“Bang, satenya…” “Sate, 200 tusuk makan sini…”
Penikmat film Indonesia (khususnya genre horor) mungkin masih ingat dialog ikonik ini dari film Sundelbolong (1981) yang dibintangi Sang Ratu Horor, Suzanna.
Videos by VICE
Saat bergentayangan dengan gaun putih yang dihiasi bercak darah, rambut panjang terurai tak beraturan, dan punggung berlubang yang dihuni ulat, sundel bolong meminta seorang pedagang sate untuk menyiapkan pesanannya.
Begitu disajikan, 200 tusuk sate tandas dalam sekejap. Sekali makan, lima tusuk sate langsung pindah ke perut sundel bolong. Pedagang sate tersebut tentu saja kabur sembari berteriak ketakutan: “Sunnn… sunnn… sundel bolonggggg…!”
Salah satu hal yang menurut saya menarik adalah bagaimana film ini berakhir dengan ending “klasik”: seorang sosok ulama (kiai) yang dengan otoritas keagamaannya muncul lalu menghentikan teror sundel bolong.
Agamawan (dengan segala kesakralan atributnya) ditampilkan sebagai sosok pemecah persoalan dan pembawa kebaikan. Munculnya sosok kiai dalam film Sundelbolong ini merupakan bagian dari karakteristik yang melekat pada film-film horor di era Orde Baru.
Selain dalam film Sundel Bolong, unsur ini muncul di berbagai film horor yang berjaya pada masa tersebut, termasuk Pengabdi Setan (1982), Telaga Angker (1984), Malam Satu Suro (1988), atau Pembalasan Ratu Laut Selatan (1994).
Kiai: kehadiran negara dalam sinema
Kiai dengan segala atribut religiusnya diposisikan sebagai tokoh protagonis yang melambangkan “kemenangan kebaikan atas kejahatan.” Mereka hampir selalu muncul di ujung kisah film horor.
Segalak apapun hantu yang bergentayangan, mereka tidak akan berdaya di hadapan tokoh agama atau atribut keagamaan. Tokoh agama dianggap sebagai figur yang tepat untuk menjaga atau memulihkan ketertiban, yang pada titik tertentu bisa dilihat sebagai “perpanjangan tangan” negara.
Kehadiran kiai ini bisa juga dipahami sebagai strategi kebudayaan atau kontrol pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kepatuhan warga negara terhadap segala bentuk otoritas.
Fenomena ini sejajar dengan sering munculnya tokoh kepala desa, hansip, atau polisi dalam film-film bergenre lain, yang selalu digambarkan sebagai pemulih ketertiban dan pembawa pesan pembangunan.
“Desakralisasi” pasca runtuhnya Orde Baru
Runtuhnya rezim Orde Baru berikut aneka kontrol kekuasaannya (termasuk terhadap film) ikut mengubah kecenderungan ini.
Narasi-narasi ketertiban, kepatuhan, atau pembangunan dari pemerintah tidak lagi bisa “dititipkan” ke dalam film. Produser atau sutradara tidak lagi merasa ada kewajiban menciptakan tokoh agamawan, polisi, kepala desa, atau aparat lain yang membawa narasi pemerintah.
Tokoh agama atau atribut keagamaan memang masih muncul di sejumlah film-film horor di era reformasi, namun mereka tidak lagi digambarkan sebagai sosok atau atribut yang sakral.
Coba saja tonton film seperti Asih (2018), Danur 2: Maddah (2018), Pengabdi Setan (2017), Ruqyah: The Exorcism (2017), Hantu Jeruk Purut (2006) beserta sekuelnya, atau Hantu Rumah Ampera (2009).
Di film-film tersebut, penggambaran tokoh agama, ritual agama, atau atribut keagamaan tidak sesakral dalam film-film horor Orde Baru.
Dalam produksi ulang (remake) Pengabdi Setan yang rilis tahun 2017 misalnya, sang kiai justru keok di tangan para hantu. Orang yang salat pun – yang dalam film-film Orde Baru selalu digambarkan sebagai ritual yang bebas gangguan setan — bisa kerasukan. Doa atau tasbih tidak lagi mempan mengusir setan.
Hal ini bisa disebut sebagai desakralisasi, yaitu penurunan makna terhadap hal-hal yang dianggap sakral atau suci dalam kehidupan sosial untuk digantikan dengan rasionalitas.
Tokoh agama tak lagi punya posisi sebagai “otoritas tunggal” terkait gangguan setan atau persoalan metafisika. Ritual atau atribut keagamaan dalam film horor zaman sekarang bukan lagi bagian penting cerita. Mereka bukan tokoh sentral dari akhir kisah “kemenangan kebaikan atas kejahatan.”
Sepertinya, kehadiran film horor Hollywood era 2000-an, terutama dari semesta The Conjuring atau serial Insidious memiliki pengaruh besar pada film-film horor Indonesia. Film-film horor Hollywood itu memang cenderung mengedepankan rasionalitas (dengan menampilkan tokoh-tokoh yang menggunakan teknologi untuk mendeteksi hantu).
Bagaimana respons dari penonton?
Di tengah tren desakralisasi keagamaan dalam film horor Indonesia, apakah sikap para penonton juga mencerminkan hal serupa?
Riset kami menunjukkan belum tentu.
Saya bersama seorang mahasiswi pernah melakukan wawancara mendalam terhadap lima penonton yang memiliki beragam latar belakang agama dan aliran. Kami mengamati bahwa pola respons mereka terhadap deskralisasi keagamaan, secara umum bersifat “oppositional” – suatu konsep pemaknaan dari ahli budaya Stuart Hall. Pola ini, menurut Hall, terjadi ketika penonton menolak makna yang ingin disampaikan oleh produsen teks atau karya media.
Dalam konteks ini, penonton film horor yang kami wawancarai menolak semua penggambaran desakralisasi tokoh, ritual, dan atribut keagamaan yang muncul dalam film-film horor era Reformasi.
Dengan kata lain, penonton memiliki makna sendiri terkait unsur keagamaan. Meski menonton filmnya, mereka menganggap beragam tokoh kiai dan ritual keagamaan, misalnya, adalah hal yang tetap sakral dalam hidup mereka.
Ini menunjukkan bahwa meski desakralisasi keagamaan gencar terjadi dalam perfilman Indonesia sejak Reformasi, masyarakat Indonesia secara umum masih cenderung religius.
Kita juga bisa melihat tayangan atau konten agama saat ini amat gencar muncul di televisi atau media sosial. Tayangan ini secara konsisten mereproduksi narasi-narasi kesucian dan formalitas dalam praktik keberagamaan. Hal ini ikut melanggengkan nilai sakral dan kepatuhan penonton terhadap tokoh dan ritual keagamaan.
Selain itu, walau kontrol negara dalam film sudah berkurang bahkan hilang, peran dan pengaruh ormas atau lembaga keagamaan justru menguat pasca Reformasi.
Menurut saya, pergulatan antara nilai kesakralan versus rasionalitas di dalam film-film horor akan terus menerus terjadi di masa depan.
Bagaimanapun, perang “kiai vs hantu” ini mencerminkan dinamika atau pertarungan antara “nilai-nilai lama” yang bersandar pada hal-hal metafisika dengan “nilai-nilai baru” yang berbasis rasionalitas. Dan sepertinya, industri film sadar tentang hal ini, sehingga akan tetap menggunakannya sebagai komoditas untuk meraup keuntungan.
Nanang Krisdinanto adalah pengajar komunikasi media di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.