Hobi para politisi mengais validasi hidup lewat gelar kehormatan mendapatkan tantangan serius dari akademisi. Terbaru, Aliansi Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyuarakan penolakan atas rencana senat kampus menganugerahkan gelar kehormatan atau honoris causa kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir. Sikap diambil setelah aliansi mendapat informasi wacana ini diajukan kembali oleh senat padahal sudah pernah ditolak pada September 2020.
Rapat membahas rencana pemberian gelar itu dibahas pada rapat Senat UNJ hari ini (14/10). Wakil Aliansi, Ubedilah Badrun, bilang para dosen baru tahu dua hari lalu. “Selasa (12/10), kami mendapat informasi bahwa senat UNJ akan mengadakan rapat penentuan pada Kamis (14/10) untuk memutuskan mengajukan kembali Ma’ruf Amin dan Erick Thohir mendapatkan gelar kehormatan doktor honoris causa. Tentu saja Aliansi Dosen UNJ kaget dan tetap konsisten menolak upaya tersebut,” kata Ubedilah kepada Detik.
Videos by VICE
“Upaya pemberian gelar pada pejabat tersebut sudah kami tolak pada September 2020 lalu karena berbau kepentingan pragmatis. Kini upaya pemberian gelar muncul kembali dan kami konsisten tetap menolak,” tambahnya.
Ada empat alasan yang melandasi penolakan ini. Pertama, pemberian gelar kehormatan pada penguasa dan pejabat publik mengancam otonomi perguruan tinggi dan merusak moral akademik universitas. Padahal, Pedoman Penganugerahan Doktor Kehormatan UNJ Tahun 2021 Bab tentang Persyaratan Ayat 3 mengatakan gelar tidak bisa diberikan pada siapa pun yang sedang memegang jabatan publik.
Kedua, usulan pemberian gelar tidak sejalan dengan upaya institusi memulihkan nama baik setelah dilanda skandal politik. Empat tahun lalu, rektor UNJ Djaali diberhentikan Menristekdikti karena melindungi plagiarisme yang dilakukan mantan gubernur Sulawesi Utara Nur Alam di disertasinya.
Ketiga, Ubed mempertanyakan kelayakan figur. Pemikiran Ma’ruf Amin atas “negara kesepakatan” yang jadi landasan niat Senat UNJ memberi gelar honoris causa dianggap tidak orisinil karena udah dikemukakan pemikir klasik sejak abad ke-17 melalui teori kontrak sosial. Lagian, Ma’ruf justru termasuk tokoh yang keras menyuarakan agar pemeluk Islam di Jakarta tidak memilih Basuki Tjahaja Purnama pada pilkada 2017, sebuah tindakan yang justru menyalahi teori kontrak sosial itu sendiri. Untuk Erick Thohir, aliansi mengaku tidak menemukan pemikiran dan karya besarnya di mana pun.
Saat dikonfirmasi, rektor UNJ Komaruddin mengatakan usulan pengajuan ini masih dalam proses dan emang akan dirapatkan hari ini (14/10).
Tren mengobral gelar honoris causa ke pejabat publik dan politisi emang marak di perguruan tinggi Indonesia, terutama kampus negeri. Juni lalu, misalnya, mantan presiden Megawati Soekarnoputri mendapatkan gelar profesor kehormatan dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI). Menjelang acara “wisuda”, jurnal akademik Megawati sebagai syarat penerimaan gelar tersebar di media sosial dan jadi sorotan. Pasalnya, tulisan akademik Megawati berjudul “Kepemimpinan Presiden Megawati pada Era Krisis Multidimensi, 2001-2004” dinilai kelewat narsis karena berisi puja-puji buat dirinya sendiri. Lucunya, karya ilmiah tersebut membuktikan kehebatan Megawati selama jadi presiden lewat pernyataan-pernyataan… para menteri kabinet masa itu, yang tak lain adalah anak buah Bu Mega sendiri.
Daftar lain obral honoris causa yang udah duluan kampus lain: gelar kehormatan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) kepada bekas napi korupsi Nurdin Halid pada 2021 dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 2020, gelar dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar pada 2020, dan gelar dari Universitas Diponegoro kepada Ketua DPR RI Puan Maharani pada 2020. Lewat pencarian singkat di internet, daftar ini akan bertambah dengan mudah.
Tren obral gelar kehormatan terjadi karena terbitnya peraturan Menristekdikti No. 65/2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan. Pasalnya, beleid tersebut menyerahkan syarat pemberian gelar kehormatan pada masing-masing kampus, yang penting si kampus sudah memiliki program doktor di bidang terkait dengan akreditasi A. Ketiadaan standar yang ketat membuat gelar H.C. rentan dipolitisasi.
Praktik ini udah dikritik Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik yang juga dosen hukum di Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman. Ia khawatir pemberian gelarnya bersifat transaksional. “Obral gelar doktor [kehormatan] sangat memengaruhi integritas dan budaya akademik. Ini refleksi bagaimana kampus menghargai dirinya sendiri. Jika tidak, dia [kampus] sedang merobohkan dirinya sendiri,” kata Herlambang kepada Tirto.
Protes dari dosen juga enggak di UNJ doang. Saat Unnes ngasih gelar ke Nurdin Halid, profesor Fakultas Ilmu Keolahragaan Unnes Bambang Budi Raharjo menyatakan keberatannya yang ditulis di media sosial. Kata Bambang, protes itu bikin doi ia dikeluarkan dari grup WhatsApp Majelis Profesor Unnes.
“Benar, saya telah dikeluarkan dari grup Majelis Profesor. Memang saya mempertanyakan pemberian anugerah doktor causa untuk Nurdin Halid mengingat rekam jejak beliau. Mahasiswa sudah melakukan protes. Di luar, orang banyak membincangkan keganjilan penganugerahan ini. Salahkah saya mempertanyakan hal ini” kata Bambang dalam keterangan tertulisnya.
Selain para dosen, mahasiswa juga tak ketinggalan mengekspresikan kekecewaan atas kebijakan politis kampusnya masing-masing. Beberapa contoh: pada 2019, mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya unjuk rasa menolak pemberian gelar dari kampusnya buat mantan gubernur Jawa Timur Soekarwo. Lalu pada 2015, mahasiswa Universitas Negeri Padang menolak pemberian gelar kepada Megawati. Di 2021, mahasiswa Unnes juga demo menolak Nurdin Halid dapat honoris causa.