan mood ataupun atmosfer.

Semua rilisan band ini layak disimak, namun “Sujud”, album penuh terakhir mereka, menunjukkan perkawinan yang sempurna antara produksi modern dengan folk/drone minimalis. Dirilis oleh label eksperimental berpengaruh, Sublime Frequencies, Senyawa merupakan salah satu pembuka jalan bagi seniman-seniman serupa di tanah air dan Asia Tenggara untuk bisa berkiprah di manapun. Sujud sangat layak jadi salah satu album terbaik dekade ini.

4. Efek Rumah Kaca – ‘Sinestesia’ (2015)

1577295941575-Sinestesia

Setelah dua album sebelumnya yang dipenuhi lagu-lagu indie rock yang lugas dan minimalis, melalui Sinestesia ERK bereksperimen dengan aransemen yang semakin kaya, struktur ruang musik berlapis, dan durasi lagu yang panjang dengan rata-rata berdurasi lebih dari lima menit. Cholil dkk tak terbebani citra sebagai band politis. Album ini, sekalipun tetap memuat lirik politis (dalam ‘P’ besar maupun kecil), fokus menggali berbagai aspek keseharian manusia. “Putih” bahkan bisa dibilang karya ERK yang paling spiritual. Fragmen “Hilang” atau “Pasar Bisa Diciptakan” juga sanggup membuat bulu kuduk siapapun berdiri. Kerelaan mereka meredenifisi identitas lewat proyek sampingan Pandai Besi turut membantu variatifnya aransemen di album ketiga. Atas semua kerja keras itu, Sinestesia menjadi landmark budaya pop dekade 2010-an. Tak lebih dan tak kurang.

3. Payung Teduh – ‘Dunia Batas’ (2012)

1577296350606-Payung-Teduh

Album ini, serta LP debut Payung Teduh, turut bertanggung jawab atas kemunculan epigon kelas KW yang belakangan meramaikan kancah pop senja sendu syahdu. Payung Teduh adalah fenomena kultural yang bisa mendekati taraf pengaruh band sejuta kopi satu dekade sebelumnya. Tapi mengapa Dunia Batas ada di posisi lebih tinggi dibanding Payung Teduh? Sebab, keseimbangan berhasil dicapai di sini. Dunia Batas menunjukkan betapa peran produser adalah elemen penting bagi perjalanan sebuah album. Sekalipun memuat beberapa karya yang pernah dirilis sebelumnya, menu lama tersebut dimasak ulang dengan sentuhan khas produser Mondo Gascaro yang secara jitu memperkuat sajian cita rasa romantis-melankolis dari Payung Teduh. Mendengarkan album ini, secara esensi, sama saja memahami semangat zaman (zeitgeist) 10 tahun terakhir.

2. The S.I.G.I.T – ‘Detourn’ (2013)

1577296464195-Detourn

Petualangan audio bersama The S.I.G.I.T selalu kaya warna. Mereka salah satu musisi pascareformasi yang paham pentingnya kepaduan konsep saat memproduksi album. Dalam dekade ini, lewat Detourn, The S.I.G.I.T kembali membuktikan kecerdasan mereka menulis lagu rock bermutu tinggi. Lagu-lagu dengan riff gitar yang ear catchy membalut suara vokal Rekti Yoewono yang bertenaga. Album ini menunjukkan lompatan yang cukup jauh dari sisi penulisan lagu maupun produksi dibanding album mereka yang sebelumnya masih kental pengaruh tren garage rock awal 2000-an. Detourn adalah eskapisme seutuhnya, yang akan mengantarmu menuju lanskap epik dan magis di antah berantah (baru Sigmun tampaknya dengan Crimson Eyes yang nyaris mencapai level mereka). Mengingat platform streaming tambah berkuasa, ada kemungkinan album sekoheren dan berkelas semacam ini makin langka dari kancah rock lokal.

1. Theory of Discoustic – ‘La Marupè’ (2018)

1577296616301-La-Marupe

La Marupè adalah harta karun buat kita semua. Theory of Discoustic mengerek standar penulisan lagu dan produksi musik jauh di atas rival-rivalnya. Mereka meramu musik kontemporer (setelah awalnya berangkat dari kancah folk), menggabungkannya dengan cerita rakyat dan sentuhan tradisional lain dari tanah kelahiran mereka di Sulawesi Selatan. Adriady Stia Dharma, Dian Mega Safitri, Fadli FM, Hamzahrullah, Nugraha Pramayudi, dan Reza Enem dari ToD mengemas konsep high brow itu secara elegan, tanpa sekalipun terperangkap dalam kesan “eksotis”. Kekayaan sound yang mereka hadirkan mengkompensasi pendengar yang mungkin tak punya keterikatan pada sejarah dan tradisi Bugis. Ada banyak warna, imaji, dan sensasi yang pendengar dapatkan dari album ToD ini. Kefanaan dan paradoks waktu (“Tanah Tua”), tarian pelaut penuh sukacita (“Tabe”), atau mantra perang dan hasrat purbawi (“Badik”). Bangsa kita mungkin terlalu lama memunggungi laut, sebagaimana modernisasi membuat anak muda melupakan akarnya masing-masing. La Marupè menunjukkan apa yang bisa diwujudkan, ketika musisi bersedia mengeksplorasi bermacam narasi dari tanah airnya.

Album ini menjadi salah satu rilisan terpenting yang pernah ada di Indonesia. Kita beruntung bisa mendengarkannya di dekade yang segera berakhir ini.