Kematian diperlakukan berbeda-beda dalam berbagai kebudayaan. Di Indonesia saja, tiap daerah punya adat beragam memperlakukan mereka yang meninggalkan dunia fana ini. Toraja mengenal adat manene, memandikan jenazah kerabat dekat kita setahun sekali.
Pada momen itu, tak ada sama sekali kesedihan. Justru yang mengemuka kebahagiaan. Tua-muda berswafoto penuh gaya bersama mumi kakek-nenek, buyut, atau orang tua masing-masing. Tradisi Toraja tentu beda dari cara Suku Batak atau Jawa yang biasanya meratapi kepergian orang-orang terkasih.
Videos by VICE
Pandangan kita tentang kematian di negara ini turut dibentuk oleh budaya pop. Film atau serial televisi seringkali meromantisasi atau mendramatisasi kematian karakter di ceritanya.
Kalau sosok itu diposisikan sebagai protagonis yang sifatnya baik, maka dia akan mati dengan tenang sambil tidur—kadang sempat memberi petuah sebelum memejamkan mata. Sementara jika sifatnya jahat, tokoh tersebut akan mati dalam berbagai kondisi tragis dan sadis. Tren sinetron Azab tahun lalu tentu termasuk yang sangat kreatif membayangkan pengadilan Tuhan bagi manusia-manusia dengan moral bengkok sebelum masuk liang kubur.
Agama pastinya ikut berperan menyusun pemahaman kita tentang apa yang bakal dilalui manusia saat ajal menjemput. Dalam tradisi agama Abrahamik, berpisahnya ruh dan raga digambarkan sebagai puncak rasa sakit manusia. Sebaliknya, dalam ajaran agama-agama Asia, banyak yang menggambarkan kematian sebagai kedamaian sejati sebab rasa sakit dan penderitaan selesai. Itu baru tafsir soal seperti apa momen kematiannya. Kita belum bicara apa yang akan terjadi sesudahnya. Tiap agama punya narasi berbeda-beda.
Tapi kita tidak sedang ingin membicarakan teologi. Mari kita fokus membahas satu topik khusus: seperti apa kematian yang ideal buatmu?
Sejujurnya, kematian bukan topik yang digemari anak muda. Siapa juga demen membayangkan kematian? Namun, kita wajib menyadari kalau kematian tidak bisa dihindarkan. Semua orang, bagaimana pun caranya, pasti akan meninggal suatu saat nanti. Alhasil, daripada tidak ada persiapan sama sekali, sekalian saja kita bayangkan konsep mati “yang ideal” itu.
Untungnya referensi budaya pop juga membekali kita dengan diskusi menarik tentang kematian ideal. Tyrion Lannister, dalam salah satu adegan serial Game of Thrones pernah ditanya tentang kematian macam apa yang diidamkannya. Pertanyaan itu diajukan Shagga yang mencegatnya di hutan dan hendak membunuhnya.
Tyrion menjawab, “In my own bed, with a belly full of wine and a maiden’s mouth around my cock, at the age of eighty.”
Sempurna banget ya impiannya Tyrion, apalagi kalau orang itu tak kenal istilah “dosa”, “azab”, “surga”, atau “neraka”. Tentunya mati yang demikian hanya bisa dilakukan di Westeros. Kalau karakter macam Tyrion tampil di sinetron Indonesia, maka judulnya jadi “Azab Pemabuk Mati dengan Penis Terkulum Ditolak Bumi.”
Cara mati yang jauh lebih sederhana, enggak muluk-muluk, diungkapkan karakter Jack Dawson kepada Rose Dewitt-Bukater dari film Titanic. Diskusi itu mencuat saat Rose mengeluh kedinginan hampir mati, sesudah kapal mereka karam menabrak gunung es, dan keduanya terombang-ambing di laut ganas.
Jack yang jelas-jelas lebih kedinginan, berusaha menenangkan kekasihnya lewat gambaran ideal tentang kematian. “Rose, kamu akan berhasil selamat. Kamu akan melanjutkan hidup, punya banyak anak, dan kamu bisa menyaksikan anak-anakmu tumbuh dewasa. Kamu akan mati tua Rose… mati dalam tidurnya di kasur rumahmu yang hangat.”
Dari dua contoh di atas, bisa dibayangkan bahwa tiap orang punya proses kematian ideal. Gagasan tiap orang bisa konservatif, tapi mungkin juga kontroversial.
Redaksi VICE sebelumnya pernah mengulas cara mati terbaik menurut pandangan ilmiah. Makanya, kali ini kita mencoba hal berbeda. Kami meminta beberapa anak muda di negara ini membayangkan proses mati paling ideal di benak mereka. Apa pula yang mereka harapkan dari orang-orang terdekat saat mengantar ke peristirahatan terakhir?
Di hadapan rahasia hidup yang tak bakal bisa terjawab itu, membayangkan kematian ideal adalah kemewahan kecil yang bisa kita rayakan.
Berikut beberapa jawaban mereka:
Ardian Pratama, Mahasiswa, 22 Tahun
VICE: Seperti apa cara mati ideal menurutmu?
