Aktivis lingkungan belia Greta Thunberg pernah berkata, dia dan anak-anak seusianya yang belum 17 tahun terpaksa turun ke jalan—berdemo seperti manusia dewasa—karena pejabat dan orang dewasa lain tak memiliki taring melawan berbagai kerusakan lingkungan. Prinsip yang sama tampaknya juga dapat diterapkan anak muda di Indonesia merespons produk rancang undang-undang (RUU) kontroversial yang sedang dikebut oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat di Tanah Air. Gerakan #ClimateStrike serta #GejayanMemanggil adalah respons dari generasi yang selama ini sering dituding apatis soal politik, menolak berbagai manuver kontroversial eksekutif maupun legislatif.
Sejak pekan lalu, dan kemungkinan berlanjut hingga pekan terakhir September 2019, anak muda dari berbagai kota di Indonesia menggelar aksi secara organik. Mereka tidak lagi diam saja melihat kebijakan pemerintah bertentangan dengan nurani publik: mulai dari soal lambannya penanganan kebakaran hutan dan bencana asap, minimnya kebijakan energi terbarukan, Revisi UU KPK, pembuatan RKUHP yang membawa Indonesia mundur ke abad pertengahan, dan masih banyak lagi isu yang mengecewakan.
Videos by VICE
Bersamaan dengan unjuk rasa berbagai organisasi mahasiswa menolak Revisi UU KPK di Gedung DPR, pada 20 September lalu, ribuan anak muda berkumpul di dekat Monumen Nasional, Jakarta Pusat dalam payung Climate Strike untuk menyuarakan keprihatinan soal isu lingkungan. Sementara dari Yogyakarta (didukung banyak kota lainnya), mahasiswa pada Senin (23/9) menggelar unjuk rasa menolak berbagai produk hukum dari DPR dan pemerintah yang dianggap menguntungkan elit politik saja.
Berbagai elemen yang bergabung dalam payung Aliansi Rakyat Bergerak itu merasa Indonesia sedang memasuki fase kembali ke Orde Baru yang tidak demokratis serta pemerintah berpihak hanya pada oligarki. Tagar #GejayanMemanggil jadi simbol unjuk rasa itu, sukses menjadi trending topic dua hari berturut-turut. Gejayan dipilih oleh para mahasiswa, untuk mengenang lokasi demonstrasi pelajar di kampus-kampus Yogya menolak rezim Suharto pada 1998, yang berujung pada kerusuhan dan pembunuhan salah satu mahasiswa bernama Moses Gatotkaca oleh aparat.
Sementara aksi Climate Strike jumat pekan lalu adalah bagian dari aksi sistematis mendesak berbagai negara serius menangani perubahan iklim. yang paling besar sepanjang sejarah. Digelar serentak di 163 negara, Indonesia ikut terlibat di dalamnya. Selain Jakarta, aksi Climate Strike Indonesia turut digelar di Aceh, Samosir, Bengkulu, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Cirebon, Cilegon, Garut, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Malang, Bali, Palangkaraya, Palu, hingga Kupang. Di Jakarta saja, diperkirakan 2.500 orang ikut terlibat dalam aksi tersebut.
Ketika tim VICE mampir ke titik kumpul aksi Climate Strike di Masjid Cut Meutia, nyaris semua peserta aksi adalah anak muda. Bahkan ada anak-anak yang masih SMP, sengaja bolos sekolah hari itu. Mereka mengenakan atribut dan poster unik, lalu bersama-sama menggelar long march ke Balai Kota, lanjut Taman Aspirasi, sampai depan Istana Negara.
Mereka membawa poster dengan tulisan kreaitf menyindir pemerintah soal perubahan iklim, seperti “let’s fuck each other not the planet” dan “the planet is hotter than Reza Rahadian”. Selain mengangkat poster, sesekali para peserta meneriakkan jargon “pukul mundur krisis iklim” dan menyanyikan lagu yang kurang lebih berpesan agar Presiden Jokowi mendukung aksi Climate Strike, serta membuat kebijakan yang mendukung tuntutan aksi.
Wanggi Hoed, seniman pantomim 31 tahun yang mengikuti aksi Climate Strike menilai perubahan iklim seharusnya jadi “alarm” bagi khalayak. “Ini menjadi peringatan kita bersama, baik warga dan pemerintah, untuk membuat keputusan yang mengembalikan fungsi alam, kembali menjadi lestari,” ujarnya.