Ardian: Sebelumnya enggak pernah kepikiran sih. Tapi kalau bisa jangan sakit yang menderita, yang tenang-tenang aja.
Pernah coba membayangkan mati tuh kayak gimana rasanya?
Sinetron dan film turut membentuk pandanganku soal bagaimana rasanya mati. Nyebelin sih sebenernya. Jadi yang kebayang adalah kalau enggak kejang-kejang kesakitan, ya mati dijemput cahaya.
Kamu sendiri pengennya orang-orang terdekat ngapain sih pas kamu mati?
Punya keinginan dikuburin di pulau kecil di tengah danau. Ada pohon rindang berbunga lebat di sampingnya. Saat upacara pemakaman diiringi instrumen klasik dan orkestra.
Aulia Adam, Jurnalis, 25 Tahun
VICE: Halo, kamu kebayang mati yang ideal bagaimana?
Aulia Adam: I always want to die in silence. No pain. Not sick. Just die in my sleep.
Menurutmu mati itu rasanya gimana?
I always think being dead is just like peace. Silence. Comfortable.
Elo maunya orang-orang sekitar memperingati kematianmu dengan cara apa?
Gue selalu mikirin ini sih buat pemakaman gue. Kebayangnya bakal ada party di mana semua orang pakai baju warna favorit gue, hitam. Terus mereka makan cookies, ngobrolin momen-momen bersama gue waktu masih hidup dulu sambil ketawa-ketawa. Ngomongin jokes-jokes yang mereka pernah bikin buat gue. Intinya, gue pengennya mereka terus have fun, dance to the songs I curated. Salah satu lagunya bakalan “Landslide” dari Fleetwood Mac.
Tonton dokumenter VICE soal adat pemakaman penuh darah dan pesta pora di Toraja:
Wayan Desy, Pegawai Swasta, 27 Tahun
VICE: Hai. Mati yang kamu idamkan seperti apa?
Wayan Desy: Satu-satunya yang gue pikirin soal kematian adalah nasibku nanti sesudah reinkarnasi. Aku berharap banget enggak jadi tanaman. Habisnya kalau jadi tanaman gue enggak bisa memutus rantai moksa. Nah gue bisa jadi tanaman kalau gue ngelakuin dosa besar. Meskipun kayaknya jarang sih manusia jadi tanaman.
Pernah kebayang kayak gimana rasanya saat ajal menjemput?
Mati tuh kayak keadaan di mana elo bisa benar-benar lepas dari beban duniawi dan ada di tempat yang benar-benar menenangkan. Semacam padang rumput gede gitu. I don’t really believe in heaven and hell, though. Cuma gue sebenernya enggak mau kalau udah mati tapi masih harus nanggung beban atas kesalahan di dunia.
Udah menyiapkan wasiat apa buat orang-orang terdekat?
I wish orang-orang bakal ngelakuin wasiat gue: donasikan organ-organku. Pemakaman mahal. Bakar mayat juga mahal. Mending disumbangin aja badan gue dan bikin party dengan nama gue.
Putra Azhardwiyan, Mahasiswa, 19 Tahun
VICE: Seperti apa mati yang paling ideal buatmu?
Putra: Bayangan gue soal momen terakhir dalam hidup tuh… mungkin terbaring di ranjang rumah sakit karena mengidap penyakit berat, atau di kamar dikelilingi keluarga dan teman. Klise banget ya, tapi ya itu yang ideal buat gue sih.
Kamu punya gambaran tentang rasanya saat nyawa meninggalkan tubuh?
It’s like switching off a light, i mean, selama ini selama tumbuh dewasa, gue dipenuhi oleh doktrin-doktrin Islam. Kalau hidup penuh dosa mati tuh nanti sakratul maut kayak “Kulitnya dicabut pelan-pelan dari kaki sampai helai rambut terakhir.” Kalau orang yang taat ibadah nanti kayak dicabut rambut doang, enggak sakit. I personally dont buy that bullshit, but on how death feels like, I only wish mine to be as painless as possible. Yang jelas, kalau gua menjangkit suatu penyakit yang sulit disembuhkan, gua pilih euthanize aja kalau udah enggak ada cara lain. Enggak ada gunanya menghabiskan uang untuk bikin gue tetep hidup, toh nanti malah memperpanjang penderitaan gue.
Proses pemakaman macam apa yang paling ideal buatmu?
Gua mau temen-temen dan keluarga gue pake baju bukan hitam, bukan putih, harus berwarna primer. Dan gue sebenarnya enggak mau dikubur, gue pengennya dikremasi tapi ya kehendak keluarga gimana lah, gua enggak ada kuasa juga kalau udah mati hehehe. Males bayar Taman Pemakaman Umumnya kalau dikubur. And it’s poetic untuk dikremasi dan ditebarkan ke laut gitu. Idealnya sih tidak perlu ada prosesi pemakaman apa-apa. Enggak ada doa-doaan, cuma ya kayak normal kumpul keluarga aja, kalau perlu sediakan doorprizes.