Berbeda dengan pendapat Wanggi, Pippy yang profesinya guru Bahasa Inggris, merasa aksi di Jakarta masih kurang garang. “Di Melbourne pada hari ini ada sekitar 100 ribu orang yang turun ke aksi. Sebenarnya hari ini sudah cukup bagus, tapi untuk rasio penduduk Indonesia ini masih tergolong awareness yang sangat rendah,” ujarnya.
Sedang di mata Sisilia Nurmala Dewi, dari lembaga 350.org Indonesia, aksi peduli lingkungan ini permulaan yang baik. Ambang maksimal kenaikkan suhu 1,5 derajat celcius di Bumi sudah hampir terlewati. Kerusakan lingkungan hanya bisa dihindari bila Indonesia serius mengurangi emisi yang dihasilkan industri serta sektor pertambangan serta migas. “Pemerintah harus bertindak cepat, karena kalau tidak nanti yang terdampak kebanyakan kan anak muda. Semoga hari ini dapat menjadi awal dari kegerakan anak muda Indonesia bagi lingkungan dan iklim dunia,” ujar Sisilia pada VICE.
Adapun, aksi di Yogyakarta menghadapi hambatan lebih besar dibanding aksi menentang perubahan iklim pekan lalu. Rektorat kampus-kampus ternama tidak mengizinkan mahasiswa ikut dalam unjuk rasa #GejayanMemanggil. Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, hingga Universitas Kristen Duta Wacana menyebar surat resmi, berisi imbauan agar mahasiswa berkuliah seperti biasa. Di medsos, mulai muncul tudingan mahasiswa sudah diperalat oleh kelompok oposisi, macam Hizbut Tahrir, Partai Keadilan Sejahtera, kelompok anarko dan lain sebagainya.
“Buzzer banyak yang memfitnah aksi kami. Tapi, kami tetap jalan,” kata Syahdan, juru bicara Aliansi Rakyat Bergerak di Yogya, saat dihubungi Tempo. “Kami datang dari belasan universitas, bergabung bersama masyarakat sipil.”
Lebih dari tiga ribu mahasiswa, didukung elemen sipil lain, berkumpul di simpang tiga Colombo sejak siang tadi. Pertigaan ini amat strategis, karena menghubungkan UNY, Universitas Sanata Dharma, serta Universitas Gadjah Mada. Massa menuntut beberapa kebijakan. Misalnya penghapusan pasal-pasal bermasalah di RKHUP dihapus, menolak revisi UU KPK, mengecam pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan, serta menuntut Negara berani mengusut dan mengadili elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia.
Lista, Mahasiswa UGM berusia 20 tahun, tetap datang ke Gejayan sekalipun kampusnya menentang aksi tersebut. “Enggak ada alasan buat mundur cuma gara-gara universitas melarang. Ini demi kepentingan yang lebih besar,” ujarnya pada VICE. “Udah banyak banget hal-hal gila dari pemerintah: RKUHP, RUU Ketenagakerajaan, isu lingkungan, dan seluruh tuntutan itu semua urgent banget.”
Akhe, peserta aksi Gejayan Memanggil dari UGM, punya pendapat senada. Isu yang penting baginya adalah menyetop tradisi pembakaran hutan. “Aku enggak melihat bukti konkret pemerintah mau menyelamatkan lingkungan,” ujar mahasiswa berusia 19 tahun itu. “Jokowi malah nge-publish videonya sama Jan Ethes makanin rusa di istana padahal di Kalimantan dan Sumatra banyak anak-anak yang susah napas.”
Generasi Z, anak-anak muda yang lahir setelah 1996, seringkali dianggap abai pada persoalan politik. Jelang pemilu April lalu, berbagai lembaga menggelar sosialisasi mengajak anak muda mau “lebih peduli” pada pesta demokrasi.
Aksi-aksi yang digelar beruntutan beberapa hari ini membuktikan mereka mungkin apatis pada politik praktis di kotak suara, tapi tidak untuk Politik dengan ‘P’ besar—politik yang berkaitan dengan kepentingan semua orang.
Berikut foto-foto dari rangkaian aksi Climate Strike maupun Gejayan Memanggil yang diambil kontributor VICE dari Jakarta dan Yogyakarta